Menyelidiki Wembley yang Angker untuk Tottenham Hotspur

21 Agustus 2017 14:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dele Alli tertunduk lesu. (Foto: Reuters/Dylan Martinez)
zoom-in-whitePerbesar
Dele Alli tertunduk lesu. (Foto: Reuters/Dylan Martinez)
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang tahu pasti ada apa sebenarnya antara Tottenham Hotspur dan Wembley. Semalam (20/8), dalam laga melawan Chelsea, Spurs yang melakoni laga pertama Premier League di rumah sementara mereka itu kalah dengan skor 1-2.
ADVERTISEMENT
Kekalahan itu, jika melihat fakta bahwa Spurs sebenarnya tidak tampil buruk, tentu cukup menyakitkan. Apalagi, pada laga pramusim menjamu jawara Italia, Juventus, anak-anak asuh Mauricio Pochettino itu mampu menang meyakinkan.
Yang lebih menyakitkan lagi, gol penentu kemenangan Chelsea semalam dicetak dua menit sebelum bubaran setelah kapten Spurs, Hugo Lloris, melakukan dua kesalahan sekaligus. Alhasil, laga yang seharusnya menjadi syukuran rumah baru itu harus berakhir dengan haru biru.
Bagi Spurs sendiri, kekalahan saat mereka berlaga di Wembley jelas bukan yang pertama. Pada musim lalu saja, mereka hanya mampu meraih satu kemenangan dari enam laga di Wembley. Kemenangan itu mereka raih saat disambangi wakil Rusia, CSKA Moskow, pada pertandingan fase grup Liga Champions.
ADVERTISEMENT
Selain kemenangan 3-1 tersebut, tidak ada lagi kemenangan yang mampu diraih Harry Kane dan rekan-rekan. Pada fase grup Liga Champions, mereka ditundukkan Monaco 1-2 dan Bayer Leverkusen 0-1. Alhasil, Spurs pun kemudian gagal melangkah ke fase gugur dan "terdegradasi" ke Liga Europa.
Di babak 32 besar turnamen antarklub Eropa level kedua itu, lawan yang dihadapi Spurs sebenarnya hanyalah wakil Belgia, Gent, yang tidak memiliki pengalaman sebanyak mereka di kancah Eropa. Namun, menghadapi tim yang di atas kertas kelasnya jauh di bawah mereka, The Lilywhites justru takluk 0-1 saat bermain di Wembley.
Terakhir, tentu saja, adalah laga semifinal Piala FA yang mempertemukan mereka dengan Chelsea. Sudah tertinggal di menit kelima lewat tendangan bebas Willian Borges, Tottenham akhirnya menyerah 2-4 dari The Blues. Apa yang mereka alami pada 22 April itu akhirnya terulang lagi tadi malam.
ADVERTISEMENT
Buruknya rekor Spurs di Wembley ini tentu mengkhawatirkan. Pasalnya, sepanjang musim ini mereka akan bermain di stadion tersebut secara rutin. Pembangunan stadion baru di tanah bekas White Hart Lane adalah penyebab mereka harus mengungsi untuk sementara ke Wembley.
Bagi publik sepak bola Inggris, Wembley adalah tempat sakral, tak peduli itu Wembley yang lama maupun yang baru. Wembley adalah Wembley, titik.
Wembley rumah sementara Spurs. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Wembley rumah sementara Spurs. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
Seharusnya, Wembley memang hanya digunakan untuk menggelar laga-laga akbar saja. Final Piala FA, Charity/Community Shield, Final Liga Champions, Final Piala Eropa, Final Piala Dunia. Laga-laga semacam itu.
Pertandingan-pertandingan yang digelar di Wembley adalah pertandingan-pertandingan yang akan masuk menjadi catatan penting di buku sejarah. Itulah yang membuat Wembley kemudian menjadi punya magi. Itulah yang membuat stadion ini disebut sebagai Home of Football; Rumah Sepak Bola.
ADVERTISEMENT
Seharusnya memang seperti itu. Akan tetapi, adakalanya situasi memaksa Wembley untuk menjadi tempat bernaung bagi klub-klub Inggris. Sebelum Tottenham, tetangga sekaligus rival mereka, Arsenal, juga pernah mengungsi ke Wembley ketika Highbury tengah direnovasi. Laga kandang Liga Champions Arsenal musim 1998/99 dan 1999/2000 pun terpaksa dimainkan di Wembley.
Hampir sama dengan Spurs, rekor bertanding The Gunners di Wembley--yang ketika itu masih merupakan stadion lama--pun amburadul. Bertanding sebanyak enam kali, pasukan Arsene Wenger itu kalah tiga kali, bermain imbang sekali, dan menang dua kali.
Dua kemenangan Arsenal itu mereka raih atas tim lemah Panathinaikos dan AIK Solna. Dua-duanya mereka raih pada partai perdana fase grup di dua musim tersebut. Setelah menang di laga pembuka, Arsenal kemudian imbang sekali (melawan Dynamo Kiev) dan kalah sekali (melawan Lens) pada musim 1998/99 serta kalah dua kali (melawan Barcelona & Fiorentina) pada musim 1999/2000.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, Arsenal pun kemudian gagal lolos dari fase grup. Jika pada musim 1998/99 mereka tidak mendapat apa-apa, pada musim 1999/2000 mereka masih bisa meneruskan perjuangan di Piala UEFA--di mana mereka kembali menggunakan Highbury sebagai kandang--hingga akhirnya tampil sebagai finalis sebelum ditundukkan Galatasaray.
