Rambu Solo, Tangga Cinta Suku Toraja ke Alam Baka

17 Februari 2019 10:18 WIB
clock
Diperbarui 14 April 2019 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengarak jenazah pada upacara kematian Rambu Solo di Toraja. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mengarak jenazah pada upacara kematian Rambu Solo di Toraja. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan

Rambu Solo digelar untuk menuntun arwah ke alam baka. Ini pesta kematian megah penuh pengorbanan.

Kematian bukan akhir dari segalanya. Itulah keyakinan Suku Toraja yang tinggal di utara Sulawesi Selatan. Bagi mereka, meski raga mati, hancur, dan menyatu dengan tanah, jiwa akan terus hidup dan melanjutkan perjalanan menuju alam baka.
Dari sana, ia memandangi anak, cucu, cicit, dan seluruh keturunannya. Dunia arwah atau akhirat itu disebut orang Toraja dengan sebutan Puya.
Menurut kepercayaan Toraja, tak mudah bagi roh-roh tersebut untuk pergi ke Puya. Mereka tak bisa sembarang pergi. Kematian mesti disempurnakan dahulu agar perjalanan menuju Puya tak tersendat. Di situlah fungsi ritual Rambu Solo, semacam upacara kematian besar yang digelar keluarga untuk menyelamatkan leluhurnya.
“Manusia sekali lahir, sekali hidup, sekali mati. (Ketika mati), badannya tidur, jiwanya keluar. (Tapi) ke mana jiwa itu? Itulah yang mesti diselamatkan, sehingga lahir Rambu Solo,” kata Tatodena, seorang imam atau tominaa dalam Suku Toraja.
Jika upacara kematian tidak dilaksanakan, jiwa si mati akan luntang-lantung di dunia yang mestinya telah ia tinggalkan, bukannya bergabung dengan arwah nenek moyangnya di Puya.
Nek Sando atau Tatodena, imam suku Toraja. Foto: Rony B. Kuncoro/kumparan
“Ia akan berjalan di sela-sela rerumputan. Berjalan tak tentu arah,” kata Tatodena kepada kumparanTRAVEL di kediamannya, Makale, Tana Toraja, Sabtu (19/1).
Dalam kepercayaan leluhur dan aturan tata hidup Suku Toraja yang disebut Aluk Todolo, bila jasad orang yang mati belum diupacarakan, maka ia belum bisa dikatakan meninggal, hanya disebut “sakit”. Itu sebabnya, jasad tersebut disimpan di rumah dan diperlakukan layaknya anggota keluarga lain yang bernyawa.
Jasad itu tetap disuguhi makanan, diajak bicara, ditemani tidur, dan dirawat seperti orang sakit. Bedanya, jasad tersebut dibalut kain tebal, lalu digantung atau dimasukkan ke dalam peti. Jadi tidak dibiarkan dalam kondisi terbuka terkena udara seperti orang hidup yang sehari-hari beraktivitas bebas.
Jasad baru akan dikeluarkan dari dalam rumah jika keluarga telah memiliki persiapan matang untuk melangsungkan ritual kematian Rambu Solo.
Bagian dari prosesi Rambu Solo di Toraja. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Seperti roh-roh yang tak mudah pergi ke Puya, persiapan upacara kematian Rambu Solo pun tak gampang. Bukan cuma soal biaya yang selangit, tapi segala perkara si mati semasa hidup juga harus dirampungkan lebih dulu, mulai sengketa hingga utang. Dengan demikian, roh dapat pergi dalam damai tanpa meninggalkan persoalan yang membebani keluarga.
Satu hal lagi yang perlu persiapan matang: Rambu Solo harus mengundang keluarga besar di mana pun mereka berada, bahkan yang jauh terpisah jarak. Ini untuk mempertemukan sanak saudara, merekatkan tali persaudaraan yang renggang bahkan terputus, dan memperkenalkan mereka yang belum pernah bertemu. Oleh karena itu perlu kesepakatan antaranggota keluarga agar semua orang bisa hadir.
Kerabat menangis di hadapan peti jenazah pada prosesi akhir Rambu Solo. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
“Rambu” dalam Bahasa Toraja memiliki arti “asap, sinar, atau cahaya,” sedangkan “Solo” berarti “turun”. Selaras dengan makna leksikalnya, Rambu Solo dilakukan ketika matahari mulai terbenam—waktu simbolis yang menjadi wujud rasa duka atas kematian manusia.
Bagi Suku Toraja yang berdiam di pegunungan karst, upacara kematian Rambu Solo tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Bersama ritual syukuran Rambu Tuka, ia menjadi simbol manusia yang berada di antara dua dunia—kehidupan dan kematian.
