Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2010, para ilmuwan menemukan bahwa Bulan yang merupakan satelit alami Bumi, mengalami penyusutan ukuran ketika bagian dalamnya mendingin. Kemungkinan, kondisi ini akan terus membuat Bulan jadi makin kecil.
ADVERTISEMENT
Pengamatan terhadap ukuran Bulan dilakukan dengan alat Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) milik NASA. Para peneliti menemukan ada tebing-tebing di kerak Bulan yang relatif baru terbentuk secara geologis. Mungkin baru berusia 100 juta tahun.
Temuan ini menunjukkan, penyusutan terjadi akibat aktivitas tektonik terkait dengan ukuran Bulan yang berkontraksi saat proses pendinginan. Tapi, Bulan tidak seperti Bumi yang memiliki lempeng tektonik. Aktivitas tektonik itu terjadi ketika Bulan secara perlahan kehilangan panasnya.
Bulan memiliki kerak yang rapuh. Saat Bulan mendingin dan semakin menyusut, keraknya menjadi rapuh dan pecah sehingga menghasilkan apa yang disebut patahan dorong. Fenomena ini membuat satu bagian kerak mendorong ke atas pada bagian lain. Analoginya seperti buah anggur mengerut jadi kismis ketika dikeringkan.
ADVERTISEMENT
Sejak LRO mulai beroperasi satu dekade lalu, lebih dari 3.500 patahan dorong ini telah diidentifikasi. Bagian Bulan yang tampak lebih terang mengindikasikan kerak Bulan yang baru terbuka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di Bulan sana juga terjadi peristiwa "gempa" yang mirip dengan gempa Bumi, tapi ini terjadi di Bulan.
Sekarang, ukuran Bulan diprediksi "mengurus" sekitar 50 meter dalam beberapa ratus juta tahun terakhir.
Penelitian terbaru tentang ukuran Bulan yang menyusut diterbitan dalam jurnal Nature Geoscience pada petengahan Mei 2019. Tim ilmuwan ini membandingkan data LRO dengan lokasi gempa bulan yang direkam para astronaut dalam misi antariksa Apollo I dari NASA pada 1960-an dan 1970-an.
Melansir dari Newsweek, penelitian ini menunjukkan bahwa gempa bulan terjadi dekat dengan patahan dorong yang ditemukan sebelumnya, diakibatkan oleh aktivitas tektonik.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dipimpin oleh Thomas Watters dari Center for Earth and Planetary Studies di Smithsonian Institution, mengamati 28 gempa bulan yang direkam oleh alat rekam sensor getar, atau seismometer, ketika misi Apollo. Peneliti membangun algoritma khusus untuk mendapatkan lokasi episentrum setiap gempa yang lebih akurat.
Dengan algoritma dan bantuan data lokasi dari LRO, mereka dapat menunjukkan bahwa setidaknya ada delapan gempa bulan terjadi di dekat patahan dorong. Ini banyak disebabkan oleh aktivitas tektonik, ketimbang dampak meteoit yang bisa jadi sumber lain gempa Bulan.
"Kami pikir sangat mungkin bahwa delapan gempa ini dihasilkan ketika kerak Bulan dikompresi oleh kontraksi global dan kekuatan pasang surut. Ini ditunjukkan dengan seismometer Apollo yang mencatat ukuran bulan menyusut dan masih aktif secara tektonik," kata Thomas Watters yang memimpin penelitian ini.
ADVERTISEMENT