Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Danarto kecil diikat di sebuah tiang dan dicambuk oleh ayahnya. Air matanya meleleh. Ia menangis merasakan sakitnya hukuman itu, bukan sebab rasa bersalah dua kali tak lulus Sekolah Dasar.
ADVERTISEMENT
Enam dari tujuh pelajaran sekolah berhasil ia tuntaskan dengan gemilang. Tapi hanya karena hancurnya nilai pelajaran berhitung, Danarto tak diluluskan.
Hukuman serupa mesti ia alami di tingkat pendidikan berikutnya. Lagi-lagi berhitung, khususnya aljabar, jadi sumber persoalan. Pelajaran satu itu bikin ia tak lulus SMP! Padahal di mata pelajaran lain, ia berhasil dengan baik.
Apa mau dikata, cambuk kembali ia terima. Sang ibu, Siti Aminah, yang tak tega melihat anaknya menghadapi hukuman itu, menemani Danarto dicambuk. Menangislah mereka berdua.
“Saya dan ibu itu duet yang paling bagus. Berdua tangis-tangisan, keras sekali. Konyolnya, saya mestinya melarikan diri waktu mau diikat, misalnya dua hari dua malam enggak pulang. Kok malah enggak,” kenang Danarto sambil mengulum senyum ketika berbincang santai di kantor kumparan, Senin (6/11).
ADVERTISEMENT
Hati Danarto dibuat gundah lagi oleh aljabar ketika duduk di bangku SMA. Semula ia pikir SMA partikelir membebaskannya dari “kutukan” aljabar. Tapi celaka, begitu masuk sekolah, pelajaran itu tetap ada!
Kacau ini, pikir Danarto. Ia tak ingin lagi menelan kesialan dan menanggung hukuman lagi, buah kegagalan pelajaran aljabar. Itu sebabnya ia putuskan untuk minggat setelah 28 hari bersekolah di sana. Betul-betul meninggalkan bangku SMA begitu saja.
Semua pengalaman getir atas sistem pendidikan yang menurutnya tak adil itu membentuk pendirian Danarto untuk tak memercayai guru. Bagi Danarto, tak bijak mengukur kemampuan seorang murid dari bidang yang bukan menjadi potensi anak itu. Pun, bidang tersebut malah jadi salah satu penentu ketidaklulusan.
Danarto kabur ke Yogyakarta. Keinginannya satu: belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia berhasil masuk lembaga pendidikan itu, dan mengambil seni lukis sebagai bidang pelajaran. Danarto senang bukan main. Selain berarti tak ada lagi pertemuan dengan aljabar, ia juga bisa menyalurkan kesenangannya pada seni lukis.
ADVERTISEMENT
“Di akademi seni rupa tidak ada aljabar! Tidak ada aljabar!” seru Danarto mencontohkan kegirangannya saat itu, diliputi tawa. “Jadi teman-teman bilang, ‘Itu Danarto ngapain? Lho, mabok dia ya? Mabok dia.’"
Minat terhadap seni sudah tampak sejak Danarto kanak-kanak. Penulis dan pelukis kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940 itu mengisahkan, waktu kecil ia sering melukis dengan kapur dan arang di dinding dan lantai rumahnya. Danarto sendiri tak paham dari mana bakat itu berasal.
Danarto tumbuh bukan dalam lingkungan keluarga yang bergiat dalam kesenian. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula, sedangkan ibunya pedagang eceran di pasar. Dalam pandangan Danarto, sang ayah lebih dekat dengan bidang keagamaan dan hal-hal mistik.
Ayah Danarto, Jakio Harjodinomo, lekat dengan buku-buku agama ketika berada di rumah sehabis bekerja. Ia akan mandi untuk membersihkan debu yang menyelimuti kulitnya, lalu larut dengan buku-bukunya--di antaranya tentang Islam, kebatinan, dan filsafat.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari buku-buku agama itu berbahasa Jawa, termasuk Alquran yang digunakan. Bacaan salat pun menggunakan bahasa Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat, ayah Danarto dikenal sebagai seorang yang diandalkan untuk bertanya berbagai soal--barangkali dekat dengan sebutan nujum.
Suatu kali, seorang tetangga datang pada Jakio, ayahnya. Orang itu bertanya tentang kehamilan istrinya.
