news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Minder Dipanggil Bopeng, Angel Lauzart Ubah Ejekan Jadi Motivasi Diri

2 Agustus 2018 15:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Harus diakui, candaan fisik masih dianggap sebagai kewajaran di Indonesia. Mengolok kekurangan fisik orang lain dianggap sebagai lelucon yang lucu dan menggelikan.
ADVERTISEMENT
Jerawat, berat badan, warna kulit, dan bentuk tubuh seringkali jadi topik candaan yang dilontarkan untuk memancing tawa. Untuk Anda yang pernah mengolok kekurangan fisik orang lain, tahukah Anda tindakan tersebut termasuk dalam kategori body shaming?
Meski tampak sepele, body shaming bisa menimbulkan dampak serius pada kesehatan psikis seseorang. Body shaming bisa menghancurkan rasa percaya diri, menimbulkan stres, hingga depresi.
Hal inilah yang sempat dialami Angel Lauzart semasa SMP. Pemilik tinggi 154 sentimeter ini sempat merasa minder akibat tubuh mungil dan jerawatnya.
Saking parahnya radang jerawat yang dimiliki Angel saat itu, mantan gebetannya pun mengoloknya dengan sebutan 'Si Bopeng'. Julukan ini melekat erat pada diri Angel, hingga teman-teman seangkatannya ikut memanggilnya Bopeng.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, rasa minder yang ada dalam diri Angel pun menjadi-jadi. Merasa insecure dengan jerawat, Angel mengaku selalu membawa tisu dan cermin ke manapun pergi.
Angel juga terobsesi dengan kebersihan tangan. Dalam pikiran Angel, telapak tangannya tak boleh kotor.
Karena jika tangannya kotor dan tak sengaja menyentuh wajah, otomatis radang jerawatnya akan bertambah parah. Inilah yang membuat Angel selalu mencuci tangannya setiap beberapa jam sekali.
Begitu pula dengan tinggi badan. Dengan tinggi (yang dianggapnya) kurang dari rata-rata, Angel sering merasa rendah diri saat berfoto dengan teman-temannya.
Untuk menutupi rasa mindernya, Angel selalu berinisiatif untuk ambil posisi di bagian tengah. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menyamaran tinggi badannya yang dirasa 'minimalis'.
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Untungnya, Angel berhasil melalui masa krisisnya dengan baik. Tak ingin terkungkung rasa minder selamanya, Angel mengubah olokan yang diterimanya jadi bahan bakar pemacu semangat.
ADVERTISEMENT
Perlahan tapi pasti, Angel mulai belajar memperhatikan dan merawat diri dengan lebih baik. Minim pengetahuan soal skincare dan makeup, Angel yang saat itu masih berusia 15 tahun belajar sendiri lewat Google dan Youtube.
Dan terbukti, hasil tak akan pernah mengkhianati usaha.
Berkat kerja kerasnya merawat diri, kini wajahnya mulus bebas jerawat. Saat betatap wajah dengannya, Anda tak akan menyangka bahwa Angel sempat mengalami radang jerawat akut beberapa tahun lalu. Kepribadian aslinya yang supel & ceria pun makin menonjol. Ia jadi lebih banyak tertawa dan tersenyum. Angel pun fokus mengembangkan bisnis plastik yang tengah dikelolanya.
Untuk program Body Positivity, kumparanSTYLE berbincang dengan Angel seputar pengalamannya terkait body shaming dan isu body positivity di Indonesia. Simak kisah menariknya di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan yang pernah punya pengalaman dengan body shaming, bisa cerita sedikit soal bagian tubuh favorit Anda?
Saya suka tubuh saya yang kecil. Tinggi badan saya 154 sentimeter. Saya kalau naik ojek sampai sekarang masih banyak yang menyangka saya anak SMP dan masih pada nanya 'sekolah di mana'.
Tapi kadang dengan ukuran badan saya yang seperti ini kadang suka dijadikan bahan bercandaan, karena orang mikir saya masih kecil. Misalnya kalau saya ke pasar, paling benci saat ada mas-mas yang catcalling, teriak 'piwid-piwid' enggak jelas. Karena mungkin ada faktor bentuk wajah saya oriental juga.
Saya juga suka dengan warna alami rambut saya. Karena sejak kecil warnanya alami, coklat natural gitu. Saya senang karena enggak perlu cat rambut cuma demi punya rambut berwarna.
ADVERTISEMENT
Meski senang dengan ukuran petite, Anda sempat merasa minder dengan tinggi badan yang cuma 154 sentimeter?
Saya sempat minder juga. Teman-teman yang lain enggak ada yang sependek saya.
Paling minder kalau foto, karena merasa paling pendek. Untuk menutupinya, saya selalu bilang 'eh saya di tengah dong berdirinya'. Saya enggak mau berdiri di ujung, karena pasti ke notice perbedaannya.
Saat upacara bendera saya juga selalu jadi patokan, karena saya yang paling pendek. Tapi saya justru pede dan mengubah itu jadi kelebihan. Meski pendek, saya bisa masuk paskibra dan jadi tim inti.
Selain bermasalah dengan tinggi badan, Anda juga sempat minder akibat jerawat. Bisa share kondisi saat itu?
Parah. Dulu jerawatnya besar-besar, merah satu muka. Saat SMP hormon saya parah, jerawatan sana-sini, sakit, dan malu banget.
