China Hari Ini adalah Gebrakan Revolusioner di Masa Lalu

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
17 Juni 2024 10:14 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung Tianmen, Beijing, RRC. (Foto: Gettyimages)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Tianmen, Beijing, RRC. (Foto: Gettyimages)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara soal RRC (Republik Rakyat Cina), sebuah negara berhaluan Sosialis-Komunis yang menguasai dataran Tionghoa di hari ini, tidak lengkap jika tidak memandang perkembangan sosial, politik, dan ekonominya. Pasalnya, jika kita melihat rezim-rezim Komunis yang menggunakan sistem ekonomi kolektif dan sentralistik, maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan berakhir na’as. Uni Soviet menjadi bukti nyata kegagalan Komunisme dalam suatu pemerintahan yang merusak pembangunan ekonomi dan berujung pada instabilitas sosial. Beberapa contoh lainnya adalah Jerman Timur, yang harus mengalami krisis ekonomi di pengujung akhir dekade 1980-an. Dan dalam kasus kontemporer, Kuba harus beralih pada investasi asing demi menyelamatkan ekonominya di masa Covid.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan RRC? Negara itu memang pernah mengalami masa-masa krisis seperti negara-negara Komunis lainnya, terutama di periode kepemimpinan Mao Zedong dengan segala kebijakan terpusatnya, seperti perampasan tanah para landlords, rencana 5 tahun, dan revolusi kebudayaan. Namun sebuah reformasi perlu diberlakukan demi membangun kembali ekonomi RRC. Deng Xiaoping, adalah sosok yang melatarbelakangi reformasi ekonomi Cina. Setelah menggantikan Mao sebagai Sekjen CCP (Chinese Communist Party), dan memimpin RRC, Deng membuat gebrakan baru demi memajukan ekonomi Cina yang terbelakang. Meski kebijakan reformisnya pernah mengalami stagnasi, Deng berhasil menjadikan Cina sebagai kekuatan ekonomi baru di dunia modern, bahkan menyaingi Amerika Serikat. Hasil reformasi Deng tercermin di pemerintahan Xi Jinping di hari ini, yang perlahan menempatkan Yuan sebagai mata uang yang banyak beredar di dunia.
Peringatan 100 tahun CCP, Menampilkan potret wajah Deng Xiaoping. (Foto: Gettyimages)
Kemajuan RRC bisa dilihat dari perspektif historis, dimana bangsa Tionghoa sejatinya memiliki konsep kapitalisme yang lebih kuat dari negara manapun di belahan dunia timur. Dinamika sosialnya dan politiknya juga merupakan imbas dari alur sejarah bangsa Tionghoa, dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Pelbagai karakteristik itu yang perlahan membangun wajah Cina di dunia modern, dan menjadi suatu eksklusifitas di Asia Timur bahkan Internasional.
ADVERTISEMENT
Tiga Karakteristik Utama Bangsa Cina dan Asia Timur
Ilustrasi Mandate of Heaven. (Foto: Gettyimages)
Memandang Cina dan Asia Timur hari ini, tidak akan bisa dilihat dengan dua mata jika belum menengok sejarah mentalitenya. Beralih ke awal peradaban di Cina, yakni Sungai Kuning (Huang He), masa dimana dinasti besar seperti Xia dan Shang belum berdiri. Huang He banyak menjadi dasar dalam membentuk perspektif dan karakteristik bangsa Cina dan Asia Timur hingga hari ini. Setidaknya ada tiga karakteristik yang membentuk wajah Asia Timur, yakni; Mandat, Yin-Yang, dan Cheng Kuo.
Mandat, adalah konsep kesetiaan seorang Tionghoa dalam menjalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin maupun seorang manusia. Seringkali kita mendengar Mandate of Heaven atau Mandat dari Surga tanpa mengenal maskud dan artinya. Seorang Tionghoa yakin bahwa kehidupannya di dunia merupakan perintah dari surga yang diletakkan dalam sebuah mandat. Hal-hal duniawi yang berkaitan dengan tanggungjawab, baik sebagai kepala negara maupun sebagai manusia biasa, merupakan mandat yang harus diselesaikan secara tanggungjawab dan total. Kegagalannya merupakan konklusi dari berakhirnya suatu mandat atau ketidakmampuannya dalam menjalani komitmen. Hal tersebut terlihat jelas dimana bangsa Tionghoa merupakan bangsa yang totalitas dalam aspek apapun. Bekerja di bidang kasar maupun usaha kecil-kecilan, seorang Tionghoa tidak akan meletakannya secara sia-sia, sebelum mandatnya usai.
Ilustrasi Yin-Yang. (Foto: Pexels)
Yin-Yang, adalah konsep baik dan buruk yang menyertai alam manusia dan bersifat determinan. Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing. Yin-Yang tidak merujuk pada bersifat baik secara total dan menghindari berperilaku buruk, melainkan ia mencari keseimbangan dalam hidup. Jika mandat berfokus pada kinerja seorang Tionghoa, Yin-Yang merupakan titik imbang dalam menentukan baik buruk. Seorang manusia tidak bisa menjadi orang baik 100%, ia memiliki porsi lainnya dalam berbuat buruk, begitupun sebaliknya. Kasus persaingan antara Kuomintang dan CCP di Cina Modern merupakan wujud dari Yin-Yang. Mungkin beberapa dari kita memandang salah satu pihak tersebut merupakan pihak yang “baik”. Namun sejatinya, mereka adalah Yin-Yang. Kuomintang tidak benar-benar demokratis karena pemerintahannya totaliter, sementara CCP tidak sepenuhnya bengis karena ia mampu mempersatukan rakyat Cina.
ADVERTISEMENT
Jika mandat berfokus pada kinerja kerja dan Yin-Yang sebagai titik imbang filosofis bagi manusia, maka Cheng Kuo merupakan ambisi sebagian besar negara Asia Timur. Cheng Kuo berarti pusat dunia. Bangsa Tionghoa memiliki ambisi dalam menempatkan Cina sebagai pusat dunia. Hal tersebut menjadi nyata di hari ini. Jika pembaca mengetik “Asian People” dalam kolom pencarian google, maka apa yang pembaca temukan? Ya, wajah Asia Timur. Sebagian besar simbolisme Asia diwakilkan oleh Asia Timur terutama Cina. Bangsa Tionghoa sendiri telah mendeklarasikan Cheng Kuo semenjak era kuno. Melalui perdagangan, penyebaran budaya, dan diplomasi. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi reformasi ekonomi Deng Xiaoping di RRC modern. Tujuannya, menempatkan RRC sebagai pusat ekonomi dunia.
Penyebaran Pengaruh
Potret pasar di Hong Kong. (Foto: Pexels)
“Internasionalisme” Cina telah dimulai semenjak Dinasti Han memerintah dataran Tionghoa. Kala itu, jalur sutera telah ditemukan dan menjadi rute perdagangan Bangsa Tionghoa Han ke dunia barat. Dalam beberapa narasi, rute perdagangan Cina Han bahkan telah mencapai Kekaisaran Romawi Kuno. Sedikit banyak, jalur sutera juga menjadi sarana dalam penyebaran pengaruh Tionghoa ke dunia barat termasuknya Eropa, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Penyebaran ini menginspirasi banyak kebudayaan dan pengaruh Tionghoa ke berbagai dunia, termasuknya migrasi penduduk. Kembali ke konsep Cheng Kuo, penyebaran pengaruh Tionghoa yang dimulai semenjak Dinasti Han merupakan perwujudan dan ambisi bangsa Tionghoa dalam menempatkan dinastinya sebagai pusat dunia di Asia Timur. Karenanya juga, banyak kebudayaan Korea dan Jepang sangat terpengaruh oleh gaya Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di Han, Internasionalisme Tionghoa terus berlanjut ke dinasti-dinasti setelahnya. Seperti di Dinasti Tang yang banyak menyebarkan pengaruh budaya Tionghoa dan standarisasi estetika, dan tentunya Dinasti Ming yang terkenal dengan ekspedisi Armada Cheng Ho. Sementara, dinasti terakhir cina yakni Qing, yang dikontrol oleh bangsa Manchu, lebih terkesan konservatif dan tertutup. Migrasi penduduk Tionghoa ke seluruh dunia memang masih bersifat aktif, bahkan sedikit banyak memantapkan budaya Manchu sebagai budaya Tionghoa. Namun, situasi perlahan berubah semenjak memasuki pertengahan abad 19, dimana intervensi asing perlahan membuka Qing kearah modernisasi. Hal tersebut yang juga menciptakan pelbagai pemberontakan kaum terpelajar yang puncaknya terjadi di tahun 1911, oleh organisasi Tongmenghui, pimpinan Sun Yat-Sen.
Titik Awal Ketegangan Politik di Cina Modern
Sun Yat-Sen bersama pengikutnya di depan Makam Ming selama periode Warlords. (Foto: Gettyimages)
Revolusi Xinhai yang sukses menggulingkan Dinasti Qing dan mengakhiri monarki di Cina untuk selama-selamanya, banyak menjadi inspirasi dan titik awal ketegangan politk di Cina yang berimbas hingga hari ini. Peralihan kepemimpinan Republik Cina, dari Sun Yat-Sen ke Yuan Shikai, yang terjadi berkat kesepakatan antara Tongmenghui, Beiyang Army, dan Qing, justru menyebabkan instabilitas negara. Yuan Shikai tidak menghendaki demokrasi dan menggaungkan restorasi monarki. Keputusan yang memantik gerakan separatis para Gubernur Militer di tiap provinsi yang berbeda-beda dan memulai Era Warlord. Tongmenghui juga bertransformasi menjadi partai politik modern yang berideologi Nasionalis dan Demokratis yakni, Kuomintang.
