Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
3 Hal yang Harus Dilakukan Remaja Bila Divonis Mengidap HIV
1 Desember 2018 18:58 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Padahal mengidap penyakit HIV/AIDS bukanlah akhir dari segalanya. Apabila kamu bingung harus melakukan apa setelah divonis mengidap HIV/AIDS, LBH Masyarakat yang fokus mengadvokasi isu-isu HIV/AIDS di Indonesia memberikan tiga hal yang harus dilakukan pasca remaja divonis positif mengidap HIV. Apa saja?
1. Mencari pengobatan
“Setelah remaja tahu dia positif HIV, dia harus enroll di pengobatan karena HIV tuh ada obatnya, antiretroviral therapy. Ada beberapa rumah sakit/layanan-layanan yang bahkan dikategorikan ramah sama remaja,” kata Ajeng Larasati, Koordinator Program, Riset, dan Komunikasi LBH Masyarakat.
Pengobatan ini penting agar kamu bisa mendapat perawatan intensif supaya tahu bagaimana kondisimu saat setelah divonis tersebut. Selain itu, mencari pengobatan juga bisa membuat keadaanmu lebih baik setelah mendapat arahan dokter.
ADVERTISEMENT
2. Mencari dukungan sebaya
Setelah mencari pengobatan untuk memperbaiki kondisi tubuh secara fisik, kamu juga harus mencari dukungan secara psikis dari lingkunganmu. Soalnya, sebagai pengidap HIV/AIDS, kamu bakal membutuhkan lingkungan yang enggak menghakimi kondisimu.
“Cari dukungan sebaya bisa dari teman-teman remaja yang juga positif supaya belajar dan sharing pengalaman seperti, ‘Gimana sih ketika lo pertama kali tahu status lo? Gimana sih caranya bilang ke orangtua lo bahwa lo positif?’,” tutur Ajeng.
3. Memberi tahu orangtua
Hal penting lainnya yang harus kamu lakukan setelah positif mengidap HIV adalah memberitahu orangtua tentang penyakitmu. Namun kamu enggak bisa serta-merta langsung memberitahu orangtuamu secara tiba-tiba.
“Karena kalau orangtua kita enggak pernah dengar HIV itu apa, tahunya HIV itu muncul dari perbuatan yang amoral, ya kalau kita tiba-tiba ngomong, ‘Mah, Pah, aku HIV,’ kan panik juga orangtua. Makanya orangtua harus diedukasi dulu,” pungkas Ajeng.
ADVERTISEMENT