“Ada seorang ibu yang mengandung, meminta suaminya datang ke ayah saya. Menanyakan, ‘Kapan ini lahir?’. Terus ayah membuka buku. Buku apa saya tidak tahu. Ia jawab, ‘Oh, nanti lahir jam 7 malam, sebaiknya duduk menghadap ke barat’.”
Sang suami yang telah mendapat petunjuk, lalu pulang memberi tahu istrinya. “‘Coba mulai sekarang duduk ke arah barat, jam 7 malam nanti lahir bayinya.’ Betul, lahir betul,” kisah Danarto tentang ingatan yang masih segar itu.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang Danarto menyesal tak pernah bertanya pada ayahnya tentang buku yang ia buka ketika itu, juga perihal cara menafsir. Namun, kedekatan Danarto dengan sang ayah turut memengaruhi penjelajahan dunia alternatif dalam cerita-cerita pendek yang ia tulis di kemudian hari.
Kedekatan pada tradisi Jawa dan agama tidak pula membuat sang ayah memaksakan kehendak Danarto untuk mengikuti jejaknya. Bahkan dari lima bersaudara, tak satupun yang mewarisi kebiasaan ayahnya itu. Danarto sendiri bukan seorang relijius dan baru melaksanakan ibadah salat pada usia 27 tahun.
Ia sempat kadung tak percaya pada ahli agama, dan lebih banyak belajar soal agama pada buku-buku. Danarto menghindar “dari petuah-petuah kiai atau ulama, juga dari guru-guru”.
Ketika Danarto berusia sekitar 15 tahun, ia mendengar seorang gadis kecil berpidato menggunakan bahasa Arab dalam sebuah acara. Inti pidato si gadis, kata Danarto, mengatakan, “Kalau tidak bisa menirukan saya, akan masuk neraka”.
ADVERTISEMENT
“Saya takut sekali sampai tidak bisa naik sepeda. Sepeda itu saya tuntun karena saya sedih sekali. Ketika saya sekolah di Yogyakarta, baru ketahuan bahwa gadis kecil itu ‘disihir’, ‘dihipnotis’, oleh kiai-kiai. Sejak itu saya tidak percaya sama kiai,” kata Danarto.
“Jadi saya tidak percaya sama guru, tidak percaya sama kiai. Lalu saya berguru pada buku,” sambungnya.
Selama enam tahun (1958-1964) tinggal di Yogyakarta--tiga tahun di antaranya mengunyah pendidikan di ASRI, Danarto mengalami kesulitan keuangan. Pada warung makan tempat perutnya bertimpuh, Danarto dan teman-temannya sering berutang--atau yang asyik ia sebut “ngebon”. Begitu selesai makan, ia tulis jumlah utangya pada selembar kertas.
Ada pula yang mencatat utangnya pada dinding warung makan itu. Suatu kali, menjelang lebaran, sang pemilik melabur dinding warungnya. Maka, entah malang atau senang, semua hitung-hitungan utang yang harus dibayarkan si pencatat itu pun terhapus.
ADVERTISEMENT
Utang Danarto terhadap pemilik warung yang sudah almarhum itu juga sampai sekarang belum lunas. Bukan karena tak mau dilunasi, tetapi ia terlambat. Hidup sang pemilik warung kepalang habis ketika Danarto sudah punya cukup uang untuk membayar. Nasib dan keberadaan warung itu juga tak ia ketahui lagi bagaimana juntrungannya.
“Jadi sampai sekarang belum bisa melunasi utang-utang kami itu kepada Pak Joyo dan Bu Joyo yang sudah almarhum. Saya kira tidak mungkin terbayar, ya. Kebaikannya itu, wah, mungkin mirip orang sucilah. Tidak pernah menagih. Tulus,” ucap Danarto.
Tak cerah nasibnya di Yogyakarta, Danarto mengadu ke ibu kota. Gawatnya, ibu kota juga tak menjamin hidupnya secerah langit biru--tak semulus hilangnya catatan utang pada dinding yang sudah dilabur. Selama lima tahun, praktik mengebon di warung makan pun berulang. Danarto merasa beruntung ada warung makan yang siap menampung kesusahannya.
