Konten dari Pengguna

Riset Kesehatan Mengacu Prinsip Etik yang Berlaku Universal

Fachrudin Ali Ahmad
Saat ini bekerja sebagai Pranata Humas Ahli Muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Lulus Strata Satu (S1) dari FIKOM UNPAD. Tahun 2012 menyelesaikan Magister (S2) Kesehatan Masyarakat UI
25 Juli 2021 10:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fachrudin Ali Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dapat dilakukan setelah mendapat hasil lulus/layak kaji etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Balitbangkes Kemenkes RI
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dapat dilakukan setelah mendapat hasil lulus/layak kaji etik penelitian dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Balitbangkes Kemenkes RI
ADVERTISEMENT
Pegiat dan praktisi kaji etik yang tergabung dalam Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) mengenal pedoman dan panduan dalam kegiatan kaji etik yang berlaku universal. Hal ini digunakan dalam menelaah protokol penelitian yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian.
ADVERTISEMENT
Dalam melakukan telaah etik penelitian kesehatan ada prinsip etik yang dikeluarkan oleh World Health Organizations (WHO) di tahun 2011. Ada tiga prinsip etik sebagaimana diatur dalam standar WHO. Ketiga prinsip dikembangkan menjadi tujuh butir penilaian dan pengkajian protokol penelitian kesehatan untuk memperoleh kelaikan etik (ethical clearance) . Lembaga Council for Internasional Organizations of Medical Science (CIOMS) bekerjasama dengan WHO pada tahun 2016 juga telah mengeluarkan 25 butir pedoman mutakhir dalam melakukan penelaahan etik penelitian.
Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui sebagai prinsip etik umum penelitian kesehatan yang memiliki kekuatan moral, sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-jawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum.
Perlu dijelaskan tiga prinsip etik penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek yang telah ditetapkan oleh WHO pada tahun 2011. Prinsip etik ditetapkan melalui kajian mendalam dan pengalaman peristiwa yang menghebohkan dan menjadi skandal dunia penelitian selama sekian tahun. Prinsip ini dilahirkan berdasarkan The Belmont Report tahun 1976.
ADVERTISEMENT
Ketiga prinsip itu yakni kesatu, prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for persons). Prinsip ini bertujuan untuk menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu memahami pilihan pribadinya untuk mengambil keputusan mandiri (self determination), dan melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan bahwa manusia yang berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse).
Kedua, prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non maleficence). Prinsip etik berbuat baik adalah mempersyaratkan risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang diharapkan. Desain penelitian juga harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientifically sound).
Para peneliti harus mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga kesejahteraan subjek penelitian dengan mengacu pada prinsip do no harm/non maleficent (tidak merugikan). Prinsip yang menentang segala tindakan dengan sengaja merugikan subjek penelitian. Prinsip tidak merugikan adalah jika tidak dapat melakukan hal yang bermanfaat, maka sebaiknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap tindakan penyalahgunaan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, prinsip keadilan (justice). Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya.
Saat ini penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek banyak dilakukan. Kebanyakan melibatkan manusia awam. Kadang mereka yang dilibatkan tidak mengetahui implikasi dan dampak yang berpotensi negatif kemudian hari.
Penelitian yang dilakukan seringkali dapat menimbulkan risiko bagi manusia yang menjadi subjek penelitian. Risiko yang terjadi bisa ringan mulai ketidaknyamanan dan rasa nyeri hingga berujung kematian. Perlu diantisipasi dugaan atas risiko termasuk fisik, sosial, ekonomi dan psikologis terkait dengan partisipasi dalam penelitian. Risiko sosial yang mungkin terjadi seperti adanya stigma, diskriminasi, hilangnya rasa hormat, atau cemoohan publik.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya berbagai kasus penelitian terjadi dan menjadi skandal dunia. Salah satunya peristiwa Tuskegee Syphilis Study. Studi Tuskegee dilakukan oleh Tuskegee Institute di Macon Country, Alabama, Amerika Serikat dari tahun 1930 hingga 1972. Penelitian dilakukan untuk mempelajari perkembangan alamiah penyakit sifilis. 400 penderita sifilis dengan secara sengaja dan terencana, sesuai protokol studi, sengaja tidak diberikan obat yang sangat efektif (penisilin G) supaya perkembangan alamiah penyakit sifilis dapat diamati dan dipelajari. Akibatnya, saat penelitian dihentikan tercatat 28 penderita meninggal dengan penyebab langsung karena sifilis, 100 orang penderita meninggal karena komplikasi sifilis, 40 isteri tertular sifilis, dan 19 anak lahir cacat karena sifilis
Mengacu pada beberapa kasus penelitian yang terjadi penting memberikan perlindungan secara maksimal terhadap subjek. Itulah gunanya persetujuan etik (ethical clearence) terhadap penelitian sebelum dilakukan. Utamanya untuk menghindari atau meminimalisir risiko subjek.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, penyusunan Pedoman atau panduan dalam melakukan penelaanan etik penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subjek gencar dilakukan Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional (KEPPKN) Lembaga ini merupakan Komisi yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan dengan tugas salah satunya membantu Menteri Kesehatan dalam pengaturan, pembinaan dan penegakan etik penelitian dan pengembangan kesehatan di Indonesia.
Harapannya, dengan berpedoman pada ketiga prinsip etik ini dan seperangkat panduan penilaian kaji etik lainnya seperti yang dikeluarkan lembaga CIOMS akan menghasilkan telaah (kaji etik) yang menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam memberikan perlindungan manusia sebagai subjek penelitian.