Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Inspirasi Womanpreneur: Desainer Modest Fashion Ria Miranda
21 November 2018 12:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam menciptakan sebuah bisnis, manis, pahit, dan arti sebuah proses, menjadi satu paket yang tak bisa dipisahkan. Begitu pula yang dialami dan dilalui oleh desainer busana Muslim, Ria Miranda nama yang sudah tidak asing lagi di industri mode modest Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Memulai brand pribadinya dari nol pada 2009 silam, desainer berusia 33 tahun ini membangun bisnisnya dari bawah. Dengan bermodalkan situs blog internet gratis yang ia pasarkan sendiri, aplikasi pesan instan untuk membalas pesan-pesan pelanggan, hingga jumlah produksi pakaian yang bisa dihitung jari, semua proses tersebut kini mengantarkannya sebagai salah satu desainer modest Indonesia terkenal, yang memiliki ruang di hati penikmat mode Tanah Air. Benar, siapa yang tak mengetahui sosok dari desainer pemilik brand riamiranda ini?
Beberapa waktu lalu, kumparanSTYLE pun berkesempatan untuk bertandang ke kantor dan workshop Ria Miranda yang terletak di kawasan Bintaro Sektor 2, Tangerang Selatan. Bangunan bermaterial beton berwarna abu-abu tersebut, menjulang setinggi tiga lantai, yang tampak kontras dengan bangunan sekitarnya, yang didominasi oleh rumah-rumah warga. Jika ‘stylish’ bisa mendeskripsikan sebuah ruang, maka kantor Ria Miranda ini tepat dijabarkan dengan deskripsi tersebut. Hiasan kaca-kaca tinggi, warna-warna senada di setiap temboknya, hingga sudut-sudut ruang yang photogenic, dijamin membuat siapa saja betah untuk bekerja di sana.
Di waktu yang sama, kepada kumparanSTYLE, desainer berdarah Minang yang akrab disapa ‘Uni’ oleh rekan-rekan desainer dan temannya ini bercerita tentang kehidupannya; mulai dari perjalanan membangun usaha, bekerja bersama suami dalam perusahaan yang sama, hingga caranya menyeimbangkan waktu dan kehidupan sebagai ibu dari tiga anak.
ADVERTISEMENT
Ingin mengenal dan mengetahui proses karier Ria Miranda lebih dalam? Simak penuturannya kepada kami di sini.
Anda merupakan seorang lulusan Fakultas Ekonomi dari Universitas Andalas, bagaimana ceritanya bisa terjun dan ‘banting setir’ ke dunia fashion modest?
Jadi saya dari kecil sampai SMA tinggal di Padang, Sumatera Barat dan memang dari dulu saya sudah hobi menggambar, tepatnya dari SMP. Saya suka gambar, tapi belum tahu maunya kemana. Waktu lulus SMA, baru kepikiran dan tertarik untuk jadi fashion designer. Sayangnya, di Padang belum ada kursus fashion, dan yang saya tahu adanya di Jakarta.
Saat saya izin sama orangtua untuk ambil sekolah fashion di Jakarta, susah banget. Pas lulus SMA saya minta izin, boleh nggak sekolah fashion di Jakarta, orangtua tetap ingin anaknya S1 dulu. Saya mikir, kira-kira jurusan apa ya? Akhirnya saya memutuskan belajar hal yang berhubungan dengan bisnis, dan akhirnya ambil marketing manajemen di Universitas Andalas. Saat itu kan sekitar tahun 2000-an ya, di pikiran orangtua saya mungkin profesi sebagai fashion designer itu bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan. Jadi seperti hobi saja jadinya.
ADVERTISEMENT
Empat tahun lulus kuliah, dan tetap saya nggak kepikiran mau kerja dimana atau melamar pekerjaan yang berhubungan dengan jurusan. Saya masih penasaran dengan sekolah fashion itu. Jadi saya tetap minta sama orangtua boleh apa nggak, akhirnya mereka membolehkan saya untuk ambil short course dulu satu bulan. Mungkin mereka masih keberatan untuk melepas anak gadis ke Jakarta. Padang-Jakarta kan lumayan jauh, ya.
Akhirnya saya ke Jakarta dan tinggal dengan tante. Ambil short course dulu selama satu bulan di ESMOD. Lalu karena masih penasaran, akhirnya saya lanjutin ambil sekolah yang serius selama satu tahun.
