Konten dari Pengguna

Konflik Palestina-Israel: dari Orientalisme Menuju Kolonialisme

Abira Massi Armond
Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia
1 April 2024 13:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abira Massi Armond tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asap mengepul selama operasi darat Israel di Khan Younis, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, seperti yang terlihat dari tenda kamp yang melindungi pengungsi Palestina di Rafah, di selatan Jalur Gaza, 25 Januari 2024. Foto: Bassam Masoud/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Asap mengepul selama operasi darat Israel di Khan Younis, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, seperti yang terlihat dari tenda kamp yang melindungi pengungsi Palestina di Rafah, di selatan Jalur Gaza, 25 Januari 2024. Foto: Bassam Masoud/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak pecahnya perang antara Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu, yang bertepatan dengan 50 tahun serangan Mesir dan Suriah ke Israel, dunia tengah menyaksikan kejahatan perang dan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan pun menyertai saat menerima kenyataan bahwa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) gagal untuk menghasilkan resolusi gencatan senjata di Jalur Gaza, Palestina. Hal tersebut disebabkan karena Amerika Serikat (AS), sebagai anggota tetap DK PBB, memveto resolusi yang mengusulkan gencatan senjata segera di Gaza, untuk yang ketiga kalinya.
Yerusalem. Foto: Pexels.
Hamas, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Islamic Resistance Movement atau diartikan sebagai Gerakan Perlawanan Islam, merupakan organisasi politik-militer yang memiliki visi-misi untuk membebaskan Palestina dari genggaman Israel. Kekuasaan Hamas terletak di daerah Gaza, yang saat ini tengah diblokade Israel, sehingga menyebabkan pasokan makanan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya ke wilayah tersebut dihentikan.
Pada dasarnya, konflik antara Palestina dan Israel bukan disebabkan karena serangan Hamas saat meluncurkan ribuan roket ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 lalu, melainkan konflik ini sudah terjadi dalam beberapa dekade silam.
ADVERTISEMENT

Konflik Paling Kompleks dalam Sejarah Dunia Modern

Konflik antara Palestina-Israel merupakan salah satu konflik terpanjang dalam sejarah dunia modern. Konflik ini bermula ketika Inggris, yang berhasil menjatuhkan Kesultanan Ottoman–penguasa wilayah Timur Tengah dalam Perang Dunia Pertama, menguasai wilayah bernama Palestina yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ottoman.
Wilayah tersebut pada mulanya dihuni oleh etnis mayoritas Arab dan minoritas Yahudi, namun, Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 1917 memicu ketegangan antara dua etnis tersebut. Pasalnya, deklarasi yang berisi kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Inggris saat itu Arthur Balfour, dengan komunitas Yahudi di Inggris, membuat Inggris harus mendirikan “rumah nasional” bagi orang Yahudi di Palestina.
Aksi bela Palestina oleh masyarakat Indonesia pada Minggu, 5 November 2023. Foto oleh TIMO dari Pexels.
Deklarasi tersebut ditetapkan dalam mandat Inggris atas Palestina yang didukung oleh Liga Bangsa-Bangsa yang baru dibentuk pada 1922 (yang menjadi cikal bakal PBB). Pada masa kependudukan Inggris inilah, imigrasi Yahudi di Palestina meningkat. Bagi kaum Yahudi, Palestina adalah tempat asal nenek moyang mereka, tetapi komunitas Arab di Palestina juga mengklaim wilayah tersebut dan menentang klaim satu pihak dari komunitas Yahudi di sana.
ADVERTISEMENT
Ketegangan semakin memanas ketika PBB membagi Palestina menjadi dua negara. Satu untuk Yahudi, satu untuk Arab. Titik puncak konflik muncul ketika pemimpin Komite Nasional Yahudi di Palestina, mendeklarasikan berdirinya negara Israel pada tahun 1948.
Satu hari setelah memproklamasikan kemerdekaan, Israel diserbu lima negara Arab, di antaranya Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon untuk mendukung hak-hak etnis Arab dan mencegah pendirian Israel di tanah Palestina.
Meskipun diserang oleh lima negara, Israel mampu memenangkan peperangan ini dan berhasil merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah daerah mandat Inggris atas Palestina. Perang ini menyebabkan banyak kaum Palestina mengungsi dari daerah Israel. Di sela-sela perang antara Arab-Israel yang tengah memanas, terdapat pembantaian dan pembersihan etnis Palestina oleh bangsa Yahudi yang dikenal dengan Peristiwa Nakba.
ADVERTISEMENT