Pada kekalahan melawan Lens bulan November 1998, Arsene Wenger langsung menyalahkan dimensi lapangan sebagai biang keladi kekalahan. Agak masuk akal mengingat ukuran lapangan Wembley (105m x 69m) memang lebih besar dibanding ukuran lapangan Highbury (100m x 67m).
Sepintas, perbedaannya memang tidak terlampau jauh, tetapi jika kemudian ukuran luas lapangan dihitung, perbedaan baru terasa. Dengan panjang dan lebar sekian, maka luas lapangan Wembley adalah 7.245 m2, sedangkan Highbury 6.700 m2. Cukup jauh, bukan?
ADVERTISEMENT
Nah, yang menarik, ternyata luas lapangan Highbury dan White Hart Lane itu sama persis. Meski Highbury sering terlihat lebih kecil karena sudut pengambilan gambar kamera televisi, ternyata ukuran lapangan kedua stadion itu sama.
Lalu, jika Wenger ketika itu menyalahkan ukuran lapangan akibat kekalahan Arsenal, apakah dengan begini Tottenham berarti kesulitan juga karena adanya perbedaan dimensi lapangan?
Stadion Highbury milik Arsenal. (Foto: Arsenal FC)
zoom-in-whitePerbesar
Stadion Highbury milik Arsenal. (Foto: Arsenal FC)
Well, bisa jadi. Pasalnya begini. Dengan sudah hilangnya Highbury, White Hart Lane adalah stadion dengan dimensi lapangan terkecil kedua setelah bet365 Stadium, kandang Stoke City, yang luas lapangannya 6.400 m2. Sementara itu, Wembley--dengan tiadanya perbedaan antara ukuran lapangan stadion lama dengan stadion baru--adalah stadion yang dimensi lapangannya terbesar di Premier League saat ini.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, pada musim lalu Pochettino sebenarnya pernah mengeluhkan kecilnya lapangan White Hart Lane di mana dia menyebut bahwa yang diuntungkan dengan hal tersebut adalah tim tamu. Ketika instruksi bermain Spurs seharusnya membutuhkan lapangan yang lebih besar, tim lawan bisa bertahan dengan rapat dan dalam di lapangan White Hart Lane yang sempit.
Akan tetapi, faktanya justru bertolak belakang. Spurs sama sekali tidak pernah menelan kekalahan di White Hart Lane musim lalu. Bahkan, mereka mampu mencetak rata-rata 2,47 gol per pertandingan dengan hanya kemasukan 0,47 gol per laga. Artinya, meski Pochettino mengeluh, anak-anak asuhnya justru merasa sangat nyaman dengan stadion lawas mereka tersebut.
Berdasarkan catatan Squawka, memang ada perbedaan signifikan antara cara bermain Spurs di White Hart Lane dengan cara bermain mereka di Wembley. Hal itu terlihat dari rata-rarta jarak umpan dan dari mana peluang tercipta.
ADVERTISEMENT
Di White Hart Lane, jarak rata-rata umpan mereka adalah 20m. Sementara, peluang tercipta 17,9% dari kiri, 19,4% dari kanan, dan 62,7% dari tengah. Di Wembley, rata-rata jarak umpan berkurang menjadi 18m dan penciptaan peluang pun menjadi berat sebelah ke kanan dengan persentase mencapai 46,5%. Artinya, ketika bermain di Wembley, Spurs tidak se-direct saat bermain di White Hart Lane dan sekaligus menjadi terlalu one-dimensional. Dengan cara bermain demikian, sudah terbukti bahwa Spurs tidak semematikan biasanya.
Stadion White Hart Lane, London (Foto: Julian Finney/Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Stadion White Hart Lane, London (Foto: Julian Finney/Getty Images)
Pada pertandingan melawan Chelsea semalam, 84% umpan Tottenham adalah umpan pendek. Kemudian, menurut catatan WhoScored, arah serangan mereka pun tak lagi one-dimensional di mana ada 35% serangan dari kanan, 34% dari kiri, dan 31% dari tengah.
ADVERTISEMENT
Dari situ, dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa sebenarnya, Spurs perlahan-lahan sudah mampu beradaptasi dengan dimensi lapangan Wembley. Mereka kemarin mampu mendominasi penguasaan bola, sesuai dengan keinginan Pochettino, dan sebenarnya tidak kekurangan peluang.
Satu hal yang menghalangi Tottenham kemarin dari kemenangan adalah fakta bahwa lawan yang dihadapi adalah Chelsea, sang juara bertahan. Seperti tim-tim asuhan Conte, Chelsea pada pertandingan kemarin menunjukkan kefasihannya dalam bertahan di kedalaman dan menjaga bentuk permainan mereka.
Conte berhasil mengalahkan dua tim yang lebih kuat, Belgia dan Spanyol, saat membesut Italia di Euro 2016 dengan cara bermain seperti itu. Jika tim yang jelas lebih kuat saja takluk, bagaimana dengan Spurs yang di atas kertas tak superior?
Bagi Tottenham, musim masih sangat panjang dan apa yang mereka tampilkan melawan Chelsea sebenarnya bisa dijadikan pertanda bahwa Wembley bisa jadi takkan semenakutkan yang dibayangkan. Secara teknis, Spurs sudah berada di jalur yang benar dan apabila mereka nantinya tetap tidak juga dinaungi keberuntungan, maka tak ada penjelasan lain selain adanya kemungkinan bahwa di Wembley, kutukan itu memang nyata.
ADVERTISEMENT