Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sosok lelaki sepuh berjalan memasuki kantor kumparan, Senin (6/11). Ia pendek gempal, dengan semua rambut telah memutih. Senyum ramah tersungging di bibir, kacamata bertengger menghiasi wajah bundarnya. Danarto kini berusia 77 tahun.
ADVERTISEMENT
“Teh saja, tanpa gula,” katanya ketika kami menawarkan minuman.
Gula memang tak baik bagi orang tua. Maka teh pahit disuguhkan. Pahit pula yang kerap ditelan Danarto sehari-hari kini.
Segala yang manis dalam hidupnya mungkin telah terbang. Danarto saat ini hidup sendiri di sebuah rumah kontrakan sempit di Pamulang, Tangerang. Pengap, tanpa pendingin udara.
Kawannya hanya tumpukan buku yang terus menggunung dan membuat lorong rumah kian sempit. Akan amat mudah menyebutnya lelaki sunyi. Tapi siapa kita boleh menghakimi?
Dan siapa Danarto sesungguhnya?
Mereka yang sebaya dengan dia pun belum tentu mengenalnya, apalagi yang lebih muda. Bagi kita, mungkin Danarto tak lebih dari seorang “kakek tua”--yang kadang terbatuk-batuk, lalu melempar pandang menerawang layaknya orang-orang tua lain.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu, mungkin anda harus melihat tulisannya.
Tubuh-tubuh dilumatkan, rumah-rumah dikunyah-kunyah. Pasar-pasar dihancurkan, masjid yang indah diledakkan. Apa saja yang tegak di atas tanah harus dilumatkan dari penciuman bumi, dari arang kehidupan, demi wajah dan kemenangan.
Kutipan kalimat-kalimat dalam cerita pendek “Kabut Neraka” itu mungkin tak berarti apa-apa pula bagi kita.
Paris telah menjelma belantara yang membara sepanjang cakrawala. Kobaran api mahaluas. Langit terbedah lalu hujan darah. Bencana nuklir mengancam kota Paris. Orang-orang membangun Paris duplikat di bawah tanah, persis aslinya yang ada di permukaan tanah. Dan, benarlah peramal Nostradamus, bencana nuklir memorak-porandakan Paris. Disusul kecamuk terorisme yang tak seorang pun tahu akhirnya.
Begitu pula nukilan cerita “Paris Nostradamus” yang ia tulis. Sepotong tak akan banyak artinya, memang. Tapi setidaknya, dari situ kita dapat melihat energi yang mengalir dari seorang Danarto.
ADVERTISEMENT
Dengan tulisan sebagai karya, siapa Danarto bisa diterka. Ia sastrawan yang disebut Goenawan Mohamad sebagai “pelopor realisme magis di Indonesia”, pernah menyabet anugerah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1982, dan menerima penghargaan Achmad Bakrie Award pada 2009 di bidang kesusastraan.
Saat hendak memulai perbincangan, kami menawarkan Danarto untuk memindahkan dompet dari sakunya, karena saku celananya begitu terlihat gembul di lensa kamera. Namun ternyata, Danarto bukannya mengeluarkan dompet, melainkan lembaran-lembaran uang lusuh.
Uang-uang kertas lusuh itu ia tarik keluar dari saku celananya--tak habis-habis. Adegan itu sungguh ganjil, dan membuat kami semua terpana.
“Sinting,” mungkin begitu pikir para milenial. Dan Danarto bagai tak kalah edan, memperlambat gerak tangannya mengambil lembaran-lembaran uang kucel dari sakunya, agar kami semua dapat merekam fragmen itu.
ADVERTISEMENT
Kami lantas terkekeh-kekeh bersama. Absurd! Jika tak mau dikata gila.
“Kakek itu punya kantong Doraemon,” ujar seorang pegawai magang, berbisik di telinga rekannya.
Danarto lalu berkata, ia tak punya dompet dan tak pernah menyimpan uang di dompet.
Kami makin tercengang, bak bertemu manusia purba.
Tapi, bisa jadi, “kegilaan” itulah yang membuat Danarto melahirkan karya-karyanya. Dan tidakkah kita semua begitu? Membutuhkan kegilaan--dalam kadar berbeda--agar tak henti berkreasi?
Percakapan pun bergulir, dan kami mendengarkan Danarto “mendongeng” dengan tenang.
Sila simak “dongeng” Danarto di video berikut. Menyusul beberapa kisah tentangnya akan kami bagi untuk anda hari ini.