Peristiwa Nakba dan Wacana Orientalisme

Nakba, yang berarti “bencana” atau “malapetaka”, diartikan sebagai pengusiran penduduk Palestina oleh Yahudi yang terjadi pada 15 Mei 1948. Peristiwa ini membuat tanah masyarakat Palestina harus dirampas paksa hingga kehilangan tanah air mereka sendiri.
Sepanjang tahun 1947-1949, pasukan Zionis (nasionalis Yahudi) melakukan invasi besar-besaran ke Palestina dengan menghancurkan sekitar 530 desa yang menelan 15.000 korban jiwa. Pada tahun 1948, mereka melakukan pembantaian yang paling terkenal dalam perang Arab-Israel yang terjadi di Desa Deir Yassin, Yerusalem, dengan membunuh 110 pria, wanita, hingga anak-anak secara keji.
Foto: Hurrah dari Pexels.
Kekejaman pasukan Zionis memuncak ketika Israel memenangkan perang melawan lima negara Arab, yang mengakibatkan 750.000 warga Palestina harus diusir dari tempat tinggalnya sendiri. Meskipun Israel dan Arab sempat menyepakati gencatan senjata pada tahun 1949, pasukan Zionis tetap terus melakukan penyerangan terhadap warga Palestina hingga memicu konflik berskala besar, yang terjadi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Proses pengusiran tersebut membuat Edward Said, seorang intelektual yang mendirikan studi pasca-kolonialisme harus mengungsi ke Kairo bersama keluarganya. Edward Said dikenal karena konsep yang digagas dalam bukunya yang berjudul Orientalism pada 1978.
Dalam bukunya tersebut, Said (1978) menjelaskan bagaimana Timur telah direpresentasikan, dipahami, dan dipersepsikan oleh Barat melalui karya seni, sastra, media, dan pengetahuan akademis. Menurutnya, orientalisme adalah suatu kerangka pemikiran kolonial yang dipakai oleh Barat untuk mendominasi, menguasai, dan merendahkan dunia Timur.
Masyarakat Timur dianggap tidak rasional, tidak bermoral, kekanak-kanakan, dan “berbeda”; sebaliknya, masyarakat Eropa (Barat) dipersepsikan lebih rasional, berbudi luhur, dewasa, dan “normal”. Pengetahuan tentang Timur dalam istilah sarjana kolonial Inggris seperti Arthur Balfour, menganggap masyarakat Timur merupakan bangsa yang layak untuk didominasi, dikuasai, dan didisiplinkan.
ADVERTISEMENT

Kolonialisme Zionis yang Didukung Inggris

Asumsi yang serba negatif mengenai Timur dalam konsep orientalisme memiliki kaitan erat dengan kolonialisme. Menurut Said, orientalisme sering kali digunakan untuk membenarkan atau memperkuat praktik kolonialisme, karena pada dasarnya pandangan ini lahir dan muncul untuk menjajah.
Dalam konteks yang terjadi antara konflik Palestina-Israel, konsep orientalisme-lah yang membuat Inggris, melalui Deklarasi Balfour, menjadikan kaum Yahudi sebagai bangsa yang mencaplok wilayah Palestina–untuk mendirikan Israel.
Setelah Deklarasi Balfour berlaku, Inggris mulai memfasilitasi perpindahan orang Yahudi Eropa ke Palestina secara besar-besaran. Populasi Yahudi yang meningkat menuntun pada terciptanya konflik yang tak kurun selesai hingga saat ini. Inggris dan komunitas Yahudi merasa punya legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat Palestina.
ADVERTISEMENT
Pengambilan wilayah secara paksa, persekusi, dan diskriminasi terhadap masyarakat setempat menjadi dampak konkret dari Deklarasi Balfour. Dengan demikian, menurut saya hal ini merupakan praktik kolonialisme Zionis yang didukung oleh Inggris, selaras dengan yang dimaksud oleh Edward Said dalam Orientalism-nya.