Konten dari Pengguna

Realita Penanganan Anemia Pada Remaja Putri di Indonesia

Abellia Auriel Ashilah
Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
9 Juni 2022 17:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abellia Auriel Ashilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Oleh : Abellia Auriel Ashilah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Oleh : Abellia Auriel Ashilah
ADVERTISEMENT
Anemia pada remaja masih menjadi suatu persoalan pelik yang berkepanjangan. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi anemia pada remaja yang mencapai angka 32% yang mengartikan bahwa 3-4 remaja dari 10 remaja mengalami anemia (Riskesdas, 2018). Angka anemia juga diperburuk akibat Pandemi Covid-19 karena memungkinkan adanya asupan zat gizi yang tidak terpenuhi akibat sulitnya ekonomi. Remaja putri dengan anemia memiliki risiko tinggi untuk melahirkan anak yang mengalami stunting di kemudian hari. Penanganan anemia pada remaja menjadi faktor penting dalam mewujudkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting dari 24,4% menjadi 14% pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Menurut UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin serta mendapatkan hidup yang baik dan sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hidup bebas dari anemia tentu saja menjadi keinginan kita semua. Tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan gizi masyarakat dituangkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan dengan prioritas pada kelompok rawan gizi, yaitu bayi, anak balita, remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui.
Upaya multisektoral harus dilakukan dalam menangani permasalahan anemia pada remaja. Pemenuhan kebutuhan zat besi pada remaja dilakukan melalui program pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) di institusi pendidikan dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang bertujuan untuk menekan angka anemia pada remaja. Pengadaan TTD dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan sektor kesehatan provinsi atau kabupaten dan kota menggunakan sumber dana yang tersedia (APBN dan sumber dana lainnya).
ADVERTISEMENT
Studi yang dilakukan di Puskesmas Pasar Rebo dan SMP X di Jakarta Timur pada tahun 2020 menunjukkan bahwa puskesmas sebagai BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) mengelola sendiri keuangannya tanpa intervensi dari Pemerintah Daerah dan melakukan perencanaan yang berjenjang dari kelurahan, kecamatan, dan dinas Kesehatan dengan waktu pencairan dana yang berubah-ubah. Pengadaan TTD berkoordinasi dengan apotek dan menyesuaikan dengan jumlah remaja putri di sekolah masing-masing.
Menurut pedoman penanggulangan anemia pada remaja putri, Distribusi TTD kepada remaja putri usia 12-18 tahun di sekolah dilakukan sekali seminggu berdasarkan hari minum TTD bersama. Dalam pengimplementasiannya, pendistribusian TTD oleh Puskesmas dilakukan sekaligus untuk pemberian 2-3 bulan yang diserahkan sepenuhnya kepada guru UKS. Guru UKS tidak terlalu paham terkait penjadwalan pemberian obat TTD dan menunggu instruksi pihak ahli gizi untuk memberikan TTD kepada remaja putri. Minum TTD bersama hanya dilakukan sekali dan selanjutnya dibawa pulang ke rumah. Pada bulan-bulan menuju akhir semester, distribusi TTD dilakukan satu kali dengan pemberian dosis konsumsi satu bulan. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian waktu pemberian TTD kepada remaja putri dan remaja putri berpotensi lupa sehingga tidak mengkonsumsi TTD. Pemantauan kepatuhan minum TTD hanya dilakukan melalui grup whatsapp dan kartu suplementasi gizi maupun buku rapor kesehatanku. Pemantauan melalui grup chat ini memungkinkan adanya remaja putri yang tidak mengonsumsi TTD dan tidak terlaporkan. Pemberian kartu suplementasi gizi juga belum dibagikan secara merata dan terdapat beberapa remaja putri yang belum menerima kartu monitoring/suplementasi gizi tersebut. Kepatuhan konsumsi TTD di SMP X masih sangat rendah. Didapatkan bahwa 29% (9 orang remaja putri) dari 31 remaja putri di SMP Negeri X mengalami anemia atau hampir mengalami anemia. Dalam 1 bulan terakhir, persentase remaja putri yang mengonsumsi 4 tablet TTD sebesar 3,2%, 3 tablet sebesar 3,2%, 2 tablet 6,5%, 1 tablet 32,3%, sedangkan sisanya sebesar 54,8% tidak mengonsumsi TTD.
ADVERTISEMENT
Dari pelaksanaan program pemberian TTD Remaja Putri di Puskesmas Pasar Rebo dan SMP X di Jakarta Timur menunjukkan bahwa penanggulangan anemia pada remaja putri masih jauh dari kata efektif. Dibutuhkan sosialisasi akan pentingnya konsumsi TTD kepada remaja dengan menggunakan media KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang menarik bagi remaja putri. Pembuatan slogan, pamflet, dan banner dapat memberikan pengetahuan dan merangsang perubahan perilaku pada remaja putri. Puskesmas dan sekolah dapat bekerja sama untuk membuat program duta sehat sekolah yang melakukan edukasi sesama remaja putri dalam program konseling sebaya. Selain itu, perlu dilakukannya pencerdasan kepada guru UKS dan guru-guru dalam pendistribusian obat TTD, orang tua/wali murid lainnya dalam memantau konsumsi TTD yang dibawa pulang ke rumah. Petugas puskesmas harus dapat berperan aktif dalam proses pemantauan dan evaluasi agar pengadaan program pemberian TTD pada remaja putri berjalan sesuai dan tepat sasaran.
ADVERTISEMENT