ADVERTISEMENT
Selama itu pula, Danarto mencari uang dengan menawarkan jasa membuat desain mosaik, lukisan dinding, dan patung. Ia tawarkan jasanya itu dari pintu ke pintu. Tak banyak keberhasilan dari usaha tersebut.
Pada 1969, mujur akhirnya menghampiri Danarto, melegakan napas sengal kepayahannya mencari pemasukan. Mulai akhir dekade itu, ia bekerja di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang baru diresmikan satu tahun sebelumnya, 1968. Itu pengalaman kali pertama Danarto bekerja dan mendapat upah.
Pada tahun yang sama dengan peresmian TIM, cerita pendek Danarto berjudul “Godlob” diterbitkan oleh majalah Horison. Cerita pendek itu ditulis pada 1967 dan menjadi salah satu karya yang kerap disebut magnum opus Danarto. Tahun penulisan cerpen itu juga menjadi awal penjajakan kehidupan baru baginya.
ADVERTISEMENT
Pada usia 27 tahun itu--didahului pengalaman spiritual di Garut, Jawa Barat, ia menemukan kesadaran dan keyakinan bahwa sebagai seorang penganut Islam, ia mesti menegakkan ibadah salat.
Bagi Danarto, pengalaman spiritualitas hidupnya itu dapat dikata unik. Sebab sebelum menyelami pengalaman spiritual beserta pengaruhnya tersebut, ia telah tekun mengakrabi pengetahuan sufistik sejak usia 23 tahun. Dan semua cerita pendeknya selalu dibicarakan dalam kelindan tema sufistik, realisme-magis, atau surealis.
“Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di Desa Leles, Garut. Saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemercik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemercik,” urai Danarto dalam sebuah wawancara dengan Jaringan Islam Liberal .
ADVERTISEMENT
“Dari situ pikiran saya terbuka, ‘Saya harus salat ini!’ tekad saya. Lalu saya membeli buku Tuntunan Salat seharga Rp 15.000 dan mulai salat,” terang Danarto. “Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir, ‘Allahu Akbar', seluruh kawasan itu seolah-olah menyahut dengan ucapan yang sama: ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar’. Seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali.”
Danarto menggunakan bahasa Jawa ketika mula-mula melaksanakan salat. Tak lain karena ia memang buta bahasa Arab. Demikian pula dengan berdoa. Misalnya, ia mencontohkan, “Duh, Gusti. Mugi nebihaken kawulo saking dosa kados anggen paduko nebihaken antawis plethek lan suruping suryo.” (Ya Allah, semoga engkau menjauhkan saya dari dosa, sebagaimana engkau telah menjauhkaan antara terbit dan tenggelamnya matahari).
ADVERTISEMENT
Ketika mengucapkan doa dalam Bahasa Jawa, Danarto sempat tertawa. Bukannya merasa sedang salat, ia malah merasa seperti dalam pertunjukkan wayang kulit. Danarto pun belajar membaca Bahasa Arab.
Sejak publikasi cerita pendeknya, Danarto mulai dikenal luas sebagai seorang penulis, bukan sekadar pelukis. Namanya kian diperhitungkan melalui cerita-cerita pendek lainnya yang kemudian dibukukan. Buku kumpulan cerita pendek Danarto yang pertama terbit pada 1975 berjudul Godlob.
Melukis dan menulis Danarto kerjakan beriringan, meski namanya kemudian lebih luas dikenal melalui karya tulisnya. Dibanding melukis, menulis cerita pendek bagi Danarto jauh lebih sederhana dan tidak memerlukan modal banyak.
Menulis sering kali ia kerjakan ketika lukisan-lukisannya tidak laku dijual--sementara pundi-pundinya sudah surut untuk membeli keperluan melukis.
ADVERTISEMENT
“Kalau sastra itu gampang, cuma beli kertas satu rim dengan satu bolpoin sudah jadi cerpen dan puisi. Kalau cerpen gagal, hanya diremas-remas kertas itu, (lalu) dibuang. Tapi kalau kanvas misalnya, sudah bertube-tube cat tertumpah di situ,” ujar Danarto.
