Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Mengenal Batik Tiga Negeri, Karya Klasik Peranakan Cina di Tanah Jawa
19 Agustus 2018 17:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Batik sendiri dikenal berdasarkan cara pembuatannya, mulai dari tulis, cetak, hingga printing. Daerah seperti Pekalongan, Solo, Yogyakarta hingga Lasem pun terkenal sebagai sentra penghasil Batik di Indonesia.
Namun pernahkan Anda mendengar kain Batik Tiga Negeri?
Dikalangan kolektor, pecinta batik, budayawan dan sejarawan, nama Batik Tiga Negeri tentu tidak asing lagi. Namun, barangkali banyak dari generasi milenial yang tak banyak mengetahui jenis wastra ini. Padahal, batik tiga negeri juga tersedia dalam ragam gaun, kemeja, outer, hingga tas jinjing.
Batik Tiga Negeri merupakan batik yang mulanya mengalami proses pewarnaan yang berpindah-pindah di tiga daerah. Warna merah dicelup di Lasem, biru di Pekalongan atau Kudus, sedangkan cokelat soga di Solo atau Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Bahkan, mitosnya, jika pewarnaan kain tidak dilakukan di daerah yang semestinya, misalnya pencelupan warna merah tidak di lakukan di Lasem, maka tidak akan mendapatkan warna merah yang khas Lasem. Begitupun jika tidak melakukan proses celup warna biru di Pekalongan dan cokelat soga di Solo, maka nantinya tidak akan mendapatkan warna yang sesuai.
"Di abad ke-20 Batik Tiga Negeri merupakan kain premium yang mahal harganya. Kain ini dijadikan sebagai seserahan perkawinan, dan juga menjadi pilihan yang digunakan para sosialita dan para pengusaha kaya saat itu yang berasal dari Arab, Belanda, China," papar Agni Malagina, seorang peneliti budaya Cina, saat ditemui kumparanSTYLE dalam acara bincang sore 'Napas Batik Tiga Negeri: Riwayat Kain Peranakan Cina dan Perkumpulan Rahasia', di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Salah satu mahakarya peranakan Cina di pesisir utara Jawa dan Solo ini, sarat akan pesan akulturasi dan keberagaman budaya. Batik Tiga Negeri hadir dikala masa sulit pendudukan kolonial, kebangkitan kesadaran akan nasionalisme dan krisis ekonomi di tanah Jawa. Hal tersebut tercermin dari warna merah getih pitik (darah ayam) cerminan tradisi Cina dari Lasem, biru indigo khas batik Belanda asal Pekalongan dan warna coklat soga yang sarat akan makna filosofis Jawa.
Sedangkan dari segi motif perpaudan antara budaya Cina, Jawa, dan Belanda terlihat jelas pada motif hong, bunga mawar, tulip, bunga peoni, kupu-kupu, dan parang.
Pada masanya Batik Tiga Negeri hanya diproduksi oleh pengusaha batik Cina di daerah pesisir Jawa (Lasem, Kudus, Pekalongan, Batang, Cirebon) dan pedalaman Jawa Tengah, Solo.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, kini batik klasik ini terancam punah karena salah satu produsen Batik Tiga Negeri yang terkenal, yakni Tjoa Giok Tjiam telah berhenti produksi. Dikenal dengan batik Tjoa, produsen tersebut beroperasi sejak 1910 di Solo. Tercatat diperlukan waktu hingga tiga bulan dalam proses pewarnan Batik Tiga Negeri.
Batik Tiga Negeri Tjoa ini pun berhenti di generasi ketiga anak Tjoa Giok Tjiam, yakni Tjoa Siang Swie pada 2014 lalu. Alasannya, karena sulitnya mencari pengerajin batik yang baik dan sesuai.
"Menurut Opa Tjoa Siang Swie, saat ini sudah sulit menemukan pebatik yang sehalus standar mereka. Selain itu, beliau sudah waktunya pensiun, mengingat usianya menjelang 70 tahun, ia sudah mengalami kesulitan untuk membuat batik. Alhasil Batik Tiga Negeri Tjoa pun tak ada penerusnya lagi," Papar Agni.
Mungkin, hikayat Batik Tiga Negeri tidak banyak diketahui generasi muda saat ini. Namun perlu diketahui, dalam selembar Batik Tiga Negeri sarat akan nilai keberagaman dan toleransi. Ragam coraknya menggambarkan harapan kebaikan, keindahan, dan begitu multikulturalnya Nusantara.
ADVERTISEMENT
"Tak hanya bicara tentang tiga kota, batik ini juga sarat kaitannya dengan kepercayaan, keluarga dan persahabatan," tutup Agni.