Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Inflasi Angka di Pendidikan Indonesia
29 Desember 2024 14:48 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abraham Alexs Tanu Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernakah anda mendapati teman satu sekolah anda mendapatkan nilai 80 pada ulangan harian, 75 pada ujian semester, namun entah bagaimana, nilai akhir yang tercatat di rapornya tiba-tiba menjadi 94?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukanlah suatu hal yang jarang terjadi di lingkungan pendidikan kita. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering menyaksikan ketidakjelasan sistem penilaian yang ada di sekolah-sekolah, yang mengarah pada ketidakadilan dan ketidaksesuaian antara usaha dengan hasil nilai yang diraih. Hal ini saya sebut sebagai "Inflasi Angka" dalam pendidikan yang pada dasarnya menggambarkan fenomena peningkatan nilai secara tidak rasional atau tidak proporsional dengan nilai sebenarnya.
Angka yang Menipu
Inflasi angka ini ibarat penyakit menular yang kini telah menjadi pandemi. Ia menginfeksi seluruh peran dalam dunia pendidikan Indonesia, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Secara garis besar, kejadian inflasi angka di sistem pendidikan Indonesia mengarah pada penilaian yang tidak mencerminkan kemampuan dari seorang siswa. Nilai rapor atau indeks prestasi kumulatif (IPK) seharusnya menjadi cerminan dari kemampuan akademik siswa. Namun, kenyataannya sering kali kita jumpai perbedaan yang signifikan antara nilai yang diperoleh di ulangan harian dan ujian semester dengan nilai yang ada di rapor. Misalnya, seorang siswa yang mendapatkan nilai 70 di ulangan harian, 80 saat ujian semester, namun secara tiba-tiba nilai akhir di rapornya menjadi 94.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya fenomena ini sudah sangat jelas menggambarkan bagaimana nilai akhir tidak lagi mencerminkan hasil atau pencapaian yang nyata. Seharusnya, penilaian berupa angka itu harus merepresentasikan usaha siswa selama proses belajar dan mengajar di sekolah. Namun, dengan inflasi angka ini, seolah-olah kita sendiri sedang menyaksikan manipulasi yang merugikan kualitas pendidikan Indonesia. Nilai-nilai saat ini sudah menjadi tidak bermakna karena sistem penilaiannya sudah terganggu oleh kepentingan institusi dan bukan lagi tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Ketidakjujuran ini bukan hanya di sekolah dasar dan menengah, fenomena yang serupa juga terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Pada masa lalu, gelar cumlaude atau IPK tinggi adalah sesuatu yang sangat dihargai dan hanya bisa diraih oleh mereka yang benar-benar berprestasi. Namun saat ini, gelar cumlaude sudah seperti barang yang di obral di pasar pendidikan, cumlaude menjadi standar umum bagi semua lulusan, meskipun pada kenyataannya tidak semuanya menunjukkan kinerja yang sesuai dengan label tersebut. Fenomena ini semakin menciderai tujuan sebenarnya dari akademik dan menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Penyakit Pendidikan
Inflasi angka ini tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan hasil dari sistem pendidikan yang memberikan tekanan besar kepada institusi untuk mempertahankan atau menaikkan status akreditasi mereka. Hal ini dapat dilihat dari cara sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan akreditasi dari universitas memandang nilai sebagai komponen utama untuk menentukan kualitas sebuah sekolah atau perguruan tinggi. Sistem yang terlalu menekankan angka-angka ini memaksa banyak sekolah dan perguruan tinggi berusaha untuk mempertahankan citra mereka, bahkan jika itu berarti melakukan tindakan "katrol" terhadap nilai-nilai akademik.
PPDB yang mengandalkan nilai rapor sebagai komponen utama membuat banyak sekolah berusaha menaikkan nilai siswa mereka demi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun secara teknis nilai tersebut bisa mencerminkan perkembangan siswa, tapi kenyataannya nilai yang tercatat sering kali hasil manipulasi untuk tujuan administratif. Demikian juga untuk akreditasi universitas, saat ini banyak universitas yang berlomba-lomba menggenjot jumlah lulusan dengan IPK tinggi atau gelar cumlaude untuk menaikkan status mereka di peringkat universitas.
ADVERTISEMENT
Praktik manipulasi nilai ini diperparah dengan tekanan yang datang dari pihak-pihak yang lebih berkuasa dalam sistem pendidikan, seperti birokrasi pendidikan atau pengambil keputusan di institusi. Banyak guru maupun dosen yang awalnya ingin berlaku jujur dalam menilai kemampuan siswa akhirnya terpaksa mengikuti arus karena adanya tekanan dari atas untuk memenuhi target tertentu. Fenomena ini merusak fitrah pendidikan kita yang seharusnya didasarkan pada keadilan, akurasi dan objektivitas.
Kehancuran Peran Asesmen
Dalam dunia pendidikan yang ideal, asesmen (penilaian) seharusnya memiliki tiga peran utama: assessments as learning (penilaian sebagai bagian dari proses belajar), assessment for learning (penilaian yang membantu perbaikan pembelajaran), dan assessment of learning (penilaian yang menggambarkan pencapaian akhir dari pembelajaran). Namun, ketika praktik katrol nilai dan inflasi angka semakin marak, dua peran pertama mulai hilang dari pendidikan.
Bagaimana mungkin asesmen dapat berfungsi memperbaiki proses belajar jika hasil penilaiannya sudah terdistorsi? Ketika angka-angka dalam rapor sudah banyak dipengaruhi oleh faktor luar daripada kemampuan siswa, maka penilaian tersebut sudah kehilangan perannya sebagai feedback bagi perkembangan belajar siswa. Sebuah sistem pendidikan yang sehat seharusnya dapat menciptakan umpan balik yang membantu siswa memperbaiki diri. Tapi yang terjadi malah sebaliknya: nilai akhir yang naik drastis tanpa alasan yang jelas justru membuat proses pembelajaran menjadi sia-sia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, fenomena ini juga menyebabkan siswa tidak mampu mengukur kemampuan dir mereka sendiri. Ketika hasil nilai akhir tidak mencerminkan kemampuan yang sebenarnya, siswa menjadi kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Mereka tidak lagi belajar untuk lebih memahami materi karena sudah tahu bahwa hasil nilai akhirnya pasti akan di "katrol". Hal ini menyebabkan siswa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak pernah memungkinkan mereka untuk benar-benar menguasai suatu materi.
Dalam banyak aspek, inflasi angka ini bukan sekedar merusak sistem pendidikan, tetapi juga mengaburkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan sejati harusnya tidak berkutat dengan angka atau prestasi yang dipamerkan, tetapi tentang proses pembelajaran yang berkelanjutan dan dapat diterapkan di kehidupan nyata. Tanpa adanya penilaian obyektif dan adil, pendidikan kita akan tetap menjadi ajang pamer angka, bukan tempat untuk membangun lulusan yang berkarakter dan kompeten.
ADVERTISEMENT