Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
WHO Mengusulkan Pelegalan Ganja untuk Keperluan Medis
12 Februari 2019 19:31 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah mengusulkan diadakannya penggolongan ulang terhadap ganja di dalam hukum internasional. Usulan ini diajukan berdasarkan pertimbangan atas sejumlah bukti ilmiah yang mendukung keyakinan bahwa ganja memiliki manfaat medis.
ADVERTISEMENT
Usulan ini jika diterima bakal mengubah posisi ganja yang selama hampir 60 tahun terakhir, berdasarkan hukum internasional, tidak boleh digunakan untuk praktik medis yang sah.
Usulan ini muncul setelah Komiter Ahli Ketergantungan Obat WHO atau WHO Expert Committee on Drug Dependence (ECDD) melakukan pertemuan di Jenewa, Swiss, pada 12-16 November 2018. Pertemuan dilakukan untuk menyimpulkan tinjauan mereka soal ganja dan zat-zat terkait ganja .
Mengutip siaran pers WHO, ini adalah pertama kalinya ECDD melakukan tinjauan penuh terhadap zat-zat ini sejak Konvensi Pengendalian Obat Internasional (International Drug Control Conventions) dibuat pada tahun 1961.
Selain ganja dan zat-zat turunannya, zat lain yang mereka kaji adalah zat-zat turunan fentanil, tramadol, dan pregabalin.
Semua rekomendasi dari hasil pertemuan ECDD ini telah didukung oleh WHO dan telah diteruskan ke Sekretaris Jenderal PBB. Rekomendasi tersebut nantinya akan dibahas dan dipertimbangkan oleh Komisi Obat-obatan Narkotika PBB atau UN Commission on Narcotic Drugs pada Maret mendatang.
ADVERTISEMENT
Isi rekomendasi terkait ganja dan zat-zat turunannya ini antara lain adalah Komite memahami adanya bahaya kesehatan untuk masyarakat yang bisa disebabkan zat-zat ini, tapi di saat yang sama juga menyadari adanya potensi zat-zat ini untuk penggunaan terapeutik dan ilmiah.
Atas fakta-fakta ini, Komite kemudian merekomendasikan adanya sistem kontrol internasional yang lebih rasional seputar ganja dan zat-zat terkait ganja yang akan mencegah bahaya dari obat-obatan ini namun sekaligus memastikan bahwa obatan-obatan farmasi berbahan zat-zat turunan ganja bisa tersedia untuk penggunaan medis.
Pendek kata, Komite WHO ini meminta adanya pelegalan terhadap penggunaan ganja untuk medis secara internasional dengan sistem kontrol yang tepat. Bahkan mereka juga mengusulkan soal adanya kepastian ketersediaan ganja untuk keperluan medis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan konvensi internasional yang dibuat pada 1961, ganja adalah zat yang peredarannya dilarang keras dan merupakan barang ilegal. Namun seiring dengan majunya perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini sudah banyak ditemukan bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ganja bisa bermanfaat untuk pengobatan.
Sejumlah penelitian, sebagaimana dikutip dari IFLScience, telah menemukan bahwa efek penggunaan ganja berkaitan dalam membantu menangani rasa sakit kronis, epilepsi, depresi, dan gangguan psikosis serta membantu pasien kanker dalam mengatasi rasa mual yang disebabkan oleh kemoterapi.
Berdasarkan berbagai bukti ilmiah itu, saat ini setidaknya sudah ada 31 negara yang melegalkan penggunaan ganja untuk medis, misalnya Kanada, Meksiko, Jerman, Denmark, Finlandia, Israel, Argentina, dan Australia, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Di Asia Tenggara, Thailand adalah satu-satunya negara yang telah melegalkan penggunaan ganja untuk medis. Legalisasi ini berlaku setelah parlemen di sana melakukan voting pada Selasa, 25 Desember 2018.
Adapun di Indonesia, ganja masih masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja adalah contoh penerapan aturan tersebut secara hitam-putih.
Fidelis menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyeila, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit yang tak terkira
ADVERTISEMENT
Sejak diberikan ganja, Yeni merasakan sakit yang ia derita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya semakin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni jadi semakin memburuk dan akhirnya meninggal.
Rekomendasi terbaru soal ganja dari Komite WHO ini mungkin nantinya bisa dasar perubahan aturan terkait ganja di Indonesia dan negara-negara lainnya. Michael Krawitz, penasihat kebijakan global di organisasi advokasi nirlaba For Alternative Approaches to Addiction, Think & Do Tank (FAAAT), menyambut baik rekomendasi tersebut.
“Penempatan ganja dalam perjanjian 1961, tanpa adanya bukti ilmiah, adalah ketidakadilan yang mengerikan. WHO telah melangkah jauh untuk meluruskan catatan ini,” kata Krawitz, sebagaimana di lansir The BMJ.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah pernyataan FAAAT menjelaskan bahwa rekomendasi terbaru ini secara efektif menghapus pendirian WHO pada tahun 1954 lalu yang sempat menyebut 'harus ada upaya menuju penghapusan ganja dari semua praktik medis yang sah.’