“Rambu Solo banyak tahapnya, tapi disesuaikan dengan kemampuan orang,” kata Tatodena.
Maka, terlepas dari dana besar yang dikeluarkan, orang Toraja tak bakal meninggalkan ritual Rambu Solo.
Kerbau, Biang Biaya Selangit
Rambu Solo identik dengan pesta pemakaman mahal. Kombinasi durasi seremoni yang mencapai 12 hari dengan jumlah kerbau untuk prosesi penyembelihan yang bisa sampai 30-an ekor, membuat biayanya jadi selangit.
Dua belas hari penyelenggaraan artinya berbulan-bulan persiapan, dan berhari-hari sedia pasokan makanan dan minuman bagi semua orang yang hadir dan terlibat. Semua itu berujung pada besaran dana yang fantastis.
Kerbau-kerbau disembelih sebagai kurban pada Rambu Solo. Foto: Rony B Kuncoro/kumparan
Tapi kenapa harus kerbau?
Di Toraja, kerbau punya nilai penting karena berfungsi sebagai alat tukar. Berdasarkan penuturan penduduk setempat, dari zaman dulu sampai sekarang, kerbau menjadi nilai pengganti uang ketika seseorang meminjam uang atau membeli barang. Misalnya, warga Toraja dapat membeli sawah senilai lima kerbau, atau meminjam uang kepada tetangga seharga satu kerbau.
Orang Toraja percaya, kerbau adalah binatang peliharaan yang ditunjuk langsung oleh dewa mereka. Menurut kepercayaan itu, manusia diperintahkan oleh dewa untuk menyembelih kerbau dalam ritual keagamaan, termasuk Rambu Solo.
Selain karena hewan pilihan dewa, kerbau dianggap istimewa karena, pertama, punya badan besar yang bisa digunakan untuk menggarap sawah. Otomatis, kedua, ia pun menghasilkan daging berlimpah untuk dikonsumsi banyak orang.
Kerbau yang hendak disembelih pada Rambu Solo. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Ketiga, kerbau dimanfaatkan sebagai hiburan bagi warga Toraja dengan melagakannya dalam tradisi tarung kerbau yang disebut Tedong Silaga.
Dengan segala keunggulan kerbau itu, tak heran satu upacara pemakaman dinilai kemegahannya lewat jumlah kerbau yang disembelih. Misal saja, Rambu Solo yang dilaksanakan keluarga Pabisangan untuk sang ayah, Thomas Kinda Pabisangan, menyajikan 36 kerbau untuk disembelih dalam prosesi.
Thomas Pabisangan rupanya semasa hidupnya merupakan Parenge atau pemangku adat. Ia termasuk golongan bangsawan yang menempati kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat Toraja. Tingkatan ini mengharuskan keluarganya menyembelih sedikitnya 24 ekor kerbau sebagai persembahan dalam upacara pemakaman.
Namun, keluarga Thomas mengurbankan sampai 36 kerbau, dengan biaya prosesi mencapai Rp 3 miliar—mulai persiapan hingga puncak seremoni.
Tradisi megah tersebut membuat Rambu Solo menjadi andalan pariwisata Indonesia. Para turis, baik domestik maupun mancanegara, mengincar seremoni budaya yang hanya satu-satunya di dunia itu.
Sapi untuk kurban tambahan pada prosesi Rambu Solo. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Yefta Salamba Pabisangan, anak kelima Thomas, mengatakan tak semua orang Toraja mesti melakukan Rambu Solo semegah ayahnya, dengan 36 kerbau. Semua tergantung pada status sosial, adat, dan kemampuan keluarga.
Dulu, menyembelih 24 ekor kerbau sebetulnya sudah maksimal. Namun seiring meningkatnya kemampuan ekonomi orang-orang Toraja masa kini, ada yang menyembelih hingga lebih dari 24 ekor, bahkan sampai 50, 80, bahkan ratusan ekor.
Bagi sebagian warga Toraja, jumlah berlebih itu dianggap menyalahi ketentuan adat. Tapi hal itu dikembalikan kepada esensi Rambu Solo sebagai medium berbagi dengan sesama manusia. Bukan tak mungkin, si empunya acara memang ingin membagikan rezekinya kepada lebih banyak orang.
Penguburan Manusia Menurut Usia dalam Suku Toraja. Foto: Anggoro Fajar Purnomo/kumparan
Khusus untuk kematian mereka yang belum dewasa, kerbau tak wajib disembelih di Rambu Solo. Janin yang meninggal dalam kandungan, misal, cukup diupacarakan dengan telur sebagai pelengkap. Sementara anak-anak yang meninggal bisa diupacarakan dengan menyembelih babi saja.
Sayangnya, menurut Tatodena sang imam, sekarang banyak hal berubah tak sesuai adat karena berkurangnya pengetahuan masyarakat Toraja akan tradisi mereka. Yang lebih disesalkan, ujar lelaki yang akrab disapa Nek Sando itu, ada saja keluarga yang sampai berutang untuk menggelar perayaan kematian meriah demi gengsi.
“Ketidakmampuan itu jangan ditambah-tambah. Itu kan (namanya) menabung utang. Jangan-jangan, keluarga kita di pihak ibu dan bapak malu nanti, karena dia yang datang melengkapi. Jadi, (malah) kita dapat utang. Mencari utang dalam rangka menguburkan mayat itu sebenarnya terlalu salah, dua kali duka,” kata Nek Sando.
Peti jenazah ditempatkan di tandu untuk diarak keliling desa pada ritual Rambu Solo. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Karma Bisa Mengiringi
Adat Toraja mewajibkan upacara pemakaman bagi mereka yang meninggal. Bila tidak, karma akan datang.
“Kalau kita berpikiran bahwa, ‘Sudah’, mengabaikan orang tua dan tidak mau berkorban, (kita) akan kaya, tapi kenyataannya tetap miskin juga. Di Rambu Solo itu harus memberi dengan keikhlasan. Kalau tidak ikhlas, mending janganlah, karena akibatnya nanti rezeki bukan semakin naik, malah merosot,” ujar Nek Sando.
Menurutnya, karma bisa datang bukan cuma dalam bentuk seret rezeki, tapi juga kesehatan yang memburuk atau musibah. Terlebih, bagi orang yang sengaja menutupi kemampuannya demi menghindar dari kewajiban Rambu Solo.
“Apabila kemampuan kami disembunyikan dari jiwa yang mati, dia pasti akan lihat, sehingga akan mendatangkan musibah. Kita akhirnya merana. Kita akan miskin, ayam tidak akan jadi, babi akan kerdil, kerbau tidak punya, bahkan hasil bumi akan rusak,” kata dia.
Nek Sando menegaskan, Rambu Solo tak mesti mewah karena disesuaikan dengan kemampuan keluarga. “Apabila keluarga mampunya empat ekor babi, maka jadilah empat ekor babi. Kalau memang tidak mampu sama sekali, cukup satu saja yang untuk dimakan.”
Malah sesungguhnya, imbuh Nek Sando, “Parenge (pemangku adat) di negeri itu harus bertanggung jawab, harus mencari babi untuk rakyatnya, dan (tradisi) itu yang sekarang bergeser di Toraja. Sering kali orang yang merasa Parenge sudah tidak lagi menjalankan tugasnya seperti dulu.”
Tradisi Rambu Solo di Toraja. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Dahulu, tahun 1918, Rambu Solo pernah absen dari kehidupan penduduk Toraja kala pandemi global Flu Spanyol menyerang. Ketika itu, berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), 20 juta warga dunia tewas. Itu, menurut UNICEF Indonesia, termasuk Toraja yang dilanda kematian massal hingga memangkas langsung separuh populasinya.
“Burung-burung (mati) dulu, baru anjing, babi, kerbau, lalu manusia. Kata ayah saya, ‘Udara bagai diracuni’. Tidak ada satu keluarga pun yang tidak kehilangan anggotanya. Bahkan orang yang pergi menguburkan, meninggal setelah bersentuhan dengan jasad yang dikubur,” tutur Nek Sando seperti dimuat pada laman UNICEF Indonesia.
“Penduduk tidak punya waktu untuk mengubur orang, jadi (jasad) hanya diletakkan di pemakaman-pemakaman di seluruh Toraja. Karena kerbau dan babi ikut mati, jadi tidak ada hewan yang bisa disembelih untuk dipersembahkan. Manusia yang meninggal dibawa saja ke kuburan batu, apa boleh buat,” kata dia lagi.
Barulah ketika wabah Flu Spanyol reda, Rambu Solo kembali dilakukan. Ia digelar dengan tambahan jumlah kerbau untuk anggota keluarga yang sebelumnya mati di masa pandemi tanpa sempat diupacarakan.
“Jadi kegunaannya (Rambu Solo) bukan penghamburan, tapi memperlihatkan kebolehan dan doanya, supaya jiwa orang tuanya selamat ke dunia sana,” ujar Nek Sando.
Ia tangga cinta ke alam baka.
Rombongan pengarak peti jenazah pada ritual Rambu Solo. Foto: Helinsa Rasputri/kumparan
Simak ulasan lengkap soal ritual kematian ala Toraja ini pada Konten Spesial kumparan, dengan mem-follow topik Rambu Solo Toraja.