Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kerja Keras, Hidup Layak? Realita Buruh di Negeri Sendiri
2 Mei 2025 20:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid Ade Putra, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Jakarta
ADVERTISEMENT

Oleh: Abdul Wahid Ade Putra
Setiap pagi, jalanan Jakarta penuh sesak. Dari yang naik motor, KRL, sampai ojek online, semua punya tujuan yang sama: kerja. Di balik helm dan masker itu, ada harapan dan tanggung jawab—buat keluarga, buat masa depan. Tapi pernah nggak sih kita mikir, apakah kerja keras mereka cukup untuk hidup layak?
Sebagai mahasiswa ekonomi, aku sering dengar istilah “sumber daya manusia adalah aset pembangunan.” Tapi kadang aku mikir, kok rasanya nggak semua “aset” diperlakukan adil, ya?
“Banyak buruh yang kerja siang malam, tapi hidupnya masih pas-pasan. Rasanya, ada yang salah dalam sistem kita,” ucapku suatu sore, sambil diskusi bareng teman kampus.
Hari Buruh bukan sekadar perayaan atau rutinitas demo tiap 1 Mei. Ini peringatan dari sejarah panjang perjuangan para pekerja—dimulai dari Amerika di tahun 1886, hingga sampai ke Indonesia. Dulu mereka menuntut jam kerja yang manusiawi. Sekarang? Banyak yang masih berjuang buat dapat pengakuan dasar sebagai pekerja.
ADVERTISEMENT
Upah dan Kebutuhan yang Gak Seimbang
Coba deh kita lihat angka-angka. Di Jakarta, misalnya, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) diperkirakan sekitar Rp5,2 juta per bulan. Tapi Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 ditetapkan di angka Rp5 juta. “Cuma” beda 200 ribu? Kedengarannya kecil, tapi buat mereka yang setiap harinya ngitung pengeluaran sampai ke ribuan rupiah, itu besar.
Menurut data dari Katadata Insight Center (2024), hampir semua provinsi di Indonesia masih menetapkan UMP di bawah KHL. Artinya, dari awal bulan, buruh sudah tahu bahwa penghasilan mereka nggak bakal cukup buat semua kebutuhan pokok.
Dan masalahnya bukan cuma nominal. Banyak pekerja di sektor informal—yang jumlahnya lebih dari 60% menurut BPS—nggak punya kontrak, nggak ada jaminan kesehatan, dan nggak tahu nasib mereka besok seperti apa. Sakit sedikit aja bisa bikin mereka kehilangan penghasilan.
ADVERTISEMENT
“Negara kita sering sibuk bahas pertumbuhan ekonomi, tapi lupa menengok siapa yang sebenarnya ngangkat ekonomi itu dari bawah,” kataku waktu baca berita tentang target ekspor nasional.
Di pabrik, buruh lembur demi kejar target produksi. Di sektor retail, banyak yang kerja dari pagi sampai malam tanpa upah lembur yang layak. Sementara di rumah, mereka masih harus mikir: anak sekolah pakai uang apa?
Buruh Digital: Wajah Baru Ketidakpastian
Sekarang ada istilah keren: ekonomi digital. Tapi buat banyak orang, itu cuma bentuk baru dari kerja tanpa kepastian. Lihat aja para pengemudi ojek online, kurir paket, atau moderator konten—mereka kerja keras, tapi statusnya sering nggak jelas.
Menurut ILO, pekerja di sektor digital sering kali masuk kategori “bukan pegawai”—padahal jam kerja dan target mereka tidak kalah berat dari pekerja tetap. Mereka digaji per order, bergantung pada rating, dan bisa “diputus hubungan” hanya karena sistem menganggap performa mereka menurun.
ADVERTISEMENT
“Zaman boleh berubah, tapi nasib buruh masih di tempat. Bedanya, sekarang bentuknya lebih canggih dan nggak kelihatan,” gumamku saat lihat pengemudi ojol yang nunggu order di pinggir jalan.
Ironisnya, pekerjaan digital ini sering dipuji karena “fleksibel.” Tapi fleksibilitas itu sering kali berarti: tidak ada jaminan, tidak ada kepastian, dan tidak ada perlindungan.
Suara Mahasiswa Itu Penting
Kadang kita, mahasiswa, cuma jadi komentator. Ngetwit pas 1 Mei, repost video demo, terus lanjut rebahan. Tapi sebenarnya kita bisa lebih dari itu. Kita bisa suarakan reformasi kebijakan ketenagakerjaan, dorong pelatihan vokasional, bahkan bantu bangun koperasi digital buat para pekerja lepas.
“Kalau bukan kita yang bersuara, lalu siapa? Kita punya privilege belajar di kampus. Tapi ilmu itu harusnya kita bawa turun ke jalan, ke masyarakat,” ucapku waktu forum diskusi kampus.
ADVERTISEMENT
Di kampus, kita punya ruang berpikir dan berdiskusi. Tapi jangan berhenti di teori. Kita bisa ajak BEM atau komunitas kampus buat bikin gerakan kecil: dari seminar tentang hak-hak buruh, sampai kolaborasi sosial untuk bantu keluarga buruh secara nyata.
Karena buruh bukan hanya mereka yang jauh di luar sana. Kadang, mereka ada di sekitar kita. Mungkin orang tua kita, paman kita, atau bahkan teman kita sendiri.
Teori vs Realita
Teori ekonomi bilang, pertumbuhan bakal menetes ke bawah. Tapi kenyataannya, yang paling atas makin kaya, yang di bawah ya begitu-begitu aja. Konsep trickle-down itu indah di buku teks, tapi pahit di lapangan.
Menurut studi SMERU Research Institute, dampak kebijakan upah minimum terhadap kesejahteraan buruh masih terbatas—karena ketimpangan struktur kerja dan lemahnya pengawasan. Jadi, walau ekonomi tumbuh, pemerataan hasilnya masih jauh dari ideal.
ADVERTISEMENT
Buruh yang nggak dihargai bakal cepat capek. Bukan cuma fisik, tapi mental. Mereka kehilangan semangat, dan ujung-ujungnya, ekonomi kita juga yang kena imbasnya. Di dunia manajemen SDM, ini dikenal dengan istilah “lost potential.” Dan potensi yang hilang itu, bisa jadi mimpi yang gagal.
Bukan Simpati, Tapi Pengakuan
Hari Buruh bukan soal slogan dan spanduk. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, memandang mereka yang selama ini menopang ekonomi dalam diam. Di balik nasi bungkus yang kita makan, baju yang kita pakai, sampai barang yang kita beli online—selalu ada tangan-tangan pekerja.
Mereka nggak minta dikasihani. Mereka cuma ingin satu hal: dihargai. Diakui sebagai manusia yang punya hak dan martabat.
“Aku nulis ini bukan karena aku buruh. Tapi karena aku percaya, kalau kita diam, ketidakadilan bakal terus dianggap biasa,” tulisku di akhir catatan harian 1 Mei.
ADVERTISEMENT
Yuk, kita mulai peduli. Nggak perlu tunggu jadi pejabat atau pengusaha. Cukup mulai dari hal kecil: mendengarkan, membela, dan bicara. Karena setiap suara berarti. Dan kadang, perubahan besar dimulai dari cerita sederhana.
Tentang Penulis:
Abdul Wahid Ade Putra adalah mahasiswa Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Jakarta. Aktif menulis opini sosial-ekonomi dan kerap terlibat dalam kegiatan advokasi kebijakan kampus. Ia percaya bahwa keadilan sosial dimulai dari kesadaran kolektif—dan suara anak muda bisa jadi pemicunya.