Menolak Body Shaming, Ejekan Semena-mena Soal Tubuh

4 Februari 2018 13:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wanita gemuk adalah pribadi yang menyenangkan. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Wanita gemuk adalah pribadi yang menyenangkan. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hitam. Jerawatan. Pendek. Gemuk--atau sebut saja gendut.
Jelek.
Apa salahnya memiliki badan berukuran besar? Dosa? Kan bukan korupsi atau merampok. Jadi kenapa harus dicela?
ADVERTISEMENT
Memiliki tubuh gemuk, berkulit gelap, atau berwajah tak mulus, acap kali didefinisikan tak menarik. Sial memang, karena standar kecantikan asal negeri antah-berantah memuja-muji kulit putih dan tubuh kurus, yang lalu--dipaksakan-diamini.
Maka, Vera Nanda Putri--yang akrab disapa Nanda--harus menelan pahit-pahit semua celaan yang ditujukan kepadanya. Mau bagaimana lagi, sebab tubuhnya berukuran besar, serupa kedua orang tuanya. Ini, menurutnya, antara lain karena soal genetik.
“Aku dari kecil emang enggak pernah turun berat badannya, karena orang tuaku juga gendut dua-duanya,” kata Nanda kepada kumparan, Selasa (30/1).
Perempuan 28 tahun itu bercerita, pun ketika ia jatuh sakit, berat badannya tak sedikit pun turun. Stabil di angka yang sama.
Semula, Nanda tak memikirkan atau memasukkan ke hati tiap ejekan yang ia terima soal tubuhnya. Ia sudah amat terbiasa dipanggil “melon” atau “lontong”.
ADVERTISEMENT
Hingga tiba satu momen indah dalam hidup Nanda. Kesempatan belajar di Korea Selatan membawanya lebih dekat pada laki-laki yang kini menjadi suaminya, Park Jun. Mereka menikah tahun lalu, 27 Februari 2017.
Dalam tiap foto yang diunggah Nanda di media sosial, keduanya tampak bahagia. Tapi, ada saja orang yang seperti tak suka melihat kebahagiaannya. Alasannya pun menjengkelkan: karena menganggap Nanda yang gendut tak pantas untuk bersanding dengan Jun.
Vera Nanda Putri dan Park Jun. (Foto: Instagram: @veranandaputri)
zoom-in-whitePerbesar
Vera Nanda Putri dan Park Jun. (Foto: Instagram: @veranandaputri)
Segala penghakiman pun menerpa Nanda, seolah mereka itulah “Tuhan yang Maha Menentukan Jodoh Manusia”.
Nanda dicibir dan digunjingkan di media sosial. Akun medsosnya yang aktif ia gunakan terus-menerus menerima pesan negatif.
“Misalkan aku lagi insta-live, mereka bilang ‘Turunin dong berat badannya, kasihan suaminya,’” kata Nanda.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal berat badannya, kulit Nanda yang berwarna sawo matang pun tak luput dari olokan.
“Ceweknya gendut banget. Udah gendut, jelek, item. Aduh, itu komplet, yah,” ujar Nanda menirukan cercaan yang ia terima.
Ejekan itu tak hanya datang sekali-dua kali, tapi bertubi-tubi sejak hari pernikahannya. Seakan orang gendut tak pantas bahagia.
Nanda pun memutuskan untuk mengabaikan segala cacian dan menutup telinga rapat-rapat.
“Kayak makanan saja tiap hari. Lama-lama saya bodo amat,” kata Nanda.
Tapi tentu saja, dalam hatinya, Nanda menyimpan rasa jengkel. Jika kekesalan itu kian kuat terasa, Nanda akan bercerita pada orang tua atau suaminya.
“Aku cerita paling ke mama, lalu dia bilang ‘Ah ya sudah, enggak usah ditanggepin. Mereka enggak kenal kamu.’ Paling sekarang cerita ke suami, terus katanya, ‘Ah ya sudah, don’t care lah,’” ujar Nanda.
ADVERTISEMENT
Ia sempat mencoba diet agar tak terus dicemooh. Tapi diet itu tak membuahkan hasil.
“Ikut diet yang makan enggak pakai garam. Cuma seminggu, habis itu enggak bisa,” kata Nanda.
Betapapun, ia beruntung karena dikelilingi orang-orang terdekat yang tak pernah berpikiran tubuh besar identik dengan jelek atau tak ideal. Keluarga dan suaminya selalu memberi dukungan dan mengimbau Nanda agar tak melakukan diet total hanya karena ingin kurus.
Bahkan saat Nanda pada satu waktu berpikir untuk melakukan operasi kecantikan, suaminya melarang.
“Sempat mau operasi liposuction (sedot lemak), tapi dia (suami) bilang, ‘Aduh, jangan deh.’ Dia enggak pernah komplain (soal tubuhku),” ujar Nanda.
Vera Nanda Putri (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Vera Nanda Putri (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Seperti halnya Nanda, pengalaman menghadapi body shaming pun dirasakan oleh Dita (21).
ADVERTISEMENT
Body shaming merupakan cibiran yang diarahkan pada tubuh seseorang. Semisal, mengomentari ukuran tubuh, bentuk rambut, hingga warna kulitnya. Cibiran ini dilontarkan dengan nada merendahkan tubuh seseorang yang dianggap tidak ideal atau tidak menarik.
