Jalan Panjang Pesepak Bola Menyuarakan Isu Palestina

Abdul Basith Fithroni
Apoteker, Mahasiswa di Okayama University, fans AC Milan dan Man United, bisa saling terhubung di twitter @abdulbf
Konten dari Pengguna
23 Mei 2021 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Basith Fithroni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Al-Aqsa. Foto : Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Al-Aqsa. Foto : Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertandingan Copa del Rey 7 Januari 2009 antara Sevilla vs Deportivo La Coruna memasuki lima menit akhir sebelum jeda babak pertama. Diego Capel melakukan penetrasi ke kotak penalti Super Depor, bola diterima Frederic Kanoute yang dikonversi menjadi gol yang memperbesar keunggulan Sevilla menjadi 2-0. Kanoute segera dihampiri rekan-rekannya, termasuk tandem sehatinya saat itu, Luis Fabiano. Tanpa berpikir panjang, Kanoute segera mengangkat bagian depan jersey-nya yang memperlihatkan tulisan "Palestina" sebagai dukungan terhadap Palestina yang saat itu diserang Israel.
ADVERTISEMENT
Setelah pertandingan, RFEF mendenda Kanoute dengan denda $4,000 karena selebrasi tersebut dianggap menyebarkan pesan politik yang dalam aturan memang dilarang dalam law of the game FIFA. Meskipun mendapatkan denda, selebrasi ini cukup ikonik dan menjadi awal pesepak bola menyuarakan dukungan terhadap Palestina.
Setelah itu, pesepak bola mulai berani menunjukkan dukungan untuk Palestina meskipun tidak secara langsung dengan selebrasi di lapangan. Pada tahun 2014, tim nasional Aljazair mendonasikan hadiah yang didapat dari kelolosan mereka ke 16 besar Piala Dunia 2014 sebesar kurang lebih $9 juta untuk warga Palestina di jalur Gaza yang saat itu mendapatkan serangan dari Israel. Mesut Ozil juga tercatat mendonasikan 450,000 Euro setelah seorang anak yang mengenakan jersey Real Madrid bertuliskan namanya meninggal dibunuh tentara Israel.
ADVERTISEMENT
Selang lebih dari sedekade dari selebrasi Kanoute, Israel masih terus mengganggu kedaulatan Palestina dan puncaknya di akhir bulan Ramadan, tentara Israel menyerang para jamaah yang beribadah di Masjid Al-Aqsa. Serangan tersebut mengundang reaksi tak terkecuali dari para pesepak bola. Tercatat pemain seperti Mohamed Salah, Mohamed El Neny, Sadio Mane, Paul Pogba, Ryad Mahrez, Franck Ribery, Achraf Hakimi dan banyak lainnya menunjukkan dukungan untuk Palestina di media sosial.
Tentunya ini dukungan yang signifikan dibandingkan masa Kanoute bermain dulu yang seakan-akan menyuarakan isu ini sendirian. Memang untuk level klub di Eropa, ada beberapa suporter dari beberapa klub yang konsisten mendukung Palestina, seperti Glasgow Celtic dan St. Pauli sementara di Amerika Selatan ada Deportivo Palestino di Chile yang memang didirikan oleh imigran Palestina di sana.
ADVERTISEMENT
Yang menarik perhatian isu Palestina ini, akhirnya, bisa disuarakan dalam lapangan. Pada final Piala FA di Wembley, dua pemain Leicester, Wesley Fofana dan Hamza Choudhury mengibarkan bendera Palestina saat perayaan juara Leicester City setelah mengalahkan Chelsea. Hal yang juga dilakukan oleh Paul Pogba dan Amad Diallo usai laga kandang terakhir Manchester United di musim 2020/2021.
Berbeda dengan selebrasi Kanoute yang berujung sanksi, FA, federasi sepakbola Inggris, berpendapat bahwa mengibarkan bendera bukan merupakan bagian dari menunjukkan gestur politik. Ole Gunnar Solksjaer, pelatih MU, menanggapi aksi Pogba dan Diallo mengatakan bahwa MU mempunyai pemain dari berbagai latar belakang, budaya, dan negara yang pandangannya perlu dihormati.
Tentunya apa yang dilakukan para pemain ini meningkatkan perhatian publik dan fans untuk peduli dengan isu Palestina ini dan mengubah pandangan bahwa isu ini bukan merupakan isu politik tetapi isu kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Pun akhir-akhir ini, setidaknya dalam setahun, para pemain sepakbola mulai terbiasa menggunakan posisinya untuk mulai menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan kemanusiaan dan anti rasialisme, seperti aksi berlutut sebelum sepak mula untuk kampanye Black Live Matters dan kampanye untuk tidak mencabut subsidi makan siang untuk anak-anak sekolah di Inggris yang dilakukan Marcus Rashford.
Meskipun begitu, tindakan yang dilakukan para pemain yang menyuarakan isu Palestina bukannya tanpa risiko. Beberapa pemain malah menuai kritik dan kecaman, seperti Mohamed El Neny dan duo Ajax, Nossair Mazaroui dan Zakarya Labyad. Untuk kasus El Neny, salah satu sponsor Arsenal, Lavazza, mengkritik sikap El Neny dan mengajak Arsenal berdiksusi terkait hal ini karena yang dilakukan El Neny dianggap tidak sesuai dengan nilai perusahaan yang melawan tindakan rasisme dan anti-semit.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin ini berimbas ke karier El Neny di Arsenal yang bisa saja berakhir seperti Mesut Ozil yang rumornya dipinggirkan karena sikapnya terkait Muslim Uyghur. Sementara, Mazaroui dan Labyad mendaptakan kecaman dari suporter Ajax setelah menyuarakan sikap pro-Palestina karena hubungan erat Ajax dan Israel serta mempunyai basis suporter Yahudi yang cukup kuat.
Melihat hal ini, tentunya jalan masih panjang untuk membuat isu Palestina sejajar dengan isu-isu seperti Black Lives Matters dan Rainbow laces campaign. Ya, memang masih panjang tapi setidaknya cukup menggembirakan untuk mengubah pandangan bahwa konflik Palestina dan Israel bukan isu politik tapi isu kemanusiaan yang merenggut banyak korban dari sisi Palestina dan adanya hak-hak asasi yang dirampas di sana.
ADVERTISEMENT