Riset NASA Ungkap Efek Kondisi Luar Angkasa terhadap Tubuh Astronaut

14 April 2019 12:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mark Kelly dan Scott Kelly. (Foto: NASA)
zoom-in-whitePerbesar
Mark Kelly dan Scott Kelly. (Foto: NASA)
ADVERTISEMENT
Kondisi luar angkasa ternyata mempengaruhi tubuh astronaut, mulai dari berat badan hingga gennya. Hal ini terungkap dalam hasil riset proyek Twins Study garapan tim ilmuwan dari badan antariksa AS, NASA, yang telah diterbitkan dalam jurnal Science pada Jumat (12/4).
ADVERTISEMENT
Dalam studi tersebut, para ilmuwan menjadikan Scott Kelly dan saudara kembar identiknya, Mark Kelly, sebagai objek penelitian. Perubahan dirasakan pada tubuh Scott yang telah menghabiskan 340 hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space Station/ISS) pada 2015 hingga 2016, jika dibandingkan dengan tubuh Mark yang selalu berada di Bumi.
Hasil riset ini menunjukkan, kesehatan manusia dapat 'sebagian besar menguat' selama setahun di luar angkasa. Menurut Steven Platts, wakil kepala ilmuwan untuk Human Research Program di NASA dan juga koordinator riset ini, studi memperlihatkan 'ketahanan dan kualitas tubuh manusia'.
Mark Kelly dan Scott Kelly. (Foto: NASA)
Studi ini juga mengungkap beberapa hal yang mungkin diperlukan dalam tindakan pencegahan dan perlindungan ketika mempersiapkan misi luar angkasa berjangka waktu panjang, misalnya, misi ke Mars.
ADVERTISEMENT
Perubahan molekuler, fisiologis, dan perilaku dibagi menjadi tiga kelompok: risiko rendah (low-risk), menengah (mid-level), dan tinggi (high-risk). Perubahan massa tubuh dan mikrobioma Scoot masuk kategori low-risk, sementara pergeseran dalam regulasi kolagen dan manajemen cairan pembuluh dara masuk kategori mid-level, kemudian tidak stabilnya genom masuk kategori high-risk.
"Ketika kami pergi ke luar angkasa dan mengalami mikrogravitasi serta melakukan perjalanan dengan kecepatan seperti 17.500 mil per jam, tubuh akan beradaptasi dan terus berfungsi dan, pada umumnya, berfungsi dengan sangat baik," kata Platts.
Astronaut NASA saat melakukan perjalanan luar angkasa di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Foto: NASA via Reuters
Perubahan Tubuh yang Terjadi
Selama 340 hari di luar angkasa, tubuh Scott mengalami beberapa 'anomali', seperti arteri karotisnya menebal, kerusakan DNA, perubahan ekpsresi gen, penebalan retina, pergeseran mikroba usus, berkurangnya kemampuan kognitif dan perubahan struktural gen di ujung kromosom yang disebut telomer. Tetapi, keberadaannya di luar angkasa tidak mengubah atau memutasikan DNA miliknya.
ADVERTISEMENT
Perubahan ekspresi gen, misalnya, berhubungan dengan sistem perbaikan DNA dan sistem imun. Lebih dari 1.000 gen mengalami perubahan begitu Scott tiba di luar angkasa. Beberapa perubahan memang telah diprediksi, seperti pembentukan tulang atau sistem perbaikan DNA, karena astronaut kehilangan kepadatan tulang di luar angkasa dan radiasinya merusak DNA.
Tetapi perubahan pada gen mitokondria dan sistem kekebalan tubuh, yang membantu menghasilkan energi dan melindungi tubuh, menunjukkan bahwa perjalanan yang panjang ke luar angkasa meningkatkan stres pada tubuh Scott.
Hal ini menunjukkan sistem imun Scott aktif dan berada dalam status siaga untuk merespons perubahan lingkungan yang terjadi. Menurut Christopher Mason, salah satu peneliti studi dan profesor fisiologi dan biofisika di Weill Cornell Medicine, ekspresi gen Scott berubah secara dramati
ADVERTISEMENT
"Sementara banyak perubahan itu kembali seperti semula ketika Scott kembali ke Bumi, beberapa perubahan tetap bertahan, termasuk defisit kognitif, kerusakan DNA, dan beberapa perubahan dalam aktivasi sel T," katanya. "Kami belum tahu apakah perubahan ini bagus atau buruk. Hal ini bisa saja bagian dari respons tubuh, tapi mengusik gen, jadi kami ingin melihat penyebab dan melacaknya untuk melihat seberapa lama (efeknya)."
