Jalan Panjang Persija Mencari Rumah

24 Oktober 2017 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persija pada laga kontra Semen Padang. (Foto: ANTARA/Risky Andrianto)
zoom-in-whitePerbesar
Persija pada laga kontra Semen Padang. (Foto: ANTARA/Risky Andrianto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buku sejarah Indonesia mencatat Herman Willem Daendels sebagai seorang penjajah yang keji. Akan tetapi, yang tak banyak diketahui orang adalah fakta bahwa dia adalah peletak dasar konsep pemerintahan modern Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menyusul aksi korupsi berjemaah, Veerenidge Oostindische Compagnie (VOC) akhirnya bubar jalan persis sehari sebelum abad ke-19 dimulai. Gulung tikarnya VOC itu kemudian membuat pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan kongsi dagang tersebut dan akhirnya, resmilah Nusantara jatuh ke dekapan Belanda.
Daendels sendiri datang ke Indonesia pada 1808 ketika Belanda sedang berada di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte dan hal ini bukan kebetulan. Pasalnya, Daendels adalah loyalis Kaisar Prancis tersebut dan loyalitas tersebut salah satunya diejawantahkan dengan sistem pemerintahan sentralistik ala Napoleon di Hindia Belanda.
Ketika itu, sistem pemerintahan sentralistik tersebut memang lebih efektif dan efisien, terutama dalam meningkatkan pengawasan terhadap daerah yang menjadi sumber korupsi besar-besaran. Daendels tidak mau apa yang dialami VOC terjadi pula pada Hindia Belanda sebagai sebuah pemerintahan kolonial.
ADVERTISEMENT
Meski sistem pemerintahan sentralistik ini adalah warisan Belanda, setelah merdeka pun Indonesia terus memilih untuk menggunakan sistem ini sampai akhirnya Reformasi datang. Malah, sudah hampir dua dekade sejak Reformasi digulirkan, tetapi efek sentralisasi ini masih begitu terasa.
Salah satu residu dari sistem sentralistik ini adalah majunya Jakarta dibanding kota-kota di Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta memang masih diistimewakan dalam urusan pembangunan. Sebagai konsekuensi dari pesatnya pembangunan di ibu kota, para penduduk Jakarta pun kemudian mendapat pelbagai privilese yang tidak atau sulit dimiliki oleh para penduduk kota lain.
Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak berlaku di sepak bola. Pasalnya, Persija yang notabene merupakan klub sepak bola terbesar di Jakarta justru kerapkali tertinggal dalam lajunya progres peradaban.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, Persija Jakarta belum kunjung memiliki stadion sendiri. Dalam kompetisi Go-Jek Traveloka Liga 1, "Macan Kemayoran" menggunakan Stadion Patriot di Bekasi sebagai kandang setelah Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) direnovasi dalam rangka menyambut Asian Games 2018.
Persija sendiri tidak seharusnya bertanding di SUGBK karena stadion itu seharusnya hanya digunakan oleh tim nasional saja. Namun, menyusul dirobohkannya Stadion Lebak Bulus pada 2015 untuk digantikan dengan stasiun dan depo Mass Rapid Transit (MRT), Persija pun tak punya pilihan lain.
Perkembangan MRT Koridor Lebak Bulus-Bundaran HI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan MRT Koridor Lebak Bulus-Bundaran HI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Memang benar bahwa Persija praktis sudah tidak menggunakan Lebak Bulus sejak tahun 2008 lalu. Akan tetapi, stadion yang dulu bernama Stadion Sanggraha Pelita Jaya itu adalah rumah yang cukup nyaman bagi Persija. Kala bermain di sanalah mereka berhasil menjadi juara Liga Indonesia, tepatnya pada 2001 lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, Persija memang sudah kerap berpindah rumah dan Stadion Lebak Bulus itu merupakan kandang keempat mereka dalam sejarah. Ketika pertama kali didirikan pada 1928 sebagai Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), Persija pertama kali bertanding di Lapangan Pulo Piun di daerah Petojo, Tanah Abang.
Kala berlaga di Lapangan Pulo Piun inilah Persija mampu meraup empat trofi Perserikatan, yakni pada tahun 1931, 1933, 1934, dan 1938. Mereka pun menjadi kesebelasan tersukses kedua setelah Persis Solo yang mampu mengumpulkan tujuh gelar.
