Anak Muda Didorong untuk Gelut Politik yang Berbobot di Media Sosial

24 Januari 2019 15:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi main media sosial. (Foto: Geralt/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi main media sosial. (Foto: Geralt/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Menjelang pemilihan presiden (pilpres) yang akan jatuh pada 17 April 2019 mendatang, anak muda milenial didorong untuk aktif melakukan partisipasi politik. Selain mencoblos capres terbaik menurut hati nurani, kamu juga bisa aktif bergelut di media sosial.
ADVERTISEMENT
Eits, tapi bukan gelut sembarang gelut yang bisa menimbulkan huru-hara atau perpecahan. Tapi gelut yang berbobot dan berkualitas dengan data dan fakta. Hal ini diungkapkan oleh Cania Citta Irlanie, seorang vlogger politik dalam konferensi pers 100% Indonesia Nyoblos di Satrio Tower, Jakarta, Rabu (23/1).
“Karena memang dalam demokrasi, orang harus gelut. Tapi, kita mendorong anak muda bagaimana supaya gelutnya berbobot. Jadi yang kukerjakan adalah, coba dong kalau gelut istilahnya tanpa data, tanpa argumen yang jelas, cuma gelut-gelut saling ngatain, nah itu kan enggak produktif,” ujar Cania.
Menurut Cania, cara gelut yang produktif ini misalnya adalah membantah postingan para buzzer atau key opinion leader yang condong ke salah satu pihak. Kalau postingan mereka enggak sejalan dengan fakta yang ada, kamu bisa membantah dengan data-data yang ada.
ADVERTISEMENT
“Jadi kita tetap gelut, tapi gelut yang berbobot dan produktif. Gelut yang akhirnya bisa mengarahkan orang berubah pilihan, sehingga kita bisa sama-sama setipe, nih. ‘Oh berarti lebih bagus kandidat yang ini daripada yang itu’,” terang Cania.
Menurut cewek yang aktif memberikan pendapat kritisnya soal politik di YouTube ini, mekanisme gelut sebenarnya sudah diajarkan di sekolah-sekolah. Jadi dalam demokrasi, harus selalu ada gelut berupa tesis, antitesis, dan sintesis.
Soal gelut dalam demokrasi ini pun diamini oleh Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) saat bicara di forum yang sama. Menurut Ferry sah-sah saja buat anak muda berpendapat mengungkapkan pikiran secara lisan atau tulisan.
“Kalau Cania tadi bilang bahwa kalau ada satu problem yang menurutnya tidak sesuai, ya, dibantah saja dengan data, (asal) tidak hoaks,” kata Ferry yang menekankan pentingnya isu hoaks saat pemilu ini.
ADVERTISEMENT
Mencatut salah satu penelitian, Ferry melihat bahwa hoaks ini lebih disukai generasi Baby Boomers atau orang tua para milenial. Sehingga, diharapkan anak muda milenial hingga generasi Z harus aktif menyuarakan data-data yang ada.
“Ternyata, kaum muda milenial, kalau ada hoaks itu dia verifikasi dulu, jadi ternyata luar biasa teman-teman pemuda. Nah, inilah (mengapa) kaum muda yang harus kita tampilkan untuk meluruskan (hoaks) itu dengan berbagai data,” ujarnya.
Namun begitu, Ferry juga mengimbau buat anak muda yang mau menyuarakan gagasannya agar enggak saling merusak satu sama lain. Apalagi jika terdapat perbedaan di antara kaum muda.
“Enggak ada problem dengan perbedaan, cuma bagaimana kita tidak saling menegasikan, tidak saling mendestruksi satu sama lain. Itu yang memang harus menjadi perhatian kita. Sehingga, semua bisa terakomodir (pendapat dan kepentingannya),” terang eks komisioner KPU Republik Indonesia itu.
ADVERTISEMENT