Studi Ungkap Bagaimana Erupsi Tambora Sebabkan Tahun Tanpa Musim Panas

18 September 2019 19:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gunung meletus. Foto: Yosh Ginsu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gunung meletus. Foto: Yosh Ginsu
ADVERTISEMENT
Di sepanjang tahun 1816, wilayah Eropa tak merasakan musim panas sama sekali sehingga disebut juga sebagai ‘tahun tanpa musim panas’. Sebuah studi terbaru mengungkap bagaimana hal tersebut kemungkinan terjadi akibat letusan dahsyat Gunung Tambora setahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Cuaca dingin, seperti yang disebutkan dalam studi tersebut, hampir mustahil dialami tanpa adanya erupsi. Sementara untuk musim yang basah kemungkinannya juga sangat kecil terjadi sepanjang tahun tanpa adanya letusan gunung api besar.
Ilustrasi tahun tanpa musim panas di Eropa. Foto: Flickr / Wang Fonghu
Memasuki waktu yang seharusnya menjadi musim panas kala itu, bencana kelaparan menimpa wilayah Eropa Tengah dan Barat akibat kegagalan panen. Aktivitas pertanian menjadi terganggu karena suhu global yang tercatat di kedua wilayah sangat rendah.
Para ilmuwan asal University of Edinburgh di Inggris telah memperkirakan letusan Gunung Tambora yang terjadi tahun 1815 di Indonesia-lah yang menyebabkan musim panas absen di Benua Biru. Dugaan ini dikaitkan pula dengan prediksi yang sama pada tahun 1913.
Kaldera Gunung Tambora yang terbentuk setelah letusan besar. (Foto: Wikimedia Commons)
Berkat catatan historis yang disokong teknik pemodelan modern pula para ilmuwan bisa memperkirakan betapa masifnya dampak yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Tambora yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat itu.
ADVERTISEMENT
“Letusan Gunung Tambora pada April 1815 merupakan salah satu yang paling eksplosif selama beberapa abad terakhir. Dampaknya sangat besar secara lokal, karena berhasil menghancurkan Pulau Sumbawa. Letusan tersebut bahkan menyumbangkan sulfur dioksida (S02) ke dalam stratosfer Bumi dalam jumlah besar dan menyebar ke seluruh dunia dengan cepat, kemudian teroksidasi sehingga membentuk aerosol sulfat,” papar Andrew Schurer, periset utama dalam studi yang hasilnya telah diterbitkan di jurnal Environmental Research Letter pada 18 September 2019 itu.
Ilustrasi aktivitas vulkanik. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
“Aerosol vulkanik ini selanjutnya akan mengurangi radiasi netto yang memberikan efek pendinginan di permukaan Bumi secara luas dan bisa bertahan cukup lama. Kondisi tersebut juga menyebabkan curah hujan secara global mengalami penurunan, namun di saat yang bersamaan juga membasahi beberapa daerah yang kering serta menyebabkan perubahan dinamis pada sirkulasi di lautan dan atmosfer dalam skala yang besar,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dalam studi ini, ilmuwan memanfaatkan data instrumental awal yang kemudian dikombinasikan dengan simulasi iklim baru dari dua model yang berbeda. Metode ini dilakukan untuk melakukan analisis atribusi pada sebuah peristiwa. Tujuannya, untuk menentukan seberapa besar kemungkinan kekuatan vulkanik mampu membuat wilayah dengan iklim dingin dan basah tak merasakan musim panas sama sekali sepanjang tahun.
Para ilmuwan berhasil mencatat, pada musim panas dengan pola tekanan permukaan laut yang serupa dengan yang terjadi pada 1816, keadaan sirkulasi dapat mereproduksi curah hujan tanpa pengaruh eksternal. Namun kondisi ini hanya menjelaskan sekitar seperempat dari kondisi anomali yang dingin.
“Kekuatan vulkanik termasuk salah satu yang menyebabkan pendinginan dan kami memperkirakan pada saat itu suhunya 100 kali lipat lebih dingin,” kata Schurer.
ADVERTISEMENT
“Gunung Tambora memainkan peran dominan dalam menyebabkan kondisi dingin yang diamati, dan mungkin juga berkontribusi pada kondisi basah yang anomali. Tanpa kekuatan vulkanik, kecil kemungkinannya (Eropa) menjadi basah dan sangat tidak mungkin sedingin itu (sepanjang tahun)."