Lalu setelah lulus dari ESMOD, bagaimana proses Anda membangun label fashion sendiri?
Setelah lulus, saya sempat jadi fashion editor di majalah muslim sekitar satu tahun. Dari situ sering ketemu desainer Muslim, kenalan sama mereka dan jadi belajar tentang industrinya. Mulai dari fashion show, bisnis, dan lain-lain. Setelah itu, saya juga magang jadi asisten fashion designer. Sambil jalan magang itu, saya juga mulai buka brand sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya buat label sendiri itu di 2009, dulu namanya Shabby Chic by Ria Miranda. Alasannya Shabby Chic karena dulu suka sekali dengan style seperti itu, terutama di furniturnya kan. Gaya-gaya vintage, feminin, floral, lace, pastel, ya akhirnya buat brand dengan nama itu.
Nah, dalam perjalanannya, saya bertemu dengan suami dan dari situ dia bantu urusan branding, dia senang dengan hal-hal seperti itu. Dia berpikir kenapa ngga pakai ‘riamiranda’ saja? Saya awalnya nggak pede ya pakai nama sendiri. Tapi responnya pun bagus akhirnya.
Di awal membangun bisnis, bagaimana cara Anda memasarkan dan menjual baju-baju tersebut?
Awal-awal mendirikan label, produksi baju bisa dihitung jari, satu model paling sekitar 6-8 pieces. Saya juga pernah mencoba buat satu koleksi gitu. Terus saya bikin pola sendiri, jahit sendiri juga pernah, jual sendiri, bales-balesin chat customer sendiri. Awal-awal saya lakukan hal-hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dulu juga saya sudah mulai memasarkannya lewat online, di blog (blogspot.com). Saya memang upload dan nulis sendiri di blog, masuk-masukin foto. Saya jual lewat BBM (Blackberry Messenger) dan juga memasarkan melalui Facebook dan alhamdulillah responnya bagus. Kemudian akhirnya saya jadi punya tukang pola dan punya tukang jahit sendiri. Awalnya saya jalan-jalan ke pasar dulu sendiri, cari tukang jahit, minta-minta sample jahitan. Jadi prosesnya memang panjang, tidak instan.
Kapan turning point bisnis Anda?
Turning point-nya waktu itu saat saya sempat diundang acara TV oleh Puput Melati, sepertinya sekitar tahun 2010, untuk sebuah acara yang berhubungan dengan desainer hijab, saya lupa persisnya bagaimana. Nah, dari situlah saya jadi punya klien artis seperti Mba Inneke dan Mba Marini. Semenjak saya masuk TV, banyak yang bertanya ke Puput Melati, ini brand apa, siapa desainernya, dan di situlah alhamdulillah terbuka jalan saya ke artis-artis sebagai desainer Ria Miranda .
Suami Anda, Pandu Rosadi, memiliki peran besar dalam membangun brand ini. Bisa dibilang Anda dan suami membangun label riamiranda bersama-sama, bagaimana rasanya bekerja dengan pasangan dalam bisnis dan perusahaan yang sama?
ADVERTISEMENT
Setelah rebranding dari Shabby Chic ke riamiranda, nggak lama kita menikah. Dia sambil kerja di perusahaannya, tapi tetap bantu balas-balas email. Lalu setahun setelah menikah, saya melahirkan dan dia memutuskan untuk resign dari kantornya dan fokus di brand riamiranda.
Jadi brand ini memang tumbuh bersama dengan suami. Mungkin kalau saya sendiri yang jalanin, akan stop di situ-situ saja, nggak akan bisa masuk ke Galeries Lafayette, Sogo, kolaborasi dengan Tokopedia, atau lainnya. Jadi suami saya yang punya banyak peran di urusan seperti itu. Sejak itu pun, saya fokus ke kreatif, lebih ke desain, tema, dan lainnya. Dan suami mengurus bagian manajemen, finansial, dan lain-lainnya.
Sampai sekarang, ya alhamdulillah senang saja menjalankan bersama-sama. Saya juga sekarang memiliki tiga anak dan nggak bisa full selalu di kantor, banyak yang harus diurus di rumah. Dengan adanya suami di bisnis bersama, tentu jadi lebih fleksibel, lebih transparan. Suami bisa mengurus kantor saat saya di rumah, dan bisa bagi-bagi peran juga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, senang juga jadi ketemu terus, jemput anak bareng. Masalahnya paling bahas kerjaan ya, jadi kalau di rumah masih bahas kerjaan, lalu suka mumet, dan akhirnya kita janji untuk nggak bahas kerjaan kalau sudah sampai rumah. Udah seharian di luar, masa di rumah masih mumet bahas kerjaan, kan.
