Buzzer Pemerintah Seharusnya Juga Mendengar Aspirasi Rakyat

5 Oktober 2019 19:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Di awal era media sosial sebagai tempat bersosialisasi, muncul gelar buzzer bagi mereka yang bisa membantu promosi bagi sebuah produk atau layanan. Para buzzer ini kerap mendapatkan berbagai tawaran iklan, endorsement, dan sponsor, karena dinilai bisa memberikan pengaruh besar pada netizen.
ADVERTISEMENT
Sekarang, para buzzer ini juga disebut influencer atau key opinion leader (KOL)
Menurut Ismail Fahmi, analis media sosial dari Drone Emprit and Kernels Indonesia, buzzer sendiri dapat diartikan sebagai tokoh di media sosial yang mampu mempengaruhi pengguna lainnya dengan mempromosikan, mengkampanyekan atau mendengungkan (buzzing) suatu produk atau isu.
Pengguna media sosial dengan follower 5.000, disebut Ismail sudah bisa menjadi buzzer. Ini profesi yang diincar banyak orang. Begitu dinilai bisa memberi pengaruh, seseorang akan dihubungi oleh pengiklan untuk menyebarkan informasi atau mempromosikan suatu produk atau layanan.
Di Indonesia, Ismail mengatakan buzzer lebih melekat dan lebih dibutuhkan untuk urusan politik. Buzzer kerap menjadi ‘alat’ yang digunakan oleh pemerintah maupun oposisi untuk menyampaikan informasi. Bahkan negara kini juga memiliki buzzer atau yang lebih sering disebut dengan ‘buzzer istana’.
Ismail Fahmi, Analis Media Sosial Drone Emprit. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Idealnya, seorang buzzer harus tetap netral meski ia harus menjadi ‘suara’ bagi pemerintah untuk menginformasikan isu negara. Sayangnya, mereka justru menjadi musuh publik karena tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan kritik dan aspirasi dari rakyat.
ADVERTISEMENT
“Menyampaikan program berarti 'kan bagus. Tapi kalau dia tidak mau mendengarkan informasi yang lain, jadinya ini kan sebuah narasi tunggal. Enggak ada informasi lain. Ketika mereka menentang orang yang beda pendapat, itu 'kan jadi nggak ada pilihan, mereka bisa memberikan pilihan ketika mereka membiarkan orang beda pendapat,” ujar Ismail kepada kumparan.
Ismail mengatakan bahwa buzzer pemerintah sudah ada sejak tahun 2014. Menurutnya, tokoh buzzer istana ini tidak diperlukan jika mereka tidak bisa menjadi ‘telinga’ bagi pemerintah untuk menyerap kebutuhan publik, apalagi jika mereka justru mematikan informasi-informasi yang dianggap menyerang pemerintah.
Ismail sediri mengaku bahwa dirinya bukanlah seseorang yang mengagumi profesi buzzer. Namun menurutnya, buzzer yang benar-benar melakoni profesinya tersebut dengan passion untuk menyebarkan informasi, tidak akan mau mematikan informasi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Kalau seandainya mereka bisa buktikan bahwa dia bisa menyampaikan, artinya menjadi mulut bagi pemerintah dan menjadi telinga, mendengarkan. Ketika ada orang berbeda pendapat dia dengerin, dia rangkul, apa nih masalahmu, kenapa berbeda pendapat. Coba didengar. Menjadi semacam telinganya pemerintah. Itu seharusnya fungsinya,” tegas Ismail.
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Perilaku buzzer yang cenderung menyerang dan mematikan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah, justru membuat jarak yang semakin jauh antara publik dan pemerintah.
Ia mengatakan ada satu cara untuk menertibkan perilaku tipikal buzzer istana, yaitu dengan memberi tugas tambahan.
“Coba mendengarkan, jadikan telinga pemerintah, serap aspirasi publik juga, tapi jangan dimatikan aspirasinya. itu menurut saya cara menertibkan. Menjadi mulut dan juga jadi pengingat. Jadi rakyat ini senang kalau mereka komplain,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Potensi pidana buzzer
Dengan pengaruh besar dan perilaku yang cenderung menyerang dan mematikan perbedaan pendapat, muncul pertanyaan soal potensi pidana buzzer karena disinformasi. Menanggapi hal itu, Ismail mengatakan bahwa buzzer memiliki potensi sanksi pidana yang sama seperti rakyat lainnya.
Namun, Ismail menjelaskan bahwa perilaku buzzer menyerang dan mematikan informasi yang bertentangan bukanlah tindak pidana. Menurutnya, itu hanyalah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan orang yang memiliki pengaruh besar.
“Itu enggak sih, hanya perilaku yang tidak bagus saja. Beda pendapat tapi enggak salah. Misal beda pendapat terus diserang, kalau saya fine-fine saja, enggak masalah. Kecuali ada hina-hinaan, terus enggak terima, itu urusannya udah lain. Tergantung yang bersangkutan,” jelas Ismail.