Mark Kelly dan Scott Kelly. (Foto: NASA)
Saat Scott berada di luar angkasa, telomer memanjang dalam sel darah putihnya. Biasanya, perubahan panjang telomer berkaitan dengan penuaan atau penyakit, dan ia memendek seiring bertambahnya usia. Kondisi ini tidak diharapkan.
Setelah kembali ke Bumi, telomer Scott dengan cepat memendek, bahkan lebih pendek dibanding sebelum ia pergi ke antariksa. Susan Bailey, profesor Colorado State University dan salah satu penulis riset berkata, telomer yang pendek berhubungan dengan tingginya risiko penuaan dini, penyakit kardiovaskular, dan beberapa penyakit kanker.
ADVERTISEMENT
Perubahan secara fisik juga tampak. Bola mata Scott, misalnya, mengalami perubahan seperti saraf retina yang menegang dan munculnya lipatan pada lapisan koroid di sekitar mata. Perubahan ini berkaitan dengan tingkat kejernihan penglihatan dan itu diakibatkan dari pergeseran cairan kepala saat gravitasi nol, yang disebut space-associated neuro-ocular syndrome atau SANS.
Pergeseran cairan yang sama menyebabkan distansi urat merih atau pembuluh darah di leher, curah jantung lebih banyak, dan penebalan kulit dahi. Hal ini memberikan tekanan yang dalam pada urat, mata dan pembuluh darah serta menyebabkan pengeringan.
Scott Kelly. (Foto: Wikimedia Commons)
Tidak hanya mempengaruhi mata, pergeseran cairan juga berdampak pada sistem kardiovaskularnya. Dinding arteri karotis Scott menebal sejak awal dan selama perjalanan luar angkasa. Kadar kolagen dalam darahnya bergeser, yang dikaitkan dengan perubahan faktor risiko kardiovaskular. Kondisi tersebut kembali normal setelah ia kembali menjejakkan kaki di Bumi.
ADVERTISEMENT
Kecepatan dan ketepatan kognitif Scott mengalami penurunan dalam serangkaian tes pasca misi luar angkasa. Kondisi tersebut terjadi selama enam bulan dan kemudian kembali normal.
Ada juga respons imun yang meningkat selama pendaratan Scott di Bumi, yang selaras dengan peristiwa yang membuat stres tubuhnya. Kadar asam laktatnya lebih tinggi selama 15 hari pertama dan 14 terakhir perjalanan luar angkasa, di mana peneliti belum mengidentifikasi pemicunya.
Hampir semua perubahan ini kembali normal dan stabil dalam enam bulan setelah Scott kembali ke Bumi. Scott bercerita, pengalaman dirinya kembali ke Bumi setelah satu tahun di luar angkasa berbeda dengan misi lainnya yang hanya enam bulan.
Proyek Twins Study
Studi ini melibatkan 84 ilmuwan yang dibagi dalam 10 tim dari 12 universitas di delapan negara bagian AS. Semuanya mempelajari berbagai aspek tubuh manusia di luar angkasa. Data yang diteliti terdiri dari pengukuran kognitif, data fisiologis, dan beberapa sampel dari saudara kembar tersebut, seperti darah, plasma, urin, dan feses, selama 27 bulan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, riset ini memiliki batasan, karena hanya mencerminkan Scott dan Mark Kelly serta tidak dikuatkan dengan astronaut lain. Ditambah, Scott selalu berada di dalam stasiun luar angkasa dan terlindungi dari radiasi antariksa.
"Twins Study telah menjadi langkah penting untuk memahami epigenetik dan ekspresi gen manusia di luar angkasa," kata J.D. Polk, kepala kesehatan dan medis di NASA. "Ini membantu menginformasikan perlunya obat yang dipersonalisasi dan perannya dalam menjaga kesehatan astronot selama penjelajahan luar angkasa, ketika NASA pergi ke Bulan dan melanjutkan perjalanan ke Mars."
Scott Kelly. (Foto: Wikimedia Commons)
Saat 48 jam pertama, astronaut biasanya akan mengalami kehilangan nafsu makan, pusing, hingga muntah. Seiring berjalannya waktu, astronaut yang tinggal selama enam bulan atau lebih di ISS bisa mengalami pelemahan dan kehilangan tulang dan atrofi otot. Selain itu, mereka juga mungkin mengalami kehilangan volume darah, sistem imun yang melemah, dan penurunan kondisi kardiovaskular karena saat tubuhmengambang tanpa grafitasi jantung memompa darah lebih lambat dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Ke depannya, NASA berharap penelitian ini dapat membantu menangani ancaman utama bagi astronaut yang melakukan perjalanan ke luar angkasa.