Jika dibandingkan dengan dahulu di awal membangun brand fashion sendiri, perkembangan brand riamiranda sendiri bagaimana saat ini?
Dulu usaha kami berawal dari dua offline store, di Bintaro dan di Padang. Saat ini kami punya 20 offline store di seluruh Indonesia yang tersebar di Bandung, Padang, Yogya, Balikpapan, Samarinda, Lombok, dan lainnya.
Lalu untuk koleksi sendiri, dulu paling saya mengeluarkan dua koleksi setiap tahunnya. Kalau sekarang per bulan keluar satu koleksi, dan alhamdulillah jumlah mencapai ribuan pieces, karena kan kita jual di cabang offline dan di online. Jumlah produksi setiap bulan mungkin mencapai 10 ribu pieces. Tapi pencapaian hingga bisa produksi hingga 10 ribu pieces per bulan itu baru kami raih sejak 3 tahun terakhir. Ada prosesnya, mulai dari 200 pieces, 300 pieces, 500 pieces, sampai seperti hari ini, semua ada proses.
Dalam membangun label yang dimulai dari nol ini, apa pengalaman berat yang pernah Anda jalani?
ADVERTISEMENT
Pengalaman berat dan pahit tentu banyak ya. Mulai dari pengalaman pahit dengan partner, maupun dari karyawan sendiri. Semakin kesini, semakin besar, jadi makin rumit, bahkan orang yang nggak disangka-sangka, bisa kejadian (memberi pengalaman pahit). Jadi saya belajar terus untuk mengenal karyawan dan karakter mereka satu-satu.
Pada awalnya kita tidak ada HRD, sekarang sudah ada yang handle, dan perusahaan dijalankan lebih profesional dan cari pekerja dengan kriteria yang lebih spesifik. Kita juga sekarang sudah menyangkut ke perusahaan besar melalui kolaborasi-kolaborasi gitu. Jadi ya, yang kerja pun harus mewakili brand kita.
Karena sudah terstruktur sebagai perusahaan, dari segi manajerial, sekarang saya nggak perlu tahu soal urusan-urusan manajemen. Peran saya adalah sebagai Creative Director dan suami yang berperan sebagai company director.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi inspirasi Anda dalam membentuk ciri khas desain yang berpotongan loose dan bernuansa pastel?
Dari awal memang saya sudah pakai pastel, pola-pola dan ragam motif seperti ini. Jadi ketika sekolah di ESMOD, memang kita dibantu untuk mencari karakter untuk brand DNA kita. Dan saya memang suka yang bernuansa feminin dan cantik.
Perbedaannya mungkin kalau dulu pastelnya Ria itu lebih ke pink biru muda cheerful, kalau sekarang, lebih berani dan lebih mature. Saya juga mengutamakan kenyamanan untuk ibu-ibu. Kalau dulu kan targetnya untuk anak-anak muda, sekarang sudah beda nih, saya fokuskan ke ibu-ibu muda. Ya sebenarnya berkaca ke diri saya sendiri sih. Ibu satu dua anak, atau yang masih menyusui dan suka traveling. Ibu-ibu yang ribet ngurusin anak, tapi masih ingin tetap stylish. Jadi desainnya pun busui (ibu menyusui-red) friendly, desainnya tidak ribet, tidak mudah kusut juga. Harus nyaman dan tetap dalam pakem muslimah.
Dalam desain riamiranda, Anda sering menyatukan elemen tradisional khususnya dari Minang, apakah ini salah satu DNA brand riamiranda juga?
ADVERTISEMENT
Awalnya saya angkat tema Minang dari Sumatera Barat memang karena saya suka banget sama motif songketnya. Tapi itu kan warnanya ngejreng sekali ya, nah saya berpikir, kenapa nggak dibuat warna-warna yang cantik dan pastel. Akhirnya saya sempatkan ke perajin lokal dan request langsung boleh tidak kalau warna-warna kainnya diubah menjadi pastel. Tentu itu juga susah untuk mengubah mindset dan meyakinkan mereka. Tapi ya akhirnya bagus, dan saya angkat songket Minang dengan dipadukan DNA brand sendiri sehingga jadi salah satu best seller kami.