Lalu, setelah Indonesia merdeka, VIJ pun berganti nama menjadi Persija. Pada 1950, mereka pun hijrah ke Stadion Ikatan Atletik Djakarta (IKADA). Di stadion tersebut, Persija harus berbagi rumah dengan Tim Nasional Indonesia, termasuk Timnas Olimpiade yang mampu menahan Uni Soviet 0-0. Di Stadion IKADA, Persija sukses menambah satu trofi Perserikatan, tepatnya pada tahun 1954, di mana laga final dengan PSMS Medan sempat diwarnai aksi baku pukul.
ADVERTISEMENT
Setelah Bung Karno memutuskan untuk merombak area stadion dan lapangan IKADA menjadi Monumen Nasional, Persija pun akhirnya kembali terusir.
Pembukaan PON II di Stadion IKADA. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pembukaan PON II di Stadion IKADA. (Foto: Wikimedia Commons)
Akan tetapi, terusirnya Persija pada 1961 tersebut tidak terjadi tanpa adanya pemberian kompensasi. Oleh Bung Karno, Stadion Vios yang dibangun pada 1921 dan tadinya hanya digunakan oleh orang-orang Belanda itu diserahkan kepada Persija. Namanya pun diubah menjadi Stadion Persija atau Stadion Menteng.
Kala berlaga di Stadion Menteng inilah Persija menemukan kembali masa jayanya. Legenda-legenda modern "Macan Kemayoran" seperti Soetjipto "Gareng" Soentoro, Anjas Asmara, Iswadi Idris, Andi Lala, dan Adityo Darmadi sempat merasakan kehangatan Stadion Menteng. Bahkan, Bambang Pamungkas pun sempat merasakan berlatih di stadion bersejarah ini.
Ketika bermarkas di Menteng, Persija mampu meraih empat gelar juara Perserikatan, yakni pada 1964, 1973, 1975, dan 1979. Akan tetapi, sejak 1997 sampai 2008, Persija menggunakan Stadion Lebak Bulus sebagai tempat bertanding. Sedangkan, Stadion Menteng sendiri hanya digunakan sebagai aktivitas kesekretariatan, markas laatihan, dan tempat pertandingan klub-klub internal sampai akhirnya digusur pada 2006.
ADVERTISEMENT
Persija sendiri kemudian berhenti menggunakan Lebak Bulus sebagai kandang karena stadion ini dianggap tidak layak menggelar laga-laga Liga Super Indonesia. Oleh Badan Liga Indonesia, kapasitas Lebak Bulus yang hanya 12.500 itu dianggap sebagai masalah. Pasalnya, tiap kali Persija berlaga, suporter yang datang bisa mencapai hampir 20 ribu orang. Itulah mengapa, Persija kemudian hijrah ke SUGBK.
Namun, di sinilah Persija kemudian mulai kerap mendapat masalah. Ketika harus menyewa SUGBK ini, "Macan Kemayoran" justru kerapkali terusir. Padahal, sebelum direnovasi dulu, SUGBK seharusnya hampir selalu mampu menjadi tempat berteduh yang pas untuk Persija.
Penggusuran Stadion Menteng (Foto: Twitter: @Legendary1928)
zoom-in-whitePerbesar
Penggusuran Stadion Menteng (Foto: Twitter: @Legendary1928)
Akan tetapi, pihak kepolisian kemudian kerapkali tidak mengeluarkan izin untuk pertandingan-pertandingan Persija di SUGBK. Alasannya bermacam-macam, meskipun ujung-ujungnya semua itu bisa dikerucutkan pada ketakutan akan kerusuhan yang ditimbulkan oleh para suporter Persija. Terlebih, SUGBK ini terletak dekat pusat pemerintahan dan perekonomian. Alhasil, berlaga di luar kota pun jadi tak asing untuk Persija.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga stadion di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah digunakan Persija sebagai kandang, yakni Stadion Manahan di Surakarta, Stadion Maguwoharjo di Sleman, dan Stadion Mandala Krida di Yogyakarta. Celakanya, ketika berlaga di tiga stadion itu pun kerusuhan akhirnya tetap muncul.
Pada laga di Maguwo, suporter Persija dan Persib Bandung terlibat bentrok pada tahun 2013 lalu. Ketika itu, para suporter Persib sebenarnya memang sudah dilarang untuk datang. Namun, di tengah-tengah laga mereka kemudian masuk ke tribun yang biasa ditempati oleh Brigata Curva Sud dan setelah para suporter Persib masuk, baku lempar pun terjadi.