Tetapi perihal menulis bukan pengalaman baru bagi Danarto. Pada usia 17 tahun, ia sempat menjadi pengarang cerita-cerita anak yang dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung. Maka ia tak menemukan kesulitan berarti saat mulai produktif menulis sastra dalam bentuk cerita pendek. Setiap kali mulai menulis, Danarto tak memiliki bayangan apa-apa. Menulis saja.
Bakat seni lukisnya justru terbawa ketika ia menulis. “Saya menulis sastra sebenarnya seperti melukis,” ujarnya.
Suatu kali, Danarto mengirimkan puisi kepada Sapardi Djoko Damono yang saat itu merupakan bagian dari redaksi Majalah Horison. Kepada Sapardi, Danarto mengirimkan sebuah puisi tanpa kata apapun. Genre puisi yang populer dikenal dengan puisi konkret.
ADVERTISEMENT
“Dia mengirimkan gambar-gambar tanpa kata-kata sama sekali dan dia mengatakan, ‘Itu puisi saya’. Ya tentu saja itu membingungkan saya. Saya pikir-pikir, kalau saya saja bingung, apalagi orang lain,” kisah penyair Hujan Bulan Juni itu dalam sebuah wawancara yang dikutip dari Southeast Asia Digital Library .
“Dia (Danarto) bilang ngotot, ‘Ini puisi, Mas. Ini harus dimuat dalam ruang puisi Horison’. Saya bilang, ‘Saya enggak bisa, ini enggak ada kata-katanya. Puisi adalah seni kata’. Dia bilang, ‘Ya puisi itu bisa apa saja’. Ini kan suatu pandangan yang ekstrem sekali,” lanjut Sapardi.
Pada 1982, Danarto menerbitkan buku kumpulan cerita pendeknya yang kedua, Adam Ma’rifat. Karya tersebut menggondol penghargaan antologi cerita pendek terbaik dari Yayasan Buku Utama. Cerita pendek “Adam Ma'rifat” sendiri beberapa bulan sebelumnya telah menyabet anugerah sebagai cerita pendek terbaik oleh Dewan Kesenian Jakarta.
ADVERTISEMENT
Tahun berikutnya, Danarto menerbitkan buku Orang Jawa Naik Haji, sebuah buku yang berisi catatan perjalanan ketika ia beribadah haji. Tiga tahun kemudian, 1986, ia menikah dengan Siti Zainab Luxfiati. Pernikahan itu bertahan selama 15 tahun sebelum kandas.
Buku kumpulan cerita pendeknya yang ketiga, Berhala, ia terbitkan pada 1987. Buku ini juga diganjar penghargaan yang sama oleh Yayasan Buku Utama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, Danarto menelurkan buku kumpulan cerita pendek Gergasi (1996), novel Asmaraloka (1999), kumpulan cerita pendek Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000), dan Kacapiring (2008).
Semua cerita yang ditulis Danarto selalu memiliki gaya yang membaurkan realisme dan surealisme--aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam penggambarannya.
ADVERTISEMENT
Artinya pula, Danarto melebur pengalaman-pengalaman nyata dan logis, dengan hal-hal yang mengawang-awang alias magic. Tak heran bila Goenawan Mohamad menyebut Danarto sebagai “sastrawan pelopor realisme magis di Indonesia”.
Pada usia 77 tahun saat ini, Danarto masih tetap menulis--meski tak lagi produktif--dan melukis sebagai sandaran penghidupan. Di Indonesia, menjadi seniman memang bukan garansi akan hidup enak dan mapan, meski tubuh dan akal bekerja sedemikian produktif.
Tapi yang penting bagi Danarto, kreativitas tak boleh buntu dan kemauan untuk berpengetahuan tak boleh surut selama hayat dikandung badan.
“Banyak ilmu yang belum kita ketahui, yang membuat kita harus belajar, belajar, belajar--yang sebenarnya tidak terkejar umur. Sekarang umur saya 77 tahun. Jangan-jangan besok saya sudah tidak ada, misalnya. Misalnya saya kuat 10 tahun lagi, berarti sampai 87 tahun, apa kuat saya sampai ke sana,” ucap Danarto, tersenyum tipis.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk terus belajar itu pula yang membuat Danarto tak putus membaca setiap hari. Seperti senja itu ketika kami hendak mengantarnya pulang, ia menyeletuk, “Kita mampir toko buku dulu, ya.”
Ah, Danarto.