Mengangkat satu budaya itu jadi value tersendiri, kan. Jadi dalam satu tahun itu pasti ada saja kita mengeluarkan koleksi Minang. Namun kalau dibilang itu jadi salah satu brand DNA sepertinya tidak ya. Karena seperti yang sekarang sedang saya pakai, ini tenun Lombok, lalu pernah juga angkat batik dari Jawa. Jadi ya apapun yang bisa di explore.
ADVERTISEMENT
Sekarang ini banyak sekali brand modest yang menjamur di Indonesia, bagaimana strategi Anda untuk menghadapi persaingan bisnis?
Saya harus konsisten. Mulai dari bikin koleksi secara reguler termasuk melakukan fashion show seperti RMTS (Ria Miranda Trunk Show). RMTS itu adalah trunk show yang memang saya lakukan tiap tahun. Lalu saya juga ikut fashion week, jadi kita masih tetap menjaga itu. Selain itu, kami juga selalu melakukan pendekatan dengan customer, karena riamiranda ini juga besar karena community. Jadi kami punya komunitas yang namanya Ria Miranda Loyal Customer (RMLC). Itu customer yang terbentuk sendiri dan berkumpul. Saya juga sebenarnya baru tahu karena ada hashtag #RMLC, lalu jadi ramai. Saya jadi ingin kenalan sama mereka hingga kemudian kami jadi akrab dan seperti keluarga jadinya.
ADVERTISEMENT
Kami menyadari bahwa kami kuat karena mereka. Masukan dari mereka sangat kami dengarkan, misalnya mengenai cutting dan model. Masukan dari mereka kami jadikan pertimbangan untuk improve di next collection.
Di tengah kesibukan membangun dan mengembangkan bisnis, bagaimana Anda membagi waktu untuk anak-anak? Apakah Anda punya peraturan-peraturan tersendiri dalam menjalani kedua peran sebagai entrepreneur dan ibu?
Ya pastinya saya sangat berusaha untuk menyeimbangkan semuanya. Saya harus mengatur waktu antara persiapan trunk show dengan menjemput anak di sekolah. Biasanya saya sering ajak anak-anak untuk ke studio, mereka juga senang main di sini.
Untuk urusan jemput anak, sebenarnya nggak harus saya terus yang jemput. Tetapi ketika saya ada waktu, saya usahakan untuk jemput terus. Paling saya antar mereka sekolah pukul 10.00 pagi, terus saya ke kantor. Lalu nanti pukul 13.00, saya jemput mereka, antar ke rumah, dan saya balik ke kantor lagi. Untungnya kantor dan rumah jaraknya dekat. Saya juga bisa berbagi waktu dengan suami. Jadi kalau saya ada urusan dan ada kerjaan di luar, suami bisa pulang cepat dan menghabiskan waktu bersama anak-anak.
ADVERTISEMENT
Untuk Sabtu dan Minggu nggak saya pakai untuk kerja kecuali urgent, saya biasa di rumah sama anak-anak. Itu jadi family time.
Cara Anda untuk rileks dan meredakan stres?
Paling ya itu, menyempatkan waktu untuk bertemu teman-teman. Cuma sekarang susah sekali sih (bertemu teman), paling saya bertemu dengan teman pada saat ikut pengajian. Itu jadi refreshing tersendiri, ya.
Untuk pereda stres sendiri, sejujurnya nggak ada. Saya bukan tipe yang gampang stres. Jika ada masalah, paling saya jalani saja dan cari solusi bareng suami. Itu sih, sharing aja gitu. Dan alhamdulillah kalau pekerjaan sudah lebih terstruktur karena saya punya tim.
Pesan untuk perempuan muda lainnya yang mau jadi desainer dan entrepreneur seperti Ria Miranda ?
ADVERTISEMENT
Coba terus! Walaupun di awal-awal nggak berani, coba, coba, coba, dan cari tahu terus tentang perkembangan fashion. Belajar tren, juga belajar bisnisnya. Di awal-awal pasti ada yang nggak sesuai dengan harapan, dan itu wajar, tapi kalau mundur, gimana kita mau maju. Kalau sudah ada tersandung satu batu, harus terus bangkit lagi. Saya sendiri proses sampai seperti hari ini, prosesnya panjang dan nggak instan.
---
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya, hanya di topik sheinspiresme .