Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tak Jelas Arah Pendidikan, Mau Sampai Kapan?
5 Desember 2024 19:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Frandyno Abimanyu Putra Lolina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan merupakan aspek penting dalam membentuk sebuah bangsa yang cerdas dan memiliki suatu peradaban. Pendidikan tidak sesempit menyampaikan ilmu pengetahuan serta wawasan, namun juga sebagai alat untuk membebaskan suatu umat dari kebodohan. Belenggu kebodohan yang semakin hari semakin kompleks menjadikan pendidikan adalah suatu hal krusial yang harus dimiliki oleh setiap negara. Setiap negara memiliki tugas untuk menyediakan pendidikan yang layak untuk rakyatnya mengingat bagaimana pentingnya pendidikan dalam menciptakan batasan batasan pada masyarakat guna membedakan mana yang baik dan yang buruk serta meyongsong ke arah peradaban yang lebih maju.
ADVERTISEMENT
.Setiap negara pastinya memiliki visi besar tentang mewujudkan kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya menjadikan suatu pendidikan sebagai fondasi awal dalam membentuk masyarakat yang beradap. Dalam konteks ini maka setiap negara pastinya mempunyai konsep pendidikannya masing masing. Sama halnya di negara kita indonesia, pendidikan yang ada sekarang ini telah melalui perjalanan panjang. Dari mulai zaman penjajahan hingga masuk ke era digital seperti sekarang ini. Dulu, pendidikan memang hanya bisa diakses oleh kaum elite (belanda) hingga pada masa ki hadjar dewantara pendidikan akhirnya bisa dirasakan oleh pribumi. Setelah itu pada masa reformasi pendidikan digunakan sebagai alat untuk pembangunan nasional sampai pada tahun 1998 fokusnya mulai beralih ke pemberdayaan siswa dan kurikulum yang inklusif. Namun dalam perjalanan nya, pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, seperti kesenjangan antar daerah, kualitas guru, dan fasilitas belajar yang kurang merata, serta masih banyak lagi tantangan yang muncul dalam perkembangannya. Sampai pada akhirnya, kita menyaksikan pendidikan di negara ini sudah pada tahap tidak memiliki arah yang jelas. Ketidakjelasan arah pendidikan ini sebenarnya dapat dilihat dari kacamata tujuan pendidikan itu sendiri dimana konsep atau yang biasa kita sebut dengan kurikulum pendidikan yang ada di indonesia sekarang ini apakah benar benar untuk mencerdaskan bangsa, atau untuk menciptakan banyak kelas pekerja, atau mungkin hanya sebagai ladang cuan bagi para pejabat negara. Hal ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan besar: Mau sampai kapan kondisi ini dibiarkan? Sebab ketidakpastian sistem pendidikan tidak hanya berdampak pada kualitas pendidikan, tetapi juga pada masa depan bangsa.
ADVERTISEMENT
Ketidakjelasan arah pendidikan yang ada di Indonesia dapat dilihat dari beberapa aspek. Salah satunya perubahan kurikulum yang sering terjadi tanpa evaluasi yang mendalam. Kita telah melihat beberapa kali perubahan kurikulum. Dari mulai Rentjana Pelajaran 1947 (Kurikulum 1947) yang dibuat tepat setelah dua tahun peristiwa proklamasi kemerdekaan sampai Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan oleh Kemendikbudristek pada bulan Februari 2022 sebagai langkah untuk mengatasi krisis pembelajaran (learning crisis) yang cukup lama. Perubahan itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, perubahan ini sering kali dilakukan secara terburu-buru dan tanpa persiapan yang matang. Akibatnya, beberapa perubahan mengakibatkan guru maupun siswa merasa kebingungan dan kesulitan untuk menyesuaikan diri, ditambah lagi pengalaman personal para guru terkait kemerdekaan belajar masih minim. Kedua, kurangnya standarisasi dalam sistem pendidikan. Setiap daerah memiliki kebijakan pendidikan yang berbeda-beda, sehingga kualitas pendidikan di setiap daerah pun bervariasi. Hal ini menciptakan kesenjangan yang signifikan antara daerah satu dengan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain perubahan kurikulum yang sering terjadi, ketidakjelasan arah pendidikan dapat kita lihat dengan melihat banyaknya lulusan perguruan tinggi dengan gelar S1,S2 namun belum mendapat pekerjaan atau pengangguran. Tahun lalu, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI, Ida Fauziyah, mengatakan sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. “Kita masih punya PR (Pekerjaan Rumah) bahwa jumlah pengangguran lulusan sarjana dan diploma masih di angka 12 persen karena tidak adanya link and match,” kata Ida kepada wartawan usai menghadiri upacara wisuda anaknya, Syibly Adam Firmanda, yang lulus sarjana psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rabu (22/2), di Grha Sabha Pramana UGM. Sedangkan data lain menunjukan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2023 dari kalangan lulusan perguruan tinggi (diploma IV, S1, S2, S3) menempati urutan ketiga sebesar 5,18%. - berdasar data BPS. Data data tersebut menjadi bukti bahwasannya sebagian banyak dari jumlah pengangguran yang ada di indonesia adalah seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi. Beberapa pendapat menyataakan bahwa salah satu faktor yang membuat hal tersebut adalah adalah ketidaksesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri yang dinamis. Sehingga banyak lulusan tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Akibatnya, lulusan sarjana mengalami kesulitan bersaing di dunia kerja yang menuntut keterampilan praktis.
ADVERTISEMENT
Hal terakhir yang menjadi salah satu aspek mengapa bisa dikatakan bahwa pendidikan yang ada di Indonesia tidak jelas arahnya adalah ketika melihat fenomena komersialisasi pendidikan. Hal yang begitu miris di dengar namun faktanya telah terjadi di negara kita. Pendidikan merupakan hak yang seharusnya mampu dijangkau semua kalangan masyarakat. Namun faktanya, pendidikan menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh sebagian kalangan yang mampu saja. Singkatnya, komersialisasi pendidikan adalah fenomena di mana pendidikan yang seharusnya menjadi hak serta layanan masyarakat, justru dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Tidak perlu dipertanyakan lagi tentang banyaknya bentuk komersialisasi pendidikan yang ada di indonesia. Contohnya adalah tak sedikit sekolah swasta berbayar dengan biaya yang sangat tinggi dan iming-iming kualitas pendidikan lebih baik, besarnya biaya uang kuliah tunggal dibeberapa universitas yang menyebabkan kasus mahasiswa berhenti kuliah. Tak hanya itu, masih banyak bentuk-bentuk komersialisasi pendidikan lainnya yang ada di lapangan.
ADVERTISEMENT
Mutu pendidikan yang menurun adalah resiko terbesar yang dihadapi akibat dari komersialisasi pendidikan. Ketika lembaga pendidikan lebih mengutamakan keuntungan daripada kualitas pengajaran, seperti pengurangan fasilitas, penurunan kualitas pengajaran, dan hal-hal lain seperti korupsi dana lembaga pendidikan yang juga banyak terjadi di Indonesia.
Menyoroti ketiga aspek yang menjelaskan bagaimana pendidikan yang ada di indonesia memang tak jelas arahnya kemana merupakan langkah penting untuk memahami tantangan dan risiko yang dihadapi oleh sistem pendidikan Indonesia saat ini. Tentunnya setiap perbaikan harusnya dilakukan oleh para pemangku kebijakan dengan tidak meninggalkan berbagai pertimbangan agar tak menjadi langkah yang salah. Apalagi berbicara tentang bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan tetap selaras dengan tujuan dari pendidikan, maka pemerintah perlu bergerak melalui upaya kolaboratif dan kesadaran semua pihak demi mencapai sistem pendidikan yang bermutu, dan berorientaasi pada pembangunan sumber daya manusia secara menyeluruh. Jika Rocky Gerung bilang “Dalam statistik di Asia, IQ Indonesia tinggal 70, sedikit di atas monyet atau simpanse,” perkataan tersebut akhirnya menjadi konteks yang membawa kita pada kenyataan bahwasanya kualitas pendidikan di Indonesia masihlah di tingkat rendah dan tak pasti arahnya kemana.
ADVERTISEMENT