Perang, Bahan Bakar Kapal, dan Perdagangan Lintas Laut

Abdul Bukhori (Public Policy Enthusiast)
Junior Marketing Staff Dry Bulk Vessel PT Pelayaran Mana Lagi
Konten dari Pengguna
18 Juli 2022 10:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Bukhori (Public Policy Enthusiast) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktifitas Bongkar Kargo Kapal Curah, sumber: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aktifitas Bongkar Kargo Kapal Curah, sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Optimisme yang selalu tampak bergairah di setiap awal pembuka tahun, harus terguncang dengan terjadinya pertempuran melibatkan negara yang saling bertetangga. Perang yang melanda Rusia dan Ukraina itu kini telah berlangsung selama hampir lima bulan lamanya. Kedua negara yang dulunya pernah berada dalam satu panji ideologi dan bahkan masih dalam satu rumpun bangsa Slavia, saling todong menodong senjata sejak Putin, presiden Rusia, mengumumkan operasi militer pada akhir bulan Februari 2022. Akibat dari ini, dunia terancam masuk ke dalam konflik Perang Dunia ketiga.
ADVERTISEMENT
Rusia mewarisi semangat intelektual dan sejarah perjuangan politik Uni Soviet. Warisan ini berakar dari kaum Bolshevik, kaum kiri revolusioner pimpinan Vladimir Lenin. Kaum Bolshevik menjelma menjadi Partai Komunis, kaum yang mengamini penggunaan kekuatan militer dalam memperjuangkan tujuannya. Naas, api warisan ini terbebani abunya. Rivalitas hegemoni NATO dan Pakta Warsawa selama periode Perang Dingin, memberikan dorongan Rusia menghantam Ukraina. Kecemasan Rusia akan masuknya negara regional bekas Uni Soviet ke NATO adalah pangkal masalah. Upaya penyerangan militer ke Ukraina bagi Rusia tidak lain dan tidak bukan adalah upaya proteksi diri Rusia dari ancaman NATO. Begitulah wacana yang Rusia lemparkan.
Menjelajahi Masa Lalu
Sejarah ketegangan antar kedua negara sesungguhnya tidak bisa lepas dari eksistensi federasi Uni Soviet. Kekacauan demi kekacauan politik yang menimpa negara berhaluan komunis, menemukan momentumnya manakala Tembok Berlin, tembok pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur runtuh pada tahun 1989. Dalam sebuah buku The Year That Change The World: The Untold Story behind the Fall of the Berlin Wall (2009), Michael Meyer sang penulis mengatakan bahwa “Momentum paling penting pada tahun yang penting itu adalah tanggal 9 November, hari dimana Tembok Berlin runtuh. Dan dalam banyak hal itu, 1989 adalah tahun yang mengubah dunia”.
ADVERTISEMENT
Keruntuhan Tembok Berlin menimbulkan efek domino. Seolah seperti memang sudah menjadi takdir, Uni Soviet kian lama kian terperosok, tersungkur dan jatuh ke dalam jurang perpecahan. Namun, Revolusi 1989 bukanlah biang kerok tunggal yang dapat disalahkan. Arah kebijakan Mikhail Gorbachev yang tidak jelas dianggap menjadi satu faktor yang turut mempercepat kejatuhan Uni Soviet. Reformasi ekonomi tidak berhasil. Desentralisasi dan perubahan aturan tentang perdagangan luar negeri membingungkan calon mitra. Kurang lebih begitulah kritik Lothar Späth, pemimpin Serikat Demokratik Kristen Negara Bagian Baden-Württemberg. Kritik yang kelak mengubur dalam mimpi Gorbachev untuk memodernisasi ekonomi Uni Soviet.
Gelombang Revolusi 1989 turut melanda Ukraina, salah satu dari empat negara yang pernah tercatat sebagai pendiri Uni Soviet, lebih memilih merdeka dan melepaskan diri dari federasi. Referendum digelar. Pada 1 Desember 1991, pemilih diberikan kebebasan untuk menjawab pertanyaan ya atau tidak. Pertanyaan sederhana namun krusial dan menentukan arah masa depan Ukraina. Dan menang telak, hampir seluruh pemilik suara memilih untuk mendukung kemerdekaan Ukraina. Opsi referendum memberikan peluang bagi Ukraina untuk meninggalkan federasi tanpa harus terlibat dalam pusaran konflik dengan Uni Soviet, Serhii Plokhy dalam The Gates Of Europe: A History of Ukraine (2015).
ADVERTISEMENT
Lonjakan Harga Bahan Bakar Kapal
Menang jadi arang, kalah jadi abu. Dalam peperangan, menang ataupun kalah, kedua pihak sama-sama menderita kerugian. Perang Rusia dan Ukraina memberikan banyak derita, tidak hanya kepada pihak yang bertikai, namun juga dunia, terseret ke dalam gelombang kekacauan ekonomi, politik serta ketidakstabilan harga pasar energi dan komoditas. Bayang-bayang krisis energi dan inflasi menjadi momok yang menakutkan, terutama bagi negara-negara Uni Eropa. Bagaimana tidak, sekutu Amerika ini bergantung pada pasokan energi Rusia. Tercatat lima tahun terakhir, Eropa mengimpor 33% energi dari Rusia. Keputusan Eropa menjatuhkan sanksi kolektif embargo atas produk energi Rusia adalah pilihan yang cukup dilematis.
Selagi Eropa bergelut dengan opsi-opsi alternatif dan merundingkan aneka ragam sanksi apa saja yang akan dijatuhkan lagi kepada Rusia, harga bahan bakar, termasuk bahan bakar sektor industri perkapalan mengalami lonjakan kenaikan yang cukup signifikan. Mengutip Euronav, perusahaan kapal tanker terkemuka dunia, dalam sebuah press rilis yang diterbitkan, menyebut jika Rusia memasok 20% kebutuhan pasar bahan bakar kapal dari total permintaan secara global, yang mana pasakon ini meliputi bahan bakar tipe High Sulphur Fuel Oil (HSFO), Very Low Sulphur Fuel Oil (VLSFO), dan Marine Gas Oil (MGO).
ADVERTISEMENT
Harga bahan bakar kapal rendah sulfur (VLSFO) sendiri tercatat, semenjak awal tahun 2022, mengalami tren kenaikan. Pada awal bulan Januari, rata-rata harga bahan bakar rendah sulfur di tiga besar kawasan pelabuhan bunker dunia, yakni Singapura, Rotterdam, dan Fujairah, berada di kisaran angka 600-an dollar. Harga bunker kemudian mengalami kenaikan semakin tajam setelah Putin mengumumkan operasi militer ke Ukraina, rata-rata kenaikan berada pada harga 764-an dollar, dan mencapai harga di angka 1000-an dollar, berlanjut mencapai puncak harga tertinggi di kisaran angka 1140-an dollar, dan diprediksi masih akan terus mengalami tren kenaikan, mengutip shipandbunker.com
Bersambung....