Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Siapa Bilang Batik Hanya Milik Indonesia?
2 Oktober 2017 13:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Kita boleh berbangga saat Organisasi Budaya Perserikatan Bangsa-bangsa, UNESCO, menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Tak-Benda dari Indonesia. Namun, tahukah anda bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki batik? Atau setidaknya, batik yang anda kenal saat ini tak murni berasal dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ah, masak? Mungkin begitu ujar sebagian dari anda, mengernyit tak percaya. Apa contohnya?
Sebut saja Batik Belanda. Batik ini awalnya berkembang dari kegemaran masyarakat Negeri Kincir Angin akan kain berwarna yang kaya motif.
Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, banyak pengusaha batik pesisir di Indonesia --yang kala itu masih di bawah penjajahan Belanda-- memodifikasi motif dan corak warna kain India. Akhirnya, pebatik keturunan Belanda, beberapa di antaranya Van Franquemont dan Catharina Carolina van Oosterom, mulai berinovasi dan menciptakan motif baru sesuai selera Eropa.
Van Franquemont, pengusaha batik Belanda pertama, memulai usahanya tahun 1840 di Surabaya, Jawa Timur, sebelum akhirnya hijrah ke Ungaran, Jawa Tengah.
Ia menciptakan pola batik yang begitu khas dengan menampilkan motif-motif dongeng, wayang, puisi, dan naturalis yang kemudian dikenal dengan nama Batik Prankemon (diambil dari namanya, Franquemont).
ADVERTISEMENT
Sama dengan Franquemont, Catharina memulai usahanya di Ungaran sebelum pada 1867 pindah ke Banyumas, Jawa Tengah. Batik-batik buatannya dikenal dengan nama Batik Panastroman, banyak dipengaruhi gaya kain India serta motif naturalis.
Seiring perkembangan, muncul nama-nama pengusaha batik Indo-Eropa lain seperti B. Fisfer, Scharff Van Dop, J. Toorop, A Wollwebber, juga Van Zuylen bersaudara.
Umumnya, meski sering disebut pebatik, mereka hanya bertugas sebagai desainer motif. Mereka kemudian mempekerjakan beberapa pebatik perempuan, serta tukang warna colet dan celup. Sementara mereka tinggal mengawasi proses pembuatan batiknya.
Selain khas dengan motif yang ramai, Batik Belanda juga dikenal karena warnanya yang cerah. Beberapa motif Batik Belanda yang populer hingga saat ini adalah Motif Buketan, Motif Dongeng, dan Motif Kompeni.
ADVERTISEMENT
Motif Buketan menampilkan serangkaian bunga yang digambar berulang pada kain --biasanya diramaikan dengan gambar kupu-kupu dan burung. Sementara Motif Kompeni menggambarkan serdadu perang, alat-alat perang, dan alat transportasi di era kolonial.
Masa-masa keemasan Batik Belanda kemudian berakhir seiring dengan kedatangan penjajah baru, Jepang, di Indonesia periode 1940-1945.
Meski begitu, beberapa pengusaha Batik Belanda seperti Van Zutlen bersaudara sempat mengeluarkan Motif Buketan Gaya Pagi Sore yang kemudian populer pada era pendudukan Jepang.
Batik ini menampilkan dua motif berbeda dalam satu kain yang dibagi secara seimbang, sehingga memungkinkan terciptanya dua penampilan berbeda meski hanya menggunakan satu kain.
Seperti penjajah sebelumnya, kedatangan Jepang --meski hanya 3,5 tahun-- sangat memengaruhi perkembangan Batik Pesisir.
Batik Jepang, atau lebih dikenal dengan Batik Hokokai, pada awalnya dibuat oleh organisasi Jawa Hokokai bentukan Jepang. Tujuan pembuatan batitk tersebut adalah untuk mengambil hati serta mendapatkan perlindungan dari para penjajah Jepang itu.
Batik Hokokai umumnya menggunakan gaya pagi sore yang dinilai efektif dan ekonomis --karena, alih-alih membeli dua kain berbeda, kita bisa mendapatkan dua kain berbeda dalam satu lembar kain dalam batik tersebut.
ADVERTISEMENT
Warna yang digunakan Batik Hokokai cenderung lebih beragam seperti merah, kuning, ungu, dan oranye.
Untuk motifnya, Batik Jepang terkenal dengan penggabungan dua budayanya --Jepang dan Jawa. Meski menggunakan motif batik umum, namun pada bagian detail sedikit dimodifikasi menggunakan motif khas Jepang seperti sakura, kupu-kupu, merak, dan lainnya.
Hingga kini, meski masa penjajahan sudah berakhir, motif-motif hasil akulturasi budaya tersebut masih ada. Bahkan, pakar batik almarhum Iwan Tirta pernah mengatakan, batik-batik ini merupakan prestasi cemerlang yang pernah ada.
Seperti Batik Hokokai dan Batik Belanda, akulturasi juga terjadi saat saudagar China berlayar ke Indonesia. Perpaduan budaya nusantara dan Tiongkok menghasilkan batik unik. Batik-batik bermotif burung hong, naga, dan qilin itu masih bisa ditemukan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, di negeri asalnya, Tiongkok, industri batik memang sudah berkembang jauh sebelum para saudagarnya berlayar ke nusantara.
Orang-orang Miao, Bouyei, dan Gejia di Provinsi Guizhou telah mempunyai sejarah panjang batik sejak abad ke-6. Mereka menggunakan metode perintangan warna dengan lilin panas untuk membuat pakaian, celemek, dan bedong bayi.
