Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wisata Horor Menjamur: Dari Mistis Jadi Bisnis
14 September 2017 8:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pernah dengar dan mencoba wisata horor, wisata supranatural, wisata mistis, atau wisata uji nyali?
Jika mengetikkan istilah-istilah itu di mesin pencari Google, anda akan menemukan banyak sekali informasi. Mulai dari rekomendasi tempat-tempat angker hingga tawaran paket wisata.
Salah satunya paket wisata supranatural yang ditawarkan situs layanan traveling JadiPergi.com . Yang terbaru adalah “Wisata Supranatural Malam 1 Suro” yang menawarkan ritual penyucian diri, penampilan gaib eksklusif, hingga permainan jelangkung.
Paket wisata supranatural tersebut adalah yang kedua dari JadiPergi.com setelah tur mistis serupa ramai diminati pada Agustus lalu.
Dalam merancang paket wisata mistis, mereka bekerja sama dengan komunitas supranatural seperti Komunitas Indigo dan Candra Prajna Paramitha.
Pilihan lokasi acara wisata supranatural ini tak sembarangan. Event pertama diadakan di Candi Petirtaan Jolotundo, Mojokerto, Jawa Timur. Sementara tur kedua yang akan berlangsung pekan depan, 20-21 September, bertempat di Candi Sumberawan, Malang, Jawa Timur.
“Antusiasme cukup baik. Kemarin ke Jolotundo ada sekitar 70-an peserta,” ujar Steven Rio, Event Coordinator JadiPergi.com, kepada kumparan (kumparan.com), Senin (11/9).
ADVERTISEMENT
Melihat antusiasme pasar, agenda wisata supranatural ini bahkan akan digelar setiap bulan.
Apakah bisnis wisata mistis sedemikian menjanjikan keuntungan?
Rio menjawab tegas, “Sangat. Banyak dari mereka (peserta) yang penasaran tentang supranatural. Itu sebenarnya edukasi dan mereka ingin tahu.”
Untuk tiap paket wisata, masing-masing peserta rata-rata dikenai biaya sebesar Rp 150.000. Dengan uang sejumlah itu, peserta bisa menikmati ragam sajian atraksi gaib, makan malam dan snack, serta konsultasi spritual.
Agenda serupa juga diselenggarakan oleh komunitas Semarangker. Komunitas dengan slogan Memecah Mitos, Menguak Misteri ini biasa mengadakan open trip yang mengajak masyarakat untuk menjelajah tempat-tempat angker bersama mereka.
Bukit Gombel di Banyumanik, kota Semarang, dengan ratusan cerita horor di dalamnya, menjadi lokasi favorit. Lokasi ini menyimpan banyak cerita horor, mulai kuntilanak hingga wewe gombel.
ADVERTISEMENT
“Bukit Gombel itu di dalamnya ada eks Hotel Sky Garden. (Dulu) hotel bintang lima, hotel besar, sudah mangkrak kosong puluhan tahun. Ada vila-vilanya, kolam renang, dan di situ bermitos sarang wewe gombel. Kemudian di lorong-lorongnya pernah terjadi pembunuhan, pernah dipakai bunuh diri, mutilasi, sehingga sejuta mitos ada di situ,” papar Pamuji Yuono alias Mas Pam, pendiri Semarangker, kepada kumparan di Semarang, Kamis (7/9).
Untuk menjajal keangkeran Bukit Gombel, setiap peserta cukup merogoh kocek Rp 25.000 untuk tiket masuk. Harga yang murah dan lokasi yang terkenal membuat jumlah peserta bisa membeludak hingga 700 orang.
Luar biasa bukan?
Banyak orang rela merogoh saku demi menikmati sensasi, pengalaman berbeda, memuaskan rasa penasaran, dan segudang alasan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Pada hakikatnya, manusia suka suatu yang lain, yang berbeda. Mencoba hal lain yang baru,” ujar Hilarius Taryanto, pengajar Antropologi Universitas Indonesia, menanggapi jenis wisata tak biasa ini.
Dalam buku Haunting Experiences: Ghosts in Contemporary Folklore, ditulis bahwa, “Kita menyukai cerita-cerita hantu karena mereka membawa manusia kepada dunia lain dan berbagai kemungkinan, sekaligus membuat mereka kembali pada isu-isu kebudayaan sekitar.”
Cerita-cerita hantu, berbagai mitos, dan misteri itu disebut sebagai kepercayaan rakyat.
“Secara keseluruhan, itu disebut kepercayaan rakyat. Tapi sebenarnya itu adalah konstruksi kebudayaan. Artinya, sesuatu yang ada di masyarakat karena dibentuk, lalu masyarakat memperkuat, dan hal-hal lain memperkuat,” jelas Hilarius.
Hal-hal yang mampu memperkuat berbagai bentuk kepercayaan rakyat itu seperti cerita turun-temurun yang diwariskan, berita-berita, dan film-film. Kepercayaan semacam itu, menurut Hilarius, sudah ada dalam benak manusia dan disebut sebagai pranata.
ADVERTISEMENT
Embrio kepercayaan ataupun sekadar ketertarikan terhadap hal-hal yang berbau mistis telah tertanam dalam benak manusia.
“Jadi kalau sekarang anda lihat di manapun di Indonesia, ada hal seperti itu (mistis), itu karena punya fungsi pengesah pranata. Pranata itu aturan nilai, norma, dan sebagainya,” kata Hilarius.
Ia melanjutkan, “Contoh, bahwa orang yang mati konyol itu arwahnya gentayangan, itu namanya pranata, ada dalam kepala manusia.”
Nilai itu kemudian ditanamkan secara turun-temurun, sejak kecil, dan mengendap dalam alam pikir manusia. Apa yang tertanam di benak itu kemudian diperkuat dengan berbagai cerita yang muncul kemudian melalui berbagai medium.
Hal itu serupa dengan penuturan Louis C. Jones dalam bukunya yang berjudul Things That Go Bump in the Night.
ADVERTISEMENT
“Kematian yang tragis seringkali dianggap sebagai penyebab seseorang menjadi hantu. Alasannya beragam, namun yang paling dikenal biasanya untuk menyelesaikan urusan-urusan di dunia yang belum tuntas dan keinginan untuk mengingatkan atau memberi informasi tertentu pada mereka yang masih hidup.”
Cerita-cerita itu, yang dipercaya atau tidak dipercaya, terus-menerus lahir, diwariskan melalui media tutur atau medium lain seiring perkembangan teknologi. Maka tak heran jika cerita mistis makin banyak terdengar bahkan kian kuat setelah arus informasi tak terbendung.
Hilarius menilai tumbuhnya bisnis dari cerita-cerita mistis itu mencuat pasca-kerusuhan Mei 1998.
“Sekian ribu orang dibantai, dibakar, digorok, ditembak, banyak mayat gentayangan. Sejak saat itu, (bagi) orang-orang di Jakarta, 1001 macam cerita ada,” kata dia.
Hilarius lanjut berkisah, “Pernah denger (cerita) tukang sate? Itu ada Citra Mall, Klender Mall. Dulu disebut Yogya Departement Store. Di situ ada 800 mayat. Saya lihat karena saya cari warga saya. Enam bulan kemudian, selama pembantaian Mei ‘98 sampai ‘99, masih terngiang-ngiang cerita seperti itu.”
ADVERTISEMENT
Ceritanya, suatu malam seorang tukang sate berjualan di depan gedung tersebut. Dari belakang, seorang pelanggan datang dan mengatakan, “Bang, sate ya.”
Si penjual sate pun segera asyik membakar sate, hingga pelanggan itu kembali bersuara, “Bang, satenya jangan gosong-gosong kayak saya, ya.”
Bagi Hilarius, jangan dulu dipersoalkan apakah cerita itu benar-benar terjadi atau tidak.
Intinya, menurut Diane Goldstein, pengajar folklor di Utah University, Amerika Serikat, cerita itu telah beredar di tengah masyarakat dan menunjukkan manifestasi budaya itu sendiri.
Cerita si tukang sate hanya salah satu contoh dari sekian banyak kisah yang menggambarkan betapa kejam dan tragis kerusuhan Mei ‘98.
Contoh lainnya adalah kisah kereta hantu yang berjalan sendiri dari Bogor ke Jakarta. Kereta itu diceritakan membawa penuh mahasiswa-mahasiswa yang hendak berdemonstrasi namun telah berwujud mayat.
ADVERTISEMENT
“Pasca kerusuhan Mei ‘98 itu banyak banget cerita seperti itu,” ujar Hilarius.
Pengajar folklor di Fisip UI itu mengatakan, kerusuhan Mei ‘98 membuat hampir setiap surat kabar memuat iklan yang menjual jaket antipeluru, antitombak, hingga antibacok.
“Saat itulah muncul di televisi ada Kismis (Kisah Misteri), ada uji nyali. Laku keras dan ratingnya tinggi sekali. Pasca-Mei, masyarakat mengiyakan semua itu, lalu jadilah ajang bisnis,” kata Hilarius.
Namun bukan berarti bisnis dari cerita mistis baru kali itu terjadi. Hanya hal itu berlangsung bersamaan dengan keran informasi yang dibuka dan jumlah stasiun televisi yang bertumbuh.
“Itu menjadi titik waktu, turning point buat orang bisnis. Bikin novel laku, acara-acara televisi juga banyak. Semua orang suka,” tutur Hilarius.
ADVERTISEMENT
Wisata mistis, meniru ucapan Hilarius, sudah ada dari nenek moyang tahun kadal.
Di Amerika Utara, mengutip buku Haunting Experience: Ghost in Contemporary Folklore, wisata mistis dimulai sejak pertengahan 1970-an.
Perkembangan itu bersamaan dengan mekarnya spiritualitas generasi Baby Boomers (mereka yang lahir 1940-1960an) dan ketertarikan generasi baru dalam merayakan perbedaan tradisi. Juga bertepatan dengan meningkatnya berita dan informasi kekerasan yang disajikan oleh media dan reality show di televisi, termasuk perubahan pola konsumsi wisata.
Hilarius menjelaskan, sejak dulu dalam pariwisata terdapat istilah pilgrimage atau ziarah sebagai sebutan bagi wisata rohani. Istilah itu meliputi semua bentuk kegiatan wisata atau perjalanan yang berkaitan dengan hal-hal di luar dunia manusia.
“Jadi dalam konsep pariwisata, memang ada (semacam wisata mistis). Itu bagian dari satu bentuk pariwisata yang namanya pilgrimage --wisata rohani. Dan itu legal formal jadi bagian dari travel biro,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Dalam khazanah ilmu pengetahun, mengunjungi tempat suci untuk melakukan ritual, uji nyali, atau sekadar mengecek kebeneran mitos, berada dalam ruang lingkup yang sama: ziarah.
Karena semua itu berkaitan dengan dunia lain di luar indra manusia yang terbatas.
Maka, celah bisnis dari cerita-cerita mistis ini salah satu bagian tak terpisahkan dari perkembangan wisata, yang seperti hal lainnya: memiliki dampak positif dan negatif.