Menghilangkan Rasisme di Dunia Akademis Indonesia

Abdul Halim
Dosen Teknik Kimia. Peneliti di bidang biomassa, kayu, pulp dan kertas. Tertarik dalam science communication.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2023 18:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Halim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggota lab saat penulis S3 terdiri dari mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Paraguay, Thailand dan Kamboja. Foto: Abdul Halim/dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Anggota lab saat penulis S3 terdiri dari mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Paraguay, Thailand dan Kamboja. Foto: Abdul Halim/dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia belum lepas dari rasisme dalam dunia akademis. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa kasus waktu lalu. Pertama seorang profesor sekaligus rektor, melalui FB pribadinya menuliskan bahwa perempuan berhijab seperti manusia gurun. Isi tulisan memberikan kesan bahwa perempuan berhijab dan bangsa arab kurang open minded dibandingkan dengan mereka yang tidak berhijab.
ADVERTISEMENT
Kedua, belum lama ini, dijumpai tulisan SARA dari salah satu peneliti BRIN. Peneliti BRIN memberikan tulisan SARA tentang muhammadiyah dan orang-orang muhammadiyah melalui FB pribadi. Penulis pun mendapatkan pengalaman bagaimana profesor di lembaga tertentu menganggap bahwa juniornya tidak akan bisa lulus S3 karena berhijab.
Ada pula yang menganggap temannya kurang inovatif karena dia perempuan. Kasus di atas menunjukkan bahwa, bisa jadi, kasus-kasus SARA tersebut merupakan puncak gunung es yang belum tampak keseluruhannya. Meskipun Indonesia belum memiliki laporan atau studi khusus terkait dengan rasisme dalam dunia akademis. Namun, bukan berarti rasisme di dunia akademis indonesia tidak ada.
Rasisme menyebabkan seseorang memberikan perlakuan berbeda berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang sehingga membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. Dalam dunia akademis, rasisme ini bisa muncul dalam berbagai macam bentuk. Hal yang paling samar adalah bias dalam menilai dan menganggap kualitas intelektual seseorang berdasarkan asal-usulnya.
Ilustrasi rasis. Foto: Getty Images
Lingkungan akademis seharusnya menjadi tempat tumbuh suburnya perbedaan. Banyak fenomena alam yang masih menjadi perdebatan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat. Salah satunya adalah bagaimana selulosa (material yang dijadikan kertas) tidak dapat larut dalam air meskipun memiliki banyak gugus hidroksi (gugus yang seharusnya larut ke air).
ADVERTISEMENT
Keanekaragaman dan perbedaan dalam dunia akademis sejatinya seperti vitamin. Penting untuk menjalankan dan membuat tubuh tetap sehat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keanekaragaman dan perbedaan akan menaikkan tingkat inovasi. Selain itu, Perusahaan yang memiliki pegawai beranekaragama memiliki kemungkinan 70 persen mendapatkan pasar baru dan 45 persen pertumbuhan.
Indonesia, secara alami adalah bangsa yang beraneka ragam. Indonesia adalah rumah bagi ratusan suku dan bahasa di mana, juga ada para keturunan bangsa Tionghoa, Arab, Jepang, India ataupun Belanda. Meskipun perbedaan dunia akademis memacu terjadinya inovasi, namun tidak semua insan akademis mempraktikkannya.
Beberapa bahkan mempercayai bahwa institusi tertentu, negara tertentu, suku tertentu ataupun orang dengan penampilan tertentu lebih brilian, lebih open minded, lebih cerdas dari lainnya. Praktik ini bisa saja tidak disengaja dan tidak disadari oleh insan akademis tersebut.
Ilustrasi rasis. Foto: Getty Images
Rasis menjadi sangat berbahaya karena hampir semua praktik penelitian dan pendidikan memerlukan proses penilaian atau telaah sejawat (peer review). Penilaian mulai hal terkecil seperti menilai ujian mahasiswa hingga penilaian akreditasi, dana hibah, termasuk rekrutmen dosen.
ADVERTISEMENT
Dalam proses penelitian misalkan, setiap hasil penelitian yang akan diterbitkan harus melalui proses peer review. Praktik rasis dalam peer review ini akan muncul dalam bentuk anggapan atau merasa orang dari afiliasi/lembaga tertentu, suku tertentu, negara tertentu ataupun penampilan tertentu, memiliki ide atau hasil penelitian yang pasti bagus.
Contoh lain adalah rekrutmen dosen. Pewawancara bisa memberikan nilai lebih baik karena pelamar adalah suku tertentu, alumni kampus tertentu, atau memiliki agama tertentu. Rasisme akan mendorong penilaian berdasarkan siapa atau penampilan apa dibandingkan dengan ide yang diberikan.
Dunia akademis dunia sudah berusaha untuk menghilangkan rasismenya. Salah satunya dengan lebih banyak memberikan tempat khusus atau citra bahwa peneliti tidak hanya berwajah ras kaukasian seperti misalnya pada salah satu sampul majalah ACS Analytical Chemistry.
Ilustrasi rasis. Foto: Shutterstock
Lantas, bagaimana cara kita menghilangkan rasisme ini dalam dunia akademis kita sendiri? Pertama, dari sisi institusi. Institusi harus memberikan pelatihan terkait dengan bias dalam menilai kepada para pegawainya.
ADVERTISEMENT
Instansi juga harus memiliki dokumen standar prosedur penanganan terkait dengan temuan atau laporan rasisme di lembaganya. Lakukan audit secara berkala terhadap proses penilaian, jika perlu bekerja sama dengan para peneliti di luar institusi.
Kedua, dari sisi penilai, selalu berpegang teguh pada manual atau pedoman penilaian. Selalu introspeksi diri dengan mengatakan pada diri, jika yang dinilai dari institusi A atau berpenampilan B, apakah saya akan memberikan nilai yang sama?
Ketiga dari sisi pendidik, berikan pendidikan dan memperkenalkan peserta didik terkait dengan keanekaragaman. Beri mereka wawasan terkait budaya, ataupun karakter di luar budaya dan karakter golongannya.
Keempat, dari sisi peserta didik dan masyarakat, laporkan jika anda menemukan praktik rasisme. Bisa jadi institusi diam saja meskipun ada laporan. Namun, tanggung jawab sebagai warga negara adalah memastikan bahwa setiap sen uang negara dipergunakan dengan efisien.
Ilustrasi rasis. Foto: Shutterstock
Kelima, dari sisi masyarakat akademis. Masyarakat akademis bisa memonitor, melakukan penelitian dan memberikan masukan terkait penanganan rasisme di institusi akademis masing-masing. Jangan ragu untuk speak up karena di dunia akademis, perbedaan akan memberikan kemajuan.
ADVERTISEMENT