Hal yang Dinilai dapat Rugikan Perempuan Jika RUU KUHP Disahkan

28 September 2019 17:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pasal dalam revisi Undang-undang KUHP dinilai merugikan perempuan. Foto: STR/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pasal dalam revisi Undang-undang KUHP dinilai merugikan perempuan. Foto: STR/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perjuangan perempuan Indonesia untuk bisa mendapatkan perlindungan hukum dalam berbagai isu tampaknya kembali mendapat tantangan berat. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang telah dibuat pada 2015 kembali ditunda.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan kumparanNEWS, saat ini Panitia Kerja (Panja) RUU PKS memastikan RUU ini tidak akan disahkan di periode DPR 2015-2019. Sebab, Panja RUU PKS bersama Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak baru saja membentuk tim perumus (timus). Jadi RUU PKS dipastikan akan dilanjutkan dan dibahas pada DPR periode selanjutnya atau 2019-2024.
“Ya, tidak mungkin dong (RUU PKS disahkan di periode ini). Enggak mungkin lagi. Ya, hanya begitu (dilanjutkan periode berikutnya),” ungkap Ketua Panja RUU PKS, Marwan Dasopan, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9) seperti dikutip dari kumparanNEWS.
Kekecewaan banyak masyarakat atas tertundanya pengesahan RUU PKS ini semakin bertambah dengan draft revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap banyak merugikan perempuan dan banyak kelompok masyarakat lainnya.
ADVERTISEMENT
Menurut situs resmi Komnas Perempuan, sejumlah pasal yang terdapat pada RUU KUHP berpotensi overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, seperti anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan sebagainya.
"Komnas Perempuan sudah lama mengecek apakah pasal-pasal yang ada (dalam revisi RUU KUHP) melanggar hak asasi perempuan. (Dalam draft) beberapa pasal yang ada itu tidak bertujuan untuk melindungi perempuan, tapi justru bisa membuat perempuan rawan menjadi tersangka," ungkap Mariana Amiruddin, Komisioner-Ketua Subkom Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan saat dihubungi kumparanWOMAN.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Solo. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Oleh karena itu, penting bagi kita, terutama perempuan untuk mengetahui poin-poin apa saja dalam RUU KUHP yang dinilai dapat merugikan perempuan. Dikutip dari situs Komnas Perempuan, berikut kami telah merangkumnya untuk Anda.
ADVERTISEMENT
Pasal 414-416 tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan
Pasal 414
Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Pasal 415
Setiap Orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Dalam pasal 416 dijelaskan bahwa hal yang diperbuat pada pasal 414 tidak berlaku jika dilakukan oleh pihak berwenang dan relawan berkompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang. Kemudian perbuatan di pasal 415 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau pendidikan.
ADVERTISEMENT
Lewat situs resminya, Komnas Perempuan menuliskan bahwa rumusan penjelasan pada pasal ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana. Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud ‘relawan dan pejabat yang berwenang’ berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV/AIDS.
Pasal 418 tentang hidup bersama
Ayat 1
Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Ayat 2
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya.
ADVERTISEMENT
Ayat 3
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
Pasal ini dianggap tidak masuk akal karena kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang terdapat dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut, di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
Massa aksi membawa poster dengan berbagai tuntutan saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Namun dalam draft terbaru per tanggal 15 September 2019 ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”. Perubahan ini akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) bisa menjadi sasaran utama penegakan pasal ini.
ADVERTISEMENT
Di situsnya Komnas Perempuan menjelaskan bahwa secara substansi, penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga yang terlibat dalam pemidanaan.
Pasal 466 tentang larangan seorang ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida).
Pasal 466
Ayat 1
Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain dipidana karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Komnas Perempuan menuliskan bahwa dalam konteks kelahiran anak di luar nikah, rumusan pasal ini dinilai tidak adil. Penulisan ‘seorang ibu’ bersifat diskriminatif terhadap perempuan karena hanya mengasumsikan ibu saja yang merasa takut kelahiran anaknya diketahui oleh orang. Padahal, faktanya laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Menurut Komnas Perempuan, asumsi yang diskriminatif tersebut membuat potensi perempuan untuk dikriminalisasi menjadi lebih besar dalam kasus ini.
ADVERTISEMENT
Pasal 469-471 tentang pengguguran kandungan
Pasal 469
Ayat 1
Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 470
Ayat 1
Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 471
Ayat 1
Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Ayat 3
Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.
Pasal-pasal tersebut dinilai Komnas Perempuan tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Sebab, kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70 persen angka kematian ibu. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pasal 472 menyatakan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis. Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan.