Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Terjajah oleh Gaya Hidup Konsumerisme
17 Januari 2025 19:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abraham Kindi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apabila membuka bentangan perjalanan sejarah, dapat ditemukan awal terjadinya konsumerisme. Pada abad ke-18, gagasan yang disebut 3G–Gold, Glory, Gospel–mendorong orang-orang Eropa untuk melakukan kolonialisasi di kawasan timur. Kolonialisme ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Eropa dan memperbaiki sistem pengupahan di wilayah tersebut (Baggott, 2022). Dampaknya, masyarakat Eropa memperoleh daya beli yang lebih tinggi, mendorong belanja dan berkembangnya berbagai bisnis. Fenomena ini dianggap sebagai cikal bakal konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Tidak salah bila konsumerisme disebut sebagai produk kolonial, jika didasarkan pada sejarah. Hingga abad ke-21, pengaruh produk kolonial ini masih sangat kuat. Bahkan, masyarakat di negara-negara yang pernah dijajah kini terpapar "virus" konsumerisme.
Mengapa bisa produk kolonial–konsumerisme, diadopsi menjadi gaya hidup di negara-negara yang dulunya dijajah? Antonio Gramsci menyebut hal tersebut sebagai hegemoni budaya. Meski secara fisik negara yang dulu dijajah telah merdeka, tetapi penjajahan pikiran masih berlangsung. Mereka menyosialisasikan agenda-agendanya melalui pendekatan budaya (Cole, 2024).
Yang Didapat dari Industri Fast Fashion
Tidak terelakan, bahwa konsumerisme terhadap fast fashion merupakan bagian dari kapitalisme. Kapitalisme yang mendominasi dunia, menghendaki dunia berjalan secara bergegas. Roda-roda terus berputar dan mesin-mesin harus terus menyala. Tren fesyen terus berganti dengan cepat. Siapa yang diuntungkan dari sistem seperti ini?
ADVERTISEMENT
Cognitive Market Research melaporkan bahwa mayoritas produsen dari industri fast fashion berada di kawasan Amerika Utara dan Eropa (Mali, 2024). Nilai pasar dari industri fast fashion global mencapai 106 miliar dolar pada tahun 2022 dan diproyeksikan akan mencapai 185 miliar dolar pada tahun 2027 (illuminem, 2024).
Tidak hanya itu, kegemilangan yang didapat industri fast fashion juga ditopang oleh buruh-buruh yang diperas dengan diberi upah rendah di negara berkembang. Mereka mendirikan perusahaan di negara berkembang, karena keuntungan dari rendahnya upah tenaga kerja, serta regulasi yang longgar.
Industri fast fashion mempekerjakan 75 juta pekerja pabrik di seluruh dunia (Fashion United, 2017), dari jumlah tersebut diperkirakan hanya kurang dari 2% pekerja yang mendapat upah layak (Ross, 2021). Dengan kata lain, sekitar 98% pekerja di industri ini berada dalam kemiskinan sistemik yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
ADVERTISEMENT
Industri ini juga memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Konsumsi air yang dibutuhkan mencapai 79 miliar kubik per tahun, setara dengan 32 juta kolam renang ukuran Olimpiade (Global Fashion Agenda, 2017). Levi Strauss, salah satu perusahaan pakaian, menyebutkan bahwa celana 501 akan menghasilkan karbon dioksida sebesar 33,4 kg selama masa pakainya, setara dengan mengendarai mobil konvensional sejauh 69 mil (Baggott, 2022).
Cengkraman Budaya
Konsumerisme bertransformasi dari sebuah produk kolonial menjadi gaya hidup global. Sudah tentu, industri ini tidak baik bagi umat manusia, karena yang diuntungkan hanyalah elit pemilik modal yang mampu memproduksi barang secara massal. Sementara kondisi sosial dan lingkungan hanya mendapatkan kerusakan sistemik.
Fenomena konsumerisme ini dapat dipotret dengan apa yang dikatakan Antonio Gramsci sebagai hegemoni budaya. Hegemoni budaya berperan dengan membentuk cara pandang dunia dari kelas penguasa, serta struktur sosial ekonomi yang mendukungnya. Seolah-olah itu adalah sesuatu yang adil, sah, dan bermanfaat bagi semua, padahal menguntungkan kelas penguasa saja.
ADVERTISEMENT
Fast fashion menciptakan aspirasi yang tidak realistis tentang penampilan dan status, membuat banyak orang merasa tidak cukup baik jika tidak mengikuti tren terbaru. Hal ini berakar pada hegemoni budaya, di mana kelas penguasa—dalam hal ini, perusahaan-perusahaan fesyen besar—membentuk norma dan standar yang dipatuhi oleh masyarakat luas. Industri fast fashion berhasil menanamkan pemahaman di otak kita bahwa memiliki pakaian yang selalu baru adalah simbol status dan identitas. Mereka menarasikan bahwa mereka tidak menjual pakaian, tetapi menjual gaya hidup yang dianggap aspiratif.
Salah satu cara untuk melawan budaya konsumerisme adalah menerapkan hidup sederhana. Hidup sederhana dapat disimbolkan sebagai ikhtiar untuk menjaga bumi, dan tidak ikut mengeksploitasi pekerja-pekerja buruh yang diperas oleh perusahaan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, selain dari “kesederhanaan” sebagai perlawanan, dibutuhkan juga perlawanan yang sistemik. Perusahaan fesyen besar sedang melangkah kepada konsumerisme hijau. Konsumerisme hijau merujuk pada pilihan konsumen yang mendukung produksi, promosi, dan penggunaan barang dan jasa yang diklaim ramah lingkungan (Akenji, 2014).
Label "hijau" yang dipakai oleh industri hanyalah siasat untuk menarik perhatian konsumen yang peduli lingkungan, tanpa komitmen serius terhadap lingkungan. Konsumerisme hijau membawa narasi bahwa tindakan pribadi sudah cukup untuk menyelamatkan bumi, karena kita memiliki kekuatan sebagai pembeli. Namun, di dunia kapitalisme, konsumen bukanlah raja. Sejatinya, pasar dikuasai oleh perusahaan besar yang terus mencari cara untuk meningkatkan keuntungan mereka (Magdoff & Foster, 2018).
Live Update
ASN Kemendiktisaintek membentangkan spanduk bertuliskan "Institusi Negara Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri", Senin (20/1). Sejumlah karangan bunga bertuliskan kata-kata satir juga ditujukkan kepada Menteri Satryo Soemantri.
Updated 20 Januari 2025, 14:35 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini