Mengenal Huawei, Perusahaan yang Jadi Korban Perang Dagang AS-China

20 Mei 2019 19:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perusahaan teknologi Huawei. Foto: Toby Melville/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Perusahaan teknologi Huawei. Foto: Toby Melville/Reuters
ADVERTISEMENT
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China mulai membuat korban berjatuhan. Perusahaan teknologi asal China, Huawei, menjadi salah satu korbannya yang mengalami dampak dari perang dagang antara dua negara maju tersebut.
ADVERTISEMENT
Huawei terkena sanksi pemboikotan di AS pada Kamis (16/5) lalu. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump memasukkan Huawei Technologies Co Ltd ke dalam daftar hitam perdagangan AS. Kebijakan ini akan membuat Huawei kesulitan menjalin bisnis dengan perusahaan-perusahaan asal AS.
Benar saja, tidak lama setelah keputusan itu ada beberapa perusahaan asal AS yang memutus kerja sama dengan Huawei. Salah satu yang paling disorot adalah Google yang melarang Huawei menggunakan sistem operasi Android. Lisensi Android pada smartphone Huawei telah dicabut oleh Google.
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemboikotan yang dialami oleh Huawei. Ada baiknya jika kita menilik kisah perjuangan Huawei untuk menjadi perusahaan raksasa teknologi seperti saat ini, hingga ia terlibat dalam permasalahan perang dagang AS-China.
ADVERTISEMENT
Perjuangan bisnis Huawei
Huawei Technologies didirikan pada tahun 1988 di Shenzhen, China oleh mantan Tentara Pembebasan Rakyat China, Ren Zhengfei. Bisnis pertama Huawei adalah menjadi produsen peralatan telekomunikasi seperti jaringan kabel dan telepon untuk sebuah perusahaan komunikasi yang berbasis di Hong Kong.
Pada saat itu bisnis yang dilakukan Huawei masih tergolong kecil. Huawei masih kalah dengan sejumlah pemain-pemain besar yang sudah malang melintang di bisnis telekomunikasi, misalnya saja Ericsson, Alcatel, Lucent, Cisco, dan lainnya.
Pada periode 1996 hingga 1998, Huawei pertama kali meluaskan jaringan bisnisnya ke wilayah lain di China dengan memanfaatkan lonjakan penduduk yang meninggi saat itu.
Dengan kelihaian bisnis Huawei, kini perusahaan yang akrab dengan logo 'kipas merah' itu telah meluaskan jaringannya ke lebih dari 170 negara, atau melayani lebih dari sepertiga populasi global. Huawei dikenal sebagai produsen router, switch, dan peralatan telekomunikasi terbesar di dunia.
Toko Huawei di Beijing, China. Foto: Thomas Peter/Reuters
ADVERTISEMENT
Huawei tidak hanya memproduksi dan memasarkan peralatan jaringan telekomunikasi saja, perusahaan ini juga melakukan penelitian dan pengembangan (litbang) teknologi, tidak hanya pada bidang jaringan telekomunikasi.
Saat ini Huawei memiliki tiga kelompok bisnis inti. Pertama adalah Carrier Network Business Group (CNBG) yang menyediakan jaringan nirkabel, jaringan fixed, layanan global, perangkat lunak operator, jaringan inti, dan solusi energi jaringan telekomunikasi.
Kedua adalah Enterprise Business Group yang berfokus untuk menyediakan layanan data center dan infrastruktur layanan cloud. Ketiga, Consumer Business Group yang menyediakan berbagai perangkat layanan seluler, seperti modem dan smartphone.
Tahun 2018 lalu, Huawei berhasil melakukan pengiriman perangkat lebih dari 200 juta unit dan berhasil meraih posisi kedua sebagai brand smartphone terlaris di dunia saat ini, menurut lembaga riset IDC dan Strategy Analytics untuk kuartal pertama 2019.
ADVERTISEMENT
Dituduh mata-mata
Perjalanan bisnis Huawei mulai menemui jalan terjal di awal tahun 2018 lalu. Awalnya, para pejabat tinggi kepala badan intelijen yang terdiri dari CIA, FBI, NSA, dan direktur intelijen nasional lainnya menyarankan warga negara AS untuk tidak menggunakan produk dan layanan yang dibuat oleh Huawei dan ZTE.
Kedua perusahaan itu dituduh menyediakan kemampuan untuk memodifikasi atau mencuri informasi, termasuk menyediakan kapasitas untuk melakukan spionase yang tak terdeteksi. Oleh politisi AS, Huawei dan ZTE disebut sebagai 'tangan kanan pemerintah China'.
Perusahaan teknologi Huawei. Foto: Toby Melville/Reuters
Huawei sendiri sudah memberikan tanggapan terkait larangan itu. Juru bicara Huawei mengatakan rekomendasi tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah AS untuk mempersulit bisnis mereka di sana.
"Huawei dipercaya oleh pemerintah dan pelanggan di 170 negara di seluruh dunia dan tidak memiliki risiko keamanan siber yang lebih besar daripada vendor ICT manapun," kata Huawei.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Huawei dengan AS tidak berhenti sampai di situ. Huawei dan ZTE juga dituduh melanggar peraturan embargo dengan menjual barang ke Iran pada tahun 2016.
Huawei dan ZTE dituduh mengirimkan produk telekomunikasi yang komponennya dirancang dan dibuat oleh AS. Pengiriman ini melanggar regulasi AS karena Iran terkena sanksi hukum dan dagang.
Logo ZTE di pameran teknologi Mobile World Congress 2019. Foto: Aditya Panji/kumparan
Akibat permasalahan ini, hubungan perdagangan AS-China semakin memanas. Pada April 2018, ZTE menerima sanksi larangan memakai teknologi dari AS akibat ketahuan melanggar aturan menjual produk teknologi ke Iran dan Korea Utara yang dilarang. Sedangkan untuk kasus ini Huawei belum terbukti terlibat.
Bahkan pada Juni 2018, ZTE mengaku tidak bisa memperbaiki toilet yang rusak di kantornya di Shenzhen, China. Mereka beralasan bahwa larangan memakai teknologi AS sejak April lalu menjadi penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Bos Huawei ditangkap
Akhir tahun 2018, Hubungan Huawei dan pemerintah AS kembali memanas. Chief Financial Officer (CFO) yang juga puteri dari pendiri Huawei, Meng Wanzhou, ditahan di Kanada atas permintaan Pemerintah AS. Meng ditahan pada 1 Desember setelah diamankan petugas kepolisian saat transit di bandara Vancouver, Kanada.
Kasus ini juga menjadi bagian dari dugaan Amerika Serikat terhadap aksi Huawei yang dianggap melanggar sanksi AS terhadap Iran. Berdasarkan putusan pengadilan, perusahaan Skycom, di mana Meng menjadi salah satu anggota dewan direksinya, diduga menjalin bisnis dengan Iran antara 2009 dan 2014.
Sementara itu, Huawei juga diketahui melakukan kerja sama dengan bank-bank di Amerika Serikat. Jaksa menyebut jika Huawei telah menipu bank-bank tersebut agar mau melakukan transaksi yang dilarang AS.
ADVERTISEMENT
Meng akhirnya dibebaskan dari penahanan namun dengan syarat ia harus tinggal di British Columbia, Kanada, dan di rumah seharga 5,6 juta AS dolar yang telah dipilih untuknya. Sebagai jaminan lain, Meng juga harus menyerahkan paspornya. Kini Meng berada di bawah pengawasan perusahaan keamanan Kanada, seperti dilaporkan The Verge.
Diboikot oleh pemerintah AS
Puncak perseteruan pemerintah AS dan Huawei akhirnya mencapai puncaknya ketika Huawei masuk daftar hitam. Pada Kamis (16/5) lalu, Presiden AS Donald Trump akhirnya memasukkan Huawei Technologies Co Ltd ke dalam daftar hitam perdagangan. Dengan begitu, Huawei akan kesulitan menjalin kerja sama dengan perusahaan AS, seperti Google contohnya.
Ada banyak perusahaan asal AS yang telah memboikot kerja sama dengan Huawei. Selain Google, ada Intel, Qualcomm, Xilinx, dan Broadcom, yang semuanya adalah perusahaan teknologi top dunia.
ADVERTISEMENT
Putusnya kerja sama dengan Google, akan membuat Huawei tidak bisa menggunakan sistem Android yang didukung oleh Google di semua perangkat yang akan dirilisnya. Google mengambil kebijakan untuk menarik akses aplikasi inti Android pada smartphone atau tablet Huawei, seperti Google Play Store, Gmail, Chrome, Google Maps, dan Google Search.
Smartphone Huawei P30 Pro. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
Huawei masih bisa memakai sistem Android versi open source untuk publik, yang sifatnya bebas dan terbuka, bernama Android Open Source Project (AOSP). AOSP sendiri merupakan informasi dan source code (kode sumber) yang dapat digunakan oleh pihak ketiga untuk membuat custom ROM.
Sebelumnya, Huawei juga telah dilarang oleh pemerintahan Trump untuk memberi kontribusi infrastruktur telekomunikasi 5G di AS. Sekutu AS, yaitu Australia dan Inggris, mengikuti langkah AS untuk memboikot infrastruktur telekomunikasi dari Huawei di negara masing-masing.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini menjadi pukulan telak bagi Huawei. Perusahaan teknologi yang besar di Shenzhen, China, ini kembali mengalami 'badai' setelah berhasil meraih kesuksesan. Ambisi Huawei untuk menyalip Samsung sebagai brand smartphone terlaris di dunia juga terancam kabur setelah ini.