ADVERTISEMENT
Seusai berakhirnya rezim Yuan Shikai, dan kembalinya pemerintahan pusat di Republik Cina, kelompok Gubernur Militer masih berpegang teguh pada separatismenya. Keputusan egois yang menyebabkan ketegangan, instabilitas, dan deunfikasi Cina. Pada momen ini, ideologi Sosialis-Komunis yang bersemi di Rusia masuk ke Cina, dan ditandai dengan pendirian Partai Komunis Cina atau CCP. Ideologi yang awalnya ditentang oleh Sun Yat-Sen, namun akhirnya diperbolehkan masuk sebagai sayap kiri Partai Kuomintang.
Kematian Sun Yat-Sen pada 1925, memantik kericuhan dan kehilangan atas figur pemersatu. Pemerintahan pusat kemudian disetir oleh salah seorang penerus Sun Yat-Sen, Chiang Kai-Shek. Atas arahannya, pemerintahan pusat berhasil mereunifikasi Cina pada tahun 1928 dan menyisakan sedikit Gubernur Militer yang masih bertahan di wilayah Sinkiang dan Xibei San-Ma. Rezim Nasionalis Chiang juga memantik permusuhan antara Kuomintang dan CCP dengan membantai ribuan komunis di Kuomintang Kiri, mengharuskan sisa-sisa anggota CCP melakukan pelarian dari pemerintah pusat. Chiang menyalahkan Komunis atas segalanya, dengan menyebut bahwa Komunisme adalah penyakit jantung yang harus dihancurkan dan kesalahan Sun Yat-Sen adalah membiarkan Komunisme diterima di Kuomintang.
Chiang Kai-Shek memimpin korps militer Kuomintang di saat menghadapi invasi Jepang. (Foto: Gettyimages)
Pada momen ini, kedua fraksi antara Kuomintang dan CCP, merasa skeptis satu sama lain dan saling curiga. Hal bodoh yang dilakukan Chiang yang membuat dirinya perlahan dibenci oleh rakyat Cina adalah sikapnya terhadap CCP. Ia lebih sibuk membantai sisa Komunis di Cina dibanding mengantisipasi ancaman invasi Kaisar Showa di Jepang, yang berujung pada anekasasi atas wilayah Manchuria. Rezimnya lebih terkesan pada otoriter dibanding demokratis. Chiang menciptakan demokrasi secara eksklusif.
ADVERTISEMENT
Baik CCP dan Kuomintang pernah berdamai dan bersatu dalam China United Front sebagai bentuk persatuan menghadapi invasi Jepang. Hubungan antara keduanya kembali retak seusai Perang Dunia II berakhir dan dimulainya Perang Sipil Cina. Perang itu menjadi momentum memudarnya popularitas Kuomintang atas CCP, dimana rakyat Cina lebih memilih berdiri bersama Mao Zedong. Terbukti, perang sipil berhasil diakhiri dan dimenangkan oleh CCP pada tahun 1949. Komunisme berhasil menang dan mendirikan RRC, sementara Kuomintang terpukul mundur hingga Taiwan, dan kembali menjalankan pemerintahan Nasionalisnya di pulau Formosa.
RRC dan Taiwan
Mao Zedong menulis sesuatu di atas mejanya pada periode Perang Sipil Cina tahun 1948. (Foto: Gettyimages)
Selepas perang sipil, dua partai besar itu memerintah wilayahnya masing-masing dan mendirikan pemerintahan yang despotik. Namun, ketegangan antara dua negara itu, tidak kunjung berakhir hingga hari ini. Dalam perspektif RRC, Taiwan merupakan bagian dari Cina dan Kebijakan Satu Cina merupakan mutlak. Sementara, dalam perspektif Taiwan atau ROC (Republic of China) menyatakan bahwa dataran Cina sejatinya merupakan milik kelompok Nasionalis Kuomintang, dan CCP hanyalah penjajah atas tanah mereka. Berbagai upaya aneksasi pernah dicoba oleh RRC, namun selalu berakhir na’as, terlebih selat Cina-Taiwan dijaga dengan ketat oleh militer Amerika Serikat semasa Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Hingga pada akhirnya, persaingan antara RRC dan Taiwan berlangsung secara ideologis yang mirip seperti perang dingin. Keduanya bersaing secara pengaruh mulai dari poltik hingga ekonomi. Di tahun 1960 sampai 1990-an, Taiwan berhasil bersaing secara ekonomi dan unggul dari RRC. Mereka bahkan mendapat titel “Macan Asia” atas pengaruh pembangunan ekonomi yang sangat signifikan, mengalahkan RRC yang berideologi Komunis. Hal tersebut yang turut melatarbelakangi ide reformasi ekonomi Deng Xiaoping, dimana ia mencoba menggabungkan ekonomi Sosialisme dan Kapitalisme. Alhasil, reformasi Deng mengalami kesuksesan. Komunisme ibarat simbol sementara pemerintahan RRC kini terkesan kapitalistik dan borjuasi. Hal yang menurut saya langkah yang tepat bagi suatu negara yang ingin selamat oleh perkembangan zaman. Keberhasilan RRC di bidang ekonomi mulai