Sedari duduk di sekolah dasar, Dita memiliki ukuran badan yang cenderung lebih besar dari kawan sebayanya. Seiring waktu, Dita dan teman-teman bertumbuh lebih tinggi dan besar. Namun, ejekan gendut pun kian kerap dilontarkan pada dirinya--yang memiliki berat badan 78 kg dan tinggi 150 cm.
Hati-hati memilih makanan agar tidak bikin gemuk. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Hati-hati memilih makanan agar tidak bikin gemuk. (Foto: Thinkstock)
“Kebanyakan memang yang di-flaunt pertama kali ya appearance. Waktu SMA, berat badanku udah 78 kilogram, yang mana tinggi cuma 150 gitu. Jadi kelihatan bulet banget gitu,” kenang Dita.
Dita sempat mencoba diet ekstrem. Alhasil, berat badannya turun sebanyak 12 kilogram. Namun, penurunan berat badan tersebut masih saja dipandang tak ideal oleh sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
“Diet sempat turun 12 kg, tapi tetep dikatain gendut karena emang bongsor kan. Jadi pas udah turun banyak tapi masih tetep dikatain tuh rasanya kayak apa ya, it's never been enough gitu,” katanya.
Tolok ukur tubuh ideal dan penampilan menarik kerap kali disederhanakan, sehingga definisinya pun menyempit pada, misalnya, tubuh kurus—tapi jangan terlalu kurus—dan warna kulit terang. Dan standarisasi ini tak jarang dampaknya merasuk hingga ke emosi para korban body shaming.
Segala bentuk gunjingan terhadap tubuhnya membuat emosi Dita terdampak cukup buruk. Pada 2015, Dita didiagnosis mengalami general anxiety disorder dan bipolar disorder tipe II.
“Di tahun 2015 itu aku kebetulan diagnosed with general anxiety disorder sama bipolar disorder type 2 dan menurut aku yang body shaming itu dia masuk ke faktor untuk aku jadi kayak punya anxious (kegelisahan),” ujar Dita.
Bahaya body shaming (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bahaya body shaming (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
Media dan teknologi dalam idealisasi tubuh perempuan
ADVERTISEMENT
Representasi media dan teknologi, tak bisa dihindari, memberikan sumbangsih pada penetapan definisi dan standar tubuh menarik melalui konten-kontennya. Dalam iklan-iklan produk perawatan, misalnya, perempuan ideal diasosiasikan dengan tubuh semampai—tinggi dan langsing.
Psikolog Northwestern University AS Renee Engeln menyebutkan, masyarakat cenderung fokus melihat dan menilai tubuh perempuan. Tak bisa dipungkiri, kehadiran teknologi pun membuat fokus terhadap tubuh perempuan semakin tegas. Kehadiran media sosial, misalnya, tak jarang memantik persaingan diri—saling bersaing tentang siapa yang paling menarik.
“Kita cenderung fokus memperhatikan dan menilai tubuh perempuan. Dan kehadiran teknologi membuat fokus tersebut semakin tajam dalam memandang dan menilai perempuan,” ucapnya, seperti dikutip dari CNN (15/4/2016).
Efek ini dengan kuat dirasakan oleh Nanda. Ia sering kali menerima ejekan dari mereka yang tak mengenalnya secara personal dan hanya sekadar berinteraksi melalui media sosial Instagram.
Ilustrasi Instagram  (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Instagram (Foto: Pixabay)
“Semenjak aku nikah viral, ya dari media sosial itu banyak banget yang nge-bully,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Risakan paling menyakitkan yang pernah diterima Nanda datang dari sebuah media Korea bernama Koreaboo. Kabar pernikahannya yang menyebar luas itu diulas dalam sebuah artikel Koreaboo.
Banyak pembaca yang memberikan komentarnya. Namun, ada satu ejekan yang membuat Nanda begitu sakit hati; ia disebut-sebut akan meninggal karena serangan jantung.
“Sempet ada (berita pernikahann) di Koreaboo, mereka bilang ‘oh itu dia itu bakal mati karena serangan jantung’. Itu baru berapa bulan sih, bulan lalu. Mereka bilang gitu ke aku. Bakal mati karena serangan jantung. Dan itu aku (setelah) bacanya sakit sih,” kata Nanda.
Vera Nanda Putri (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Vera Nanda Putri (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
Terlepas dari segala ejekan dan gunjingan yang diterima, Nanda dan Dita memilih untuk berdiri dan menolak mendengar.
Nanda melihat dirinya sendiri sebagai perempuan bertubuh besar dengan pribadi menyenangkan.
ADVERTISEMENT
“Aku lihat diriku ya perempuan yang gendut, tapi dikelilingi banyak teman, menyenangkan, dan tidak menyusahkan orang lain,” kata Nanda.
Seperti halnya Nanda yang memandang positif akan dirinya sendiri, Dita pun memilih untuk berdiri dan mulai belajar mencintai tubuhnya sendiri.
You do you. Itu badan lo. Be happy for it. Serius deh, rasanya tuh devastated banget kalau misalnya kita terus dengerin orang-orang yang nggak tahu apa yang kita udah lakuin. I think it’s time for society to accept people just the way they are,” tandas Dita.
Definisi tubuh ideal perempuan berkembang dari masa ke masa; mulai dari tubuh berisi seperti dalam lukisan pelukis Renaisans, hingga figur tubuh seperti jam pasir.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, menjadi cantik bukanlah sekadar tentang ketubuhan dan tidak berdasar pada satu dua narasi saja—bahwa cantik itu ‘kurus’ dan ‘putih’.
EveryBODY is beautiful.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!