Layakkah Orang dengan Gangguan Jiwa Ikut Nyoblos Saat Pemilu 2019?

29 November 2018 7:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penderita gangguan kejiwaan (ilustrasi). (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Penderita gangguan kejiwaan (ilustrasi). (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan kaum penyandang disabilitas mental atau gangguan mental tetap dapat menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2019. Meski begitu, mereka harus terlebih dahulu mendapatkan surat rekomendasi dari dokter untuk bisa ikut mencoblos.
ADVERTISEMENT
Komisioner KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, surat rekomendasi dari dokter ini berfungsi untuk memastikan yang bersangkutan dalam kondisi stabil pada hari pencoblosan. “Bila hari-H yang bersangkutan waras, maka dapat memilih, demikian pula sebaliknya," ujar Hasyim dalam keterangan resminya, Kamis (22/11).
Keputusan untuk mengikutkan orang-orang dengan gangguan jiwa ini sebagai pemilih dalam pemilu tahun depan menimbulkan pro dan kontra. Namun perdebatan mengenai apakah orang dengan gangguan jiwa layak diberikan hak untuk memilih bukan hanya ada di Indonesia.
Di Amerika Serikat, hak untuk memilih bagi warga penyandang gangguan mental masih menjadi kontroversi. Beberapa negara bagian di Negeri Paman Sam memiliki hukum tersendiri untuk mencabut hak pilih orang-orang yang mengidap disabilitas mental atau gangguan jiwa seperti Down syndrome dan skizofrenia.
ADVERTISEMENT
Penghapusan hak pilih orang-orang dengan gangguan jiwa di AS ini, seperti halnya pemberian hak pilih dari KPU kepada orang-orang dengan gangguan jiwa di Indonesia, juga sama-sama menimbulkan pro dan kontra. Jadi sebenarnya apakah orang dengan gangguan jiwa layak untuk diberikan hak pilih?
Ilustrasi Pemilu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pada 2009, peneliti dari College of Physicians and Surgeons, Columbia University, Amerika Serikat, melakukan penelitian untuk mencari tahu apakah seorang penderita gangguan mental layak diberikan hak pilih.
Risetnya ini dilakukan terhadap 52 peserta dari dua klinik di Washington Heights Community Service of New York State Psychiatric Institute. Para peserta yang diteliti ini adalah mereka yang dinyatakan telah memiliki hak pilih, yaitu telah berusia 18 tahun dan merupakan warga negara AS.
ADVERTISEMENT
Untuk menguji kelayakan para peserta tersebut, peneliti menggunakan tes yang disebut Competence Assessment Tool for Voting (CAT-V). CAT-V berisi enam pertanyaan untuk mengetahui apakah seseorang memiliki kemampuan cukup untuk bisa ikut pemilu. Keempat standar yang harus dipenuhi adalah kemampuan untuk memahami, memilih, mempertimbangkan, dan menghargai.
Dalam riset ini, simulasi pemilu dilakukan untuk mengetahui kemampuan apakah mereka mampu mengikuti tahapan saat pemilu. Mereka diberikan bilik pemilihan dengan dua boks yang berisi nama dan ada petunjuk untuk melakukan pemilihan.
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilu. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)
Hasil wawancara dan simulasi menunjukkan orang-orang yang ikut dalam riset ini memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti pemilu. Rata-rata, mereka membutuhkan waktu kurang dari lima menit untuk memilih dan 92 persen dari peserta dalam riset ini mendapat nilai 5 dari 6 dari “Doe standard”, standar kelayakan untuk ikut pemilu.
ADVERTISEMENT
Karena itu, dalam makalah hasil riset yang telah dipublikasikan di jurnal Psychiatric Services pada 2009 lalu ini, peneliti menyimpulkan bahwa orang-orang dengan gangguan jiwa memiliki kelayakan untuk mendapatkan hak untuk memilih.
Peneliti juga mengatakan, bila kemampuan seorang penderita gangguan mental untuk memilih dipertanyakan, maka dapat dilakukan uji kompetensi seperti dengan menggunakan CAT-V untuk mengetahui kelayakan mereka untuk memilih.