Gadis-gadis Miao, Gejia, dan Bouyei memang terkenal dengan kepiawaian mereka membatik. Biasanya, mereka akan menggambar lingkaran ganda yang sangat tipis untuk mewakili tanduk kerbau yang melambangkan kehidupan dan kematian para leluhur.
Selain lingkaran, motif-motif geometris juga dipakai. Namun, setelah mendapat pengaruh dari suku Han, desain yang digunakan lebih figuratif seperti bunga, burung, dan ikan.
Secara umum, proses pembuatannya mirip dengan cara membatik yang kita kenal di Indonesia. Namun, mereka tidak menggunakan canting untuk mengaplikasikan lilin panas pada kain.
ADVERTISEMENT
Mereka biasa menggunakan dua lempengan tembaga atau kuningan yang berbentuk segitiga kecil. Bagian ujungnya biasanya tertancap dan terikat dengan kawat tembaga pada pegangan bambu.
Alat itu kemudian dipegang tegak lurus atau miring seperti saat menggunakan pena. Dengan desain mirip pena, alat ini cocok untuk menggambarkan garis lurus atas sedikit melengkung seperti yang biasa muncul pada motif khas Batik China.
Tak hanya China yang telah mengenal batik sejak ribuan tahun silam. Batik juga ternyata telah dikenal di India sejak abad ke-7 sampai ke-9.
Hampir sama dengan batik di Indonesia, orang-orang India menggunakan lilin panas dalam pembuatannya. Meski, terkadang mereka juga mencampurkan adonan tepung pada lilin.
Namun, perkembangan teknologi --yang memiliki dua sisi: positif negatif-- membuat Batik India kini jarang ditemukan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, proses pembuatan kain bercorak batik di India umumnya diproduksi dengan menggunakan mesin pabrik.
Batik India, juga Batik Sri Lanka, biasa menggunakan motif yang berhubungan dengan ritual keagamaan dan tradisi.
Batik Sri Lanka terbilang masih muda karena baru berkembang pesat satu abad terakhir. Banyak yang berpendapat, batik dibawa oleh orang-orang Belanda ke Sri Lanka.
Saat ini Sri Lanka tengah gencar mengembangkan industri batiknya dengan mempekerjakan para perajin berbakat, baik dari Sri Lanka maupun Jawa.
Batik di Sri Lanka sebenarnya tak jauh berbeda dengan batik di Indonesia, sebab sebagian besar perajinnya pun hasil “impor” dari Indonesia.
Beragam workshop batik di Sri Lanka banyak ditemukan di Jalan Galle Hikkaduwa dan kawasan Mahawewa. Di sana, para perajin tak hanya memamerkan dagangannya, tapi juga memberikan tur bagi pengunjung yang ingin melihat proses pembuatan batik dari nol.
ADVERTISEMENT
Salah satu industri batik terbesar di Sri Lanka adalah Jayamali Batik Studio yang didirikan Upali Jayakodi pada 1979 di Kandy --kota terbesar kedua di Sri Lanka setelah Kolombo.
Desain yang unik, modern, artistik, serta kualitas yang dijaga dengan baik, membuat nama Jayamali memancing perhatian publik. Sejak 1985, Jayamali Batik Studio pun direkomendasikan untuk membuat koleksi “The Best and the Most Original Batiks in Kandy” untuk buku Lonely Planet edisi Sri Lanka.
Industri batik memang sungguh mendunia. Saudara serumpun Indonesia, Malaysia, pun tak mau kalah.
Meski tak ada yang tahu kapan tepatnya industri batik di Malaysia mulai berkembang, sejarah mencatat hubungan dagang antara Kerajaan Melayu di Jambi dan kota pesisir di Pulau Jawa sudah berkembang sejak abad ke-13.
ADVERTISEMENT
Batik-batik inilah yang akhirnya memengaruhi kerajinan batik di semenanjung Melayu, baik secara teknik maupun pengembangan desain.
Sekitar tahun 1920-an, pebatik Jawa mulai mengenalkan penggunaan malam dan tembaga di pantai timur Malaysia. Namun, perajin batik di Malaysia biasanya jarang menggunakan canting dan lebih memilih menggunakan semacam kuas untuk mengaplikasikan lilin panas ke kain.
Meski awalnya terpengaruh Batik Jawa, motif Batik Malaysia jauh berbeda dengan batik-batik Indonesia, terutama Batik Malaysia di Kelantan, Terengganu, dan Pahang.
Motif-motif yang digunakan di wilayah-wilayah itu biasanya sebatas geometris atau tumbuh-tumbuhan. Sebab, perajin batik di Malaysia memilih untuk tidak mencantumkan makhluk hidup yang bernyawa pada karyanya.
Sementara, pengaruh budaya Jawa pada Batik Malaysia di daerah Johor masih jelas terlihat. Hal ini karena banyak imigran Jawa dan Sumatera yang ada di Malaysia bagian selatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski banyak terpengaruh oleh budaya Jawa, pola Batik Malaysia di Johor lebih sederhana dan besar-besar ukurannya. Sangat berbeda dengan batik serupa di Indonesia yang kerap menggunakan pola kecil dan rumit.
Kerajinan batik juga ada di Singapura, Filipina, sampai Nigeria. Meski, tentu saja, setiap negara memiliki ciri corak yang berbeda.
Jadi, meski saat ini batik masih diidentikkan dengan Indonesia, jangan dulu berpuas diri. Sebab, jika kita tak merawat dan menjaga budaya batik dengan baik, bukan mustahil predikat “pemilik batik” akan beralih ke negara lain.