ADVERTISEMENT
Kulit saya sensitif dan hanya bisa pakai bedak bayi. Itupun malu, karena kelihatan sangat dempul dan cakey di muka. Paling parah area t-zone dan pipi. Kalau panas-panasan udah merah kayak kepiting rebus. Sampai orang-orang ingatnya saya 'Angel Jerawat'. Untungnya, saat awal SMA sudah mulai berangsur membaik.
Tindak bodyshaming apa saja yang sempat Anda alami semasa SMP dulu?
Pas SMP saya pernah dekat dengan beberapa cowok, kakak kelas. Dia suka ngeledek, dia manggil saya dengan sebutan 'Si Bopeng'. Kalau di kelas untungnya saya bagus di pelajaran, tapi saya enggak minder-minder amat.
Saat itu rasanya sedih dan kecewa. Saya sampai membatin, 'kalau ketemu lagi, elo pasti enggak akan ngenalin gue' dalam hati. Bukan marah, tapi saya enggak terima saja. Memang apa salahnya kalau perempuan ada bopengnya di wajah?
ADVERTISEMENT
Tetangga saya juga suka komentar 'kok jerawatan sih', 'emangnya enggak pakai sabun cuci muka', dan segala macam.
Sedalam apa body shaming mempengaruhi rasa percaya diri Anda?
Saya selalu sengaja duduk paling pojok dan menghindari interaksi dengan orang lain, padahal saya aslinya bawel. Saya hanya menunggu orang menyapa duluan, baru saya sapa balik.
Saya kemana-mana selalu bawa tisu. Gunanya untuk mengelap muka kalau tiba-tiba ada jerawat yang peca. Sampai sekarang pun sebenarnya saya addicted pakai tisu. Saya juga kecanduan cuci tangan. Sangat takut kotor, kepegang muka, terus jerawat makin parah.
ADVERTISEMENT
Saya juga selalu bawa cermin di kotak pensil. Saat lagi belajar di kelas, suka ngeliatin muka sambil berpikir 'kapan hilangnya'. Pokoknya, saat itu saya jadi pribadi yang selalu insecure.
Bisakah disimpulkan bahwa itu merupakan titik terendah dalam hidup Anda?
Dalam hidup, pasti ada titik terendah yang harus dilalui. Dan iya, masa SMP adalah yang terberat untuk saya.
Saat itu orangtua sempat mau pisah, bingung mau cerita ke siapa. Sama sekali enggak ngurus diri sendiri. Punya masalah, muka jerawatan, bingung mau sharing ke siapa. Mau cerita ke orang juga malu. Saya sempat dipanggil kepala sekolah karena anjlok dari ranking dua ke ranking delapan.
Apa yang Anda lakukan untuk keluar dari kungkungan emosi negatif tersebut?
ADVERTISEMENT
Saya mulai rajin merawat diri. Dulu saya belum paham skincare, namun sejak 2015 saya mulai senang baca konten Instagram yang kreatif dan edukatif. Selain itu, saya juga suka main ke drugstore. Saya pelajarin produk-produk seperti concealer. Saya ingin tahu, tapi di sekeliling enggak ada yang bisa mengajari saya. Jadi bisanya cuma lihat Youtube dan mulai sharing ke teman-teman saya.
Saya juga memperkaya diri dan belajar sendiri. Saya sadar enggak ada yang bisa saya banggakan soal fisik. Tapi penampilan fisik juga bukan segalanya, kan?
Jadi saya ambil sisi positifnya saja. Terlebih sebenarnya orangtua enggak pernah menuntut saya untuk cantik, selama punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya bangga orang mengenali saya sebagai orang yang pintar.
ADVERTISEMENT
Dan sejak rajin merawat diri dan kelihatan hasilnya, orang-orang yang sudah lama enggak ketemu jadi kaget. Semua bertanya 'pakai apa', 'caranya gimana' menghilangkan jerawat.
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Angel Lauzart (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Apa hikmah apa yang Anda petik dari pengalaman kurang mengenakkan tersebut?
Saya enggak mau muluk-muluk dan cepat berpuas diri. Saya memang enggak se-good looking itu. Tapi saya punya sisi lain, personality, yang bikin orang tertarik. Berusaha stay away from negativity, sih.
Saya juga belajar menerima diri apa adanya. Because nobody's perfect. Setelah ketemu banyak orang, saya tahu mereka secantik apapun pasti ada kekurangan.
Sejelek-jeleknya orang pasti ada bagusnya. Dulu bukannya enggak bersyukur, tapi lebih banyak insecuritiesnya dibanding sekarang.
Memang benar, enggak ada orang yang sempurna. Pasti ada kurangnya. Banggalah dengan hal positif yang Anda punya. Anda tak mungkin hanya dianugerahi satu kelebihan saja, sih. Cuma mungkin belum sadar saja.
ADVERTISEMENT
Menurut Anda, apakah orang Indonesia sudah paham soal konsep body positivity?
Belum. Belum semua. Karena saya merasa sekarang the power of social media berperan besar menenukan framing perempuan cantik harus seperti apa. Sekarang juga ada veneer, eyelash extention, dan segala macam perawatan.
Online shop juga endorse model cantik dengan kata-kata manis. Saya pikir sekarang orang enggak lagi memikirkan apa hal bagus yang ada dalam dirinya, tapi lebih ke 'apa hal jelek yang bisa saya ubah'.