Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Eksil: Mengoreksi Sejarah yang Tertutup Warisan Trauma
22 Juni 2024 9:29 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Abira Massi Armond tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fakta miris di film Eksil berhasil menggugah hati saya ketika mengetahui kisah-kisah para generasi cemerlang Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang cita-citanya untuk membangun negeri harus terkubur setelah Peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.
ADVERTISEMENT
Film yang digarap oleh Lola Amaria ini menceritakan dampak dari kondisi politik Indonesia yang tidak stabil pada 1965, sehingga menyebabkan mahasiswa yang berkuliah di luar negeri diwajibkan untuk tunduk terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Namun, kesetiaan yang dimiliki oleh mahasiswa kepada Presiden Soekarno, yang memberi jalan mereka untuk berkuliah di luar negeri, membuat mereka harus menghadapi kenyataan pahit sehingga harus menjadi terasing dari negeri sendiri.
Peristiwa G30S yang menurut fakta sejarah didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), berhasil menciptakan trauma mendalam yang diwariskan hingga ke generasi muda seperti saya. Trauma itu diwariskan dalam bentuk film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai tontonan wajib siswa yang harus ditonton setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Film tersebut dianggap menjadi alat propaganda politik Presiden Soeharto agar paham komunisme, yang pernah menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia, musnah di negeri ini.
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menuai kontroversi lantaran sejarah pada 30 September 1965 belum terkuak sepenuhnya, tidak semua peristiwa dalam film tersebut merupakan peristiwa yang sebenarnya.
Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film ini pun mengakui bahwa beberapa adegan di film ini dilebih-lebihkan dan didramatisasi. Adegan yang didramatisasi tersebut memiliki tujuan untuk menjelaskan bahwa PKI dan komunisme merupakan ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.
Misalnya, PKI dianggap partai anti-Tuhan yang akan mengganti Pancasila. Sarmadji, salah satu eksil yang menjadi narasumber di film Eksil, mengungkapkan, “Dibilang tidak bertuhan. Saya benar bingung. Waktu itu, kami melihat tujuannya itu memang untuk menyejahterakan masyarakat. Kok, tidak bertuhan. Siapa yang tidak bertuhan, ya, mereka sendiri. Membunuh orang, bahkan sekarang ada Menteri Agama nyatut orang mau naik haji. Bertuhan itu harusnya enggak korupsi.”
ADVERTISEMENT
Faktanya, PKI bukan partai anti-Tuhan seperti yang digambarkan rezim Orde Baru melalui film propaganda tersebut. Oleh karena itu, dosen saya pernah menyebut film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai “film anekdotal” buatan pemerintah.
Film Eksil berhasil memberikan perspektif berbeda dalam memahami PKI dan mencoba menjadi anti-tesis dari film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Pembawaan narasi bahwa PKI tidak seburuk yang digaungkan oleh pemerintah membuka kacamata baru untuk generasi muda seperti saya dalam memahami, memaknai, dan mengoreksi sejarah terkait PKI.
PKI hanya sebuah partai politik yang pernah meraih banyak suara ketika Pemilu 1955. PKI didukung oleh rakyat kecil seperti buruh dan petani yang berharap akan kesejahteraannya. Oleh karena itu, pembantaian yang dilakukan untuk “membasmi” para komunis tidak bisa dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Lola pun dalam film tersebut mengatakan, “Apa yang salah, mungkin bukan organisasi atau partainya, mungkin hanya segelintir orang di dalamnya yang menyalahgunakan apa yang seharusnya dilakukan.”
Konstruksi Pengetahuan Melalui Kekuasaan
Michel Foucault, seorang filsuf Prancis yang pemikirannya sering kali digunakan dalam konteks post-strukturalisme, mengajukan suatu konsep yang dikenal dengan sebutan wacana (discourse). Konsep tersebut digunakan untuk menganalisis hubungan kekuasaan yang terlibat dalam proses produksi pengetahuan, yang ia sebut dengan episteme.
Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil dari pertarungan kekuasaan yang memengaruhi konstruksi subjektivitas individu dan struktur sosial.
Foucault (2002) menekankan bahwa pengetahuan bukanlah entitas yang netral atau objektif, pengetahuan digunakan dalam kekuasaan untuk mengatur perilaku, menghasilkan norma-norma sosial, dan memperkuat hierarki kekuasaan yang ada. Metodologi dalam melakukan analisis tersebut dilakukannya dengan menelusuri sejarah pengetahuan dan kekuasaan menggunakan analisis arkeologi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul The Archaeology of Knowledge.
ADVERTISEMENT
Goldstein (2005) menuliskan bagaimana Foucault memberikan contoh sejarah konstruksi sosial yang memengaruhi pengetahuan wacana medis atau yang dianggap “resmi”. Hal ini disoroti oleh Foucault lantaran entitas “resmi” tersebut dapat menentukan apa yang diterima sebagai normal versus dengan yang dianggap sebagai penyimpangan di beberapa negara.
Dalam konteks yang terjadi pada film Eksil, kita dapat melihat bagaimana wacana mengenai komunisme menjadi suatu ketakutan tersendiri bagi rakyat Indonesia. Komunisme telah berhasil dikonstruksi secara sosial oleh pemerintah sehingga memberikan “warisan” trauma kepada generasi muda melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
Pada dasarnya, komunisme hanya sebuah ideologi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip egalitarianisme, ketika sumber daya dan kekayaan didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat. Namun, pemerintah berhasil mendemonisasikan PKI yang menggunakan ideologi komunisme, sebagai sesuatu yang jahat, mengerikan, dan tidak manusiawi, singkatnya penyimpangan bahkan pengkhianatan pada Pancasila.
ADVERTISEMENT
Ketakutan akan komunisme yang diwariskan kepada masyarakat pun juga termanifestasikan dalam TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang. Aturan tersebut juga bermaksud untuk melarang kegiatan untuk menyebarkan paham atau ajaran komunis di Indonesia.
Meskipun aturan itu dicabut pada masa kepemimpinan Gus Dur, tetap saja komunis menjadi sesuatu hal yang tabu, sensitif, dan menimbulkan ketakutan hingga saat ini. Pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah tetap melarang PKI serta penyebaran ideologi komunis di Indonesia. Ironisnya, dalam hal kebijakan politik luar negeri, Indonesia tetap menjalin hubungan baik dengan negara komunis tanpa ketakutan dan kecemasan.
Ideologi Pancasila sebagai Struktur Simbolis
Memahami Pancasila dan klaim negara tentang siapa yang mengkhianati dan versi yang dianggap benar maka kita perlu teori kritik ideologi. Slavoj Žižek melalui bukunya yang berjudul The Sublime Object of Ideology (2019) mengkritik ideologi dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis Lacanian dan filsafat Hegelian untuk menjelaskan bagaimana ideologi bekerja pada tingkat yang mendalam dan tidak selalu disadari.
ADVERTISEMENT
Ia memandang ideologi bukan hanya sebagai sekumpulan gagasan atau doktrin politik, tetapi sebagai struktur simbolis yang membentuk cara kita memahami dan berhubungan dengan realitas. Ideologi beroperasi melalui bahasa, ritual, dan praktik sehari-hari yang tampak alami dan biasa saja.
Dalam konteks yang terjadi di Indonesia, film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, dalam penerapannya selalu mengagungkan Pancasila sebagai alat ideologis untuk mengkonstruksi pemahaman tentang peristiwa G30S/PKI. Hal ini sejalan dengan pandangan Žižek bahwa ideologi bekerja melalui representasi yang tampak objektif tetapi sesungguhnya sarat dengan makna ideologis (multitafsir ideologis).