Kemudian, pada laga di Mandala Krida, para suporter Persija sempat terlibat kericuhan dengan suporter dua kesebelasan asal Papua, yakni Persiwa Wamena dan Persipura Jayapura. Kedua kericuhan ini terjadi dalam selang hanya beberapa hari di bulan Februari 2012.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada laga di Manahan tahun 2016 lalu di mana Persija bersua dengan Persib, kerusuhan pun kembali terjadi. Padahal, ketika itu suporter Persib sudah dilarang untuk datang. Menurut Kapolres Surakarta, Kombes Polisi Ahmad Lutfi, seperti dilansir Solopos, tujuh orang suporter Persija mengalami luka-luka dalam bentrokan antarsuporter Persija sendiri.
Menjadi Musafir itu Biasa
Dalam sepak bola, keberadaan klub musafir sebenarnya hal yang sudah sering terjadi. Di Liga Champions musim ini saja ada tiga kesebelasan yang harus bermain kandang di rumah orang. Mereka adalah Tottenham Hotspur, Qarabag FK, dan Shakhtar Donetsk. Jika Spurs harus mengungsi karena sedang membangun stadion baru, maka Qarabag dan Shakhtar menjadi musafir karena wilayah mereka luluh lantak dihajar peperangan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, biasanya sebuah klub menjadi musafir ketika ada hal ekstrem yang terjadi dan di tempat yang sepak bolanya sudah berjalan dengan benar, hal ekstrem itu amat jarang terjadi. Nah, di Indonesia, hal ekstrem itu kemudian menjadi hal yang (di)wajar(kan) karena saking seringnya terjadi.
Persija memang kerapkali terusir dari Jakarta karena "alasan keamanan". Akan tetapi, mereka lebih beruntung ketimbang klub-klub seperti Pelita Jaya, atau saudara muda mereka, Persijatim Jakarta Timur.
Pelita yang merupakan klub swasta ini sedari awal memang kerap berganti pemilik. Namun, pada akhirnya ketergantungan mereka pada pemodal ini yang membuat mereka sering berganti nama serta lokasi, mulai dari Pelita Mastrans (Jakarta), Pelita Bakrie (Jakarta), Pelita Solo (Solo), Pelita Krakatau Steel (Cilegon), sampai Pelita Bandung Raya (Bandung).
ADVERTISEMENT
Laga Pelita Solo di Manahan. (Foto: Twitter: @HSubosito)
zoom-in-whitePerbesar
Laga Pelita Solo di Manahan. (Foto: Twitter: @HSubosito)
Kemudian, Persijatim. Klub satu ini sempat mencuat menjadi salah satu fenomena di Liga Indonesia karena bernama Jakarta Timur tetapi bermarkas di Solo. Mereka pun sempat berganti nama menjadi Persijatim Solo FC dan diperkuat pemain-pemain muda berbakat.
Awalnya, Persijatim memilih hengkang dari Jakarta karena mereka tidak mendapat alokasi cukup dari APBD Jakarta. Namun, di Solo pun mereka tidak mendapat pehatian dan akhirnya, ketika ada pinangan dari Pemda Sumatra Selatan, Persijatim pun hijrah ke Palembang dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC.
Jika ditilik dari dua kasus ini, yang membuat sebuah klub bisa pindah dengan mudah adalah karena alasan finansial. Dengan tata kelola yang masih serampangan, tak heran jika hal ini menjadi jamak muncul di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan ini satu-satunya alasan karena ada juga klub-klub musafir seperti Persija yang kerap kesulitan mendapat izin. Kemudian, ada Persita Tangerang yang harus menumpang di rumah orang karena Stadion Benteng dianggap tidak layak pakai. Lalu, ada juga Persiba Balikpapan yang harus mengungsi ke Malang karena tengah membangun stadion anyar. Ini belum termasuk keberadaan klub-klub siluman macam Persebaya 2010 (asalnya dari Persikubar Kutai Barat) yang diada-adakan karena kepentingan politis PSSI.
Nah, jadi begitulah. Kini pertanyaannya adalah, apakah dengan stadion baru di eks-Taman BMW itu Persija nantinya bakal benar-benar bisa memiliki rumah yang nyaman?