Ketika Kultur Anime Eksis di Tengah Masyarakat Konservatif Dagestan

7 Desember 2018 15:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cosplayer yang menyerupai karakter anime Jepang. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Cosplayer yang menyerupai karakter anime Jepang. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rasanya jarang pernah ada masalah bagi pecinta kultur anime di Indonesia buat mengekspresikan hobi seperti membaca manga, menonton kartun, membuat festival cosplay, dan hal-hal lainnya yang berbau “jejepangan”. Enggak ada yang akan melarang hal itu selama sesuai koridornya.
ADVERTISEMENT
Namun pernahkah kamu mendengar kalau tren kultur anime juga eksis di negara dengan masyakarakat konservatif? Yap, negara itu adalah Republik Dagestan yang merupakan bagian dari Federasi Rusia. Mungkin kamu bakal lebih familiar bila negara ini disebut sebagai tempat kelahiran petarung MMA, Habib Nurmagomedov.
Menurut penelitian yang dilakukan Mikhail Maslovsky, Alina Maiboroda, dan Albina Garifzianova (2018), dari survei yang dihelat di sejumlah kampus di Makhachkala, Ibukota Dagestan, ada sekitar 6,6 persen responden dari 800 sampel yang mengidentifikasi diri mereka sebagai penggemar anime.
“Pada saat yang sama, 28,9 persen responden punya teman yang juga penggemar anime sementara 35,5 persen tahu adanya acara yang mewadahi kultur anime,” tulis penelitian itu.
Yang menarik dari temuan ini adalah, bahwa sebenarnya kultur anime (atau kultur antimainstream secara umum) sendiri sebenarnya cukup dimusuhi di antara masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai konservatif di Dagestan.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya para partisipan acara anime di Makhachkala, yang enggak sejalan dengan wajah ‘lurus’ daripada remaja Dagestan pada umumnya, menjadi objek wacana untuk ‘dinormalkan’ oleh para penentangnya. Termasuk oleh remaja ‘normal’ di Dagestan itu sendiri,” tulis Maslovsky cs dari hasil penelitian lapangan di sana.
Tekanan masyarakat kepada penggemar kultur anime di Dagestan itu bisa dilihat juga dari pembatalan yang dilakukan otoritas setempat, tehadap festival AniDag (Anime Dagestan) pada November 2018 lalu. Acara ini rencananya dihelat di Avar Theatre, Makhachkala, sebagaimana dilaporkan Caucasian Knot.
“Hari ini kita punya festival anime, dan hari esok, barangkali kita punya acara LGBT. Hal ini enggak dapat diterima oleh kita,” ujar mantan Menteri Urusan Remaja Dagestan, Arsen Gadjiev lewat postingan Facebook.
ADVERTISEMENT
Eksis diam-diam
Menurut penelitian Maslovsky cs, skena kultur anime di Makhachkala digandrungi generasi muda berumur 14-25 tahun, dari kalangan siswa dan mahasiswa. Mereka dapat dikategorikan sebagai kelas menengah dalam hal edukasi, pendapatan, dan konsumsi kultural.
Bila dilacak sejarahnya, film animasi Jepang muncul pertama kali di jaringan televisi Rusia sekitar tahun 2000-2005. Mereka mendapat perhatian, khususnya dari siswa kelas menengah, akan tetapi enggak terbatas pula bagi remaja secara umum. Sejak tahun 2012, mulai muncul semacam festival anime digelar di Makhachkala.
“Akan tetapi generasi muda (yang suka anime), menghabiskan banyak waktu dengan keluarga dan kerabat di luar skena kultur (anime). Sebenarnya melalui dari hasil wawancara kami, aktivitas subkultur (anime) enggaklah aneh di kalangan keluarga,” tulis Maslovsky cs dalam Journal of Intercultural Studies.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam temuan Maslovsky cs, ketegangan dengan orangtua akibat kegemaran generasi muda pada anime ini juga sering terjadi. Coba-coba dengan gaya anime semisal rambut dipotong pendek dan diwarnai seperti tokoh kartun, cenderung menjadi objek pengawasan dan peraturan oleh kalangan sepuh dari pihak keluarga.
“Saudara-saudari ayahku menulis kepadaku, serta menghubungi lewat telepon dan berkata, ‘Penampilan kamu yang begini bakal bikin malu orangtua’,” terang salah satu penggemar anime di Makhachkala.
Untuk menghadapi situasi yang enggak mengenakan ini, generasi muda penggemar anime di Dagestan biasanya akan mengundang teman mereka yang sudah punya citra baik –dan tentu saja, penggemar anime- untuk mendatangi orangtuanya dan meluruskan bahwa menggemari anime bukanlah sesuatu yang menyimpang.
Pada kasus lain, para penggemar anime bakal berkilah, dan beralasan bahwa mereka sedang mempelajari bahasa Jepang untuk tujuan positif.
ADVERTISEMENT
“Dengan alasan tersebut, nenekku mendukungku, dia bahkan membawakan kamus Bahasa Jepang untukku dan saudariku,” tutur seorang penggemar anime lain.
Para penggemar anime itu membela diri bahwa sebagai pencinta anime, “Aku enggaklah merokok atau mabuk. Aku cuma mau duduk manis dan nonton kartun saja.”