UN Women: Bullying di Media Sosial Tidak Boleh Dianggap Normal

31 Juli 2019 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stop bullying. Foto: Dok. Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Stop bullying. Foto: Dok. Freepik
ADVERTISEMENT
Bullying atau perundungan di media sosial kini menjadi sebuah isu yang mengkhawatirkan, karena bisa menimpa siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Bullying seringkali memiliki efek yang berbahaya dan destruktif, membuat korbannya jadi tidak percaya diri, merasa bersalah, sulit berinteraksi, depresi bahkan hingga melakukan percobaan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Dituturkan oleh Programme Management Specialist UN Women Lily Puspasari, bullying adalah salah satu dari bentuk kekerasan selain kekerasan fisik, kekerasan seksual, pembatasan dan pelarangan terhadap akses ekonomi dan kekerasan verbal. Berdasarkan data global dari UN Women, satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan di dalam hidupnya. Sedangkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2018 mencatat, 28 persen kekerasan terjadi di ranah publik. Tetapi sayangnya, kekerasan di dunia cyber atau online masih menjadi 'grey area' yang masih harus dikaji lebih lanjut.
Meski termasuk ke dalam bentuk kekerasan, belum ada data spesifik yang mencatat tentang bullying di sosial media. Lily sendiri belum mendengar adanya kasus bullying di media sosial yang diangkat menjadi yurisprudensi atau kasus luar biasa yang dibawa ke ranah hukum.
Kampanye Anti Bullying Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Selama ini kita mendefinisikan kekerasan itu di ruang domestik atau keluarga, untuk itu kita ada UU-nya. Tetapi begitu melangkah ke luar rumah, itu sudah berada di ruang publik, UU-nya di bawah KUHP. Sekarang, definisinya meluas, kalau dulu kekerasan terjadi di luar rumah itu termasuk kekerasan di ruang publik, sekarang di kamar pun kita bisa menjadi korban kekerasan (bullying di media sosial)," tutur Lily di acara LUX #STOPBeautyBullying, The Hermitage Menteng Jakarta Pusat, Senin (29/7).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, siapa pun tidak berhak untuk di-bully dan tidak bisa menjadi korban bullying atas dasar apapun. Begitu juga dengan orang-orang yang tahu ada aktivitas bullying dan hanya mendiamkannya saja.
"Yang tahu ada bullying dan cuma diam saja, ini yang tidak banyak kita bicarakan. Karena dalam kasus bullying, silent is not golden anymore dan harus ada orang-orang yang mengingatkan tentang hal ini. Fenomena bullying ini jangan didiamkan dan disimpan, mari kita buka sama-sama karena itu akan jadi bom waktu pada akhirnya," lanjut Lily lagi.
Kampanye Anti Bullying Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Bullying juga bisa dilihat sebagai ancaman, tak hanya kepada perempuan sebagai korban, tetapi juga ancaman peradaban. Dulu, sebelum zaman internet belum hadir, calon korban atau korban masih bisa menghindar dari tindakan bullying.Tetapi kini hal itu agak sulit dilakukan karena bullying di media sosial diibaratkan seperti bayangan yang terus mengikuti kita di belakang.
ADVERTISEMENT
Akibat adanya bullying, rasa percaya diri menjadi terganggu dan akhirnya kita akan menghukum diri sendiri. Yang paling parah, kita akan menganggap bullying adalah sesuatu yang normal, Padahal, hal-hal seperti ini seharusnya tidak dinormalisasi.
Ilustrasi Bully Foto: Pixabay
"Bullying bukanlah hal normal. Yang melakukannya tidak normal dan yang menerimanya juga tidak normal. Jangan normalisasi bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Apa yang bisa kita lakukan? Jadilah orang yang membawa perubahan, berani speak up dan gunakan semua platform di media sosial. Tolong manfaatkan semua media sosial untuk mengembangkan pesan-pesan konstruktif yang membangun peradaban," pungkas Lily.