Ia juga menganggap bahwa ideologi bekerja dengan membentuk fantasi yang membantu individu mengatasi kontradiksi dan kesenjangan dalam realitas sosial mereka. Fantasi ideologis ini memberikan narasi yang koheren dan menutupi aspek-aspek realitas yang mengganggu, sehingga memungkinkan orang untuk mempertahankan keyakinan mereka dalam tatanan sosial yang ada meskipun ada bukti yang bertentangan.
ADVERTISEMENT
Film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI bisa dilihat sebagai fantasi ideologis yang menawarkan narasi yang jelas dan kohesif tentang "bahaya komunis," untuk membantu menutupi kompleksitas dan kontradiksi sejarah yang sebenarnya. Narasi ini memungkinkan masyarakat untuk merasa memiliki pemahaman yang pasti tentang musuh ideologis, meskipun kenyataannya penuh ambiguitas dan telah dikonstruksi, sejalan dengan pandangan Foucault.
Žižek memandang bahwa ideologi sering kali berfungsi untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Apabila berkaca pada hal yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru, Soeharto menggunakan film tersebut sebagai alat propaganda untuk mendemonisasi PKI dan komunisme.
Demonisasi tersebut mampu menciptakan trauma kolektif yang merupakan hasil dari manipulasi ideologi, sejalan yang dijelaskan oleh Žižek. Trauma yang diturunkan melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI menjadi bagian dari narasi ideologis yang meneguhkan posisi pemerintah dan mengarahkan generasi muda untuk menerima versi sejarah yang disederhanakan dan dipolitisasi.
ADVERTISEMENT
Film Eksil berusaha membongkar fantasi ini dengan menawarkan perspektif yang berbeda, yang bisa dianggap sebagai upaya untuk mengatasi trauma kolektif dan membuka ruang bagi pemahaman sejarah yang lebih kritis dan komprehensif.
Hal ini selaras dengan pandangan Žižek bahwa menghadapi ideologi berarti juga berurusan dengan fantasi yang menopangnya, dan hanya dengan mengakui serta memahami fantasi ini, kita bisa mulai mengatasi kekuatan ideologis yang mengatur kehidupan kita.
Generasi Muda dan Pemahaman Sejarah
Foucault mengatakan bahwa wacana telah merusak ideal-ideal humanis tentang norma-norma rasional dan kebenaran universal. Kekuasaan mampu mengatur pengetahuan, norma, institusi, dan bahkan masyarakat. Adapun Žižek yang memandang bahwa ideologi sering kali berfungsi untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi yang dianggap lebih kritis, generasi muda mempunyai tantangan tersendiri dalam memahami sejarah. Generasi muda perlu berperan aktif dalam menggali dan mencari tahu fakta sejarah yang sebenarnya.
Mereka perlu kritis terhadap narasi yang disampaikan, serta melakukan verifikasi dari berbagai sudut pandang untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Upaya ini tidak hanya untuk memperkaya pengetahuan pribadi, tetapi juga untuk memastikan bahwa sejarah yang kita wariskan kepada generasi berikutnya adalah sejarah yang lebih dekat dengan kebenaran.
Meningkatkan pemahaman sejarah dapat dilakukan dengan berbagai banyak hal, contohnya mengunjungi arsip nasional, membaca buku-buku sejarah dari berbagai sudut pandang, dan mendiskusikannya dengan para ahli sejarah. Hal ini untuk memahami sejarah secara lebih utuh dan komprehensif.
ADVERTISEMENT
Adapun cara lain yang dapat generasi muda lakukan untuk memahami sejarah dengan menonton film dokumenter seperti Eksil. Informasi yang diterima dari berbagai sumber akan memberikan kita perspektif baru dalam memahami dan memperkaya pengetahuan sejarah. Menurut saya, Eksil adalah suatu langkah bagus dari Lola Amaria untuk meluruskan dan mengoreksi sejarah yang tertutup warisan trauma.