Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Furbizia Menuju Final Euro 2020: Football's Coming Home or Coming to Rome?
11 Juli 2021 15:55 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:00 WIB
Tulisan dari Abdul Basith Fithroni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertandingan perempat final Piala Dunia 2006 mempertemukan Italia dan Australia memasuki menit 90 dan tampak akan berlanjut ke babak perpanjangan waktu. Fabio Grosso, bek kiri Italia, menusuk ke kotak penalti Australia, Lucas Neill mencoba mengalangi, Grosso terjatuh dan penalti buat Italia. Gol penalti di injury time Francesco Totti dengan pen yang masih menancap di kaki karena baru sembuh dari cedera jelang turnamen membawa Italia lolos ke perempat final, yang sisanya kita tahu semua, Italia kemudian meraih juara dunia keempatnya.
ADVERTISEMENT
Seusai laga, Grosso mengakui bahwa dia sengaja mengambil keuntungan dari adangan Neill, kalau tidak mau dikatakan diving. Itulah salah satu seni sepakbola Italia yang disebut Furbizia.
Dikutip dari laman Pandit Football, Furbizia dikenal sebagai cara mengelabui lawan atau wasit melalui berbagai pendekatan performatif, taktis dan psikologis yang tidak keluar dari peraturan pertandingan. Cara ini telah dipakai timnas Italia sejak lama dan menjadi ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari permainan Italia.
Menurut Andrea Tallarita, seorang kolumnis Football Italiano, Furbizia tidak hanya diving. Ada beberapa contoh lain furbizia seperti: Tactical fouls, melakukan tendangan bebas ketika kiper lawan belum siap, membuang-buang waktu, memprovokasi (baik fisik maupun verbal), dan hal-hal lain yang bisa menyerang psikologis pemain lawan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang gelaran turnamen Euro 2020 ini kedua tim melenggang setelah melakukan Furbizia dengan caranya masing-masing. Italia yang dikenal sebagai pemilik seni ini sebenarnya bermain di luar pakem mereka selama ini, catenaccio. Italia bermain atraktif sepanjang turnamen dengan mencetak 7 gol selama babak penyisihan grup. Sebuah catatan yang jarang ditemui di Timnas Italia pada gelaran turnamen sebelumnya. Namun, di perempat final melawan Belgia, Italia kembali menunjukkan kecerdikannya mempraktikkan furbizia dan catenaccio.
Sebelum terjadinya gol Nicolo Barella, Ciro Immobile sempat terjatuh dan mengerang kesakitan setelah diadang bek Belgia. Bek Belgia yang merasa tidak melakukan kesalahan sempat mengangkat tangan tanda tidak melakukan pelanggaran. Sialnya, Barella memanfaatkan momen itu untuk mencetak gol ke gawang Thibaut Courtois. Immobile? Tentu saja, segera bangkit dan ikut merayakan gol.
ADVERTISEMENT
Pasca ditariknya Spinazzola karena cedera, Italia kembali menerapkan furbizia ini. Dikutip dari podcast Box2Box Football, edisi 88 The Dark Arts of Cheating in Football, dari sekitar 20 menit sisa waktu, hanya 9 menit bola bergulir di lapangan sisanya terjadi karena pelanggaran, bola keluar dan mengulur waktu.
Sementara untuk Inggris, tentu kita tahu kontroversi yang terjadi di semifinal melawan Denmark setelah Raheem Sterling terjatuh di kotak penalti memanfaatkan advantage setelah diadang Joakim Mæhle dan Mathias Jensen. Wasit pun menunjuk titik putih dan Harry Kane mencetak gol memanfaatkan bola muntah hasil sepakan penaltinya yang sempat ditepis Kasper Schemeichel. Kedua pertandingan tersebut menjadi contoh furbizia menjadi salah satu faktor mereka melenggang ke final Euro 2020 ini meskipun konsitensi permainan dan hasil menjadi kunci utama mereka menembus final.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana motivasi dan peluang keduanya di final?
Untuk Italia, final ini merupakan kedua kalinya dalam tiga gelaran Euro. Namun, periode antar final ini merupakan salah satu periode gelap sepakbola Italia setelah gugur di penyisihan grup Piala Dunia 2014 dan gagal lolos Piala Dunia 2018 meskipun sempat menjanjikan di Euro 2016. Pasca kegagalan tersebut, Roberto Mancini datang bersama dengan teman lamanya, Gianluca Vialli, ditambah Alberico Evani dan Gabriele Oriali sebagai asisten mengembalikan Italia menjadi tim tangguh yang mengandalkan kolektivitas tim dan meraih hasil memuaskan di kualifikasi Euro 2020.
Untuk Euro 2020 ini, Italia berani meninggalkan pakem bermain catenaccio-nya dengan mengandalkan permainan umpan pendek dari memanfaatkan ruang dengan trio gelandangnya sebagai dinamo permainan yang ditunjang bek sayap yang rajin naik turun membantu serangan, terutama Spinazzola di sayap kiri dan tentu trio penyerang yang mempunyai skill untuk berduel dengan bek lawan dan melakukan kombinasi. Sesekali mereka memperagakan catenaccio, terutama melawan Spanyol. Selain itu, pemain yang siap menjadi super sub seperti yang ditunjukkan Pessina dan Chiesa pada laga melawan Austria.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk ditunggu pendekatan permainan Italia menghadapi Inggris nanti, terutama setelah Spinazzola cedera. Opsi yang pertama tentu memasang Emerson Palmieri meskipun bisa juga menggeser Di Lorenzo dengan sayap kanan diisi Rafel Toloi. Sementara di Bagi Italia, menjadi juara Euro 2020 akan menjadi gelar Euro kedua setelah meraihnya di tahun 1968 dan gelar pertama setelah menjadi juara Piala Dunia 2006 sekaligus mengakhiri periode buruk mereka.
Bagi Inggris, ini adalah final pertama mereka di Euro dan menjadi peluang merengkuh gelar setelah Piala Dunia 1966 bagi negara yang mengeklaim sebagai rumah sepakbola ini. Lolos ke final menjadi catatan tersendiri bagi Inggris di bawah asuhan Gareth Southgate yang berhasil mencapai semifinal di dua turnamen mayor menyamai capaian Inggris asuhan Sir Alf Ramsey. Inggris kali ini memang tidak seperti skuat sebelumnya, terutama Piala Dunia 2006, yang mempunyai kemampuan individu mumpuni tapi Southgate mampu membuat bermain kolektivitas dan fokus ke hasil.
ADVERTISEMENT
Pada Euro ini Inggris memang tidak bermain baik di awal turnamen terutama di dua pertandingan babak grup tapi Inggris mampu tetap meraih kemenangan dengan aksi dari Sterling dan Kane, kokohnya lini belakang dan eksplosivitas Luke Shaw membantu serangan. Selain itu, dimudahkan dengan gelandang dan sayap yang sangat kaya pilihan. Terbukti, Southgate mengganti line up gelandang serang dan sayapnya sesuai kebutuhan per pertandingan. Ini yang membuat publik dan media Inggris mulai optimis dan mendengungkan kembali football's coming home yang dibalas fans Italia dengan It's coming to Rome?
Peluang keduanya untuk menjadi juara relatif terbuka. Secara permainan Italia jelas lebih mempunyai konsep dan pola yang jelas serta enak ditonton. Sementara Inggris lebih mengandalkan reactive football dan sabar menunggu lawan keluar tapi sewaktu-waktu bisa mematikan dengan pergantian pemain dan kecepatan sayapnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, faktor nonteknis menjadi penentu pertandingan. Italia menjadikan final ini sebagai kado untuk Spinazzola yang harus mengakhiri turnamen lebih awal karena cedera achilles dan menjadi kunci eksplosivitas Italia. Sementara Inggris tentu didukung faktor sebagai "tuan rumah" karena final ini akan dihelat di Stadion Wembley dan kebijakan pemerintah Inggris yang tidak memperbolehkan suporter dari negara lain masuk ke Inggris untuk menyaksikan Euro 2020 untuk mencegah penyebaran COVID-19
Akhirnya menarik ditunggu apakah nanti malam It's coming home or coming to Rome? Saya pribadi lebih suka mengutip Kasper Schmeichel, "Has it ever been home? I don't know, have you ever won it?" (re: Memangnya pernah pulang ke rumah? memangnya Inggris pernah menangin Piala Eropa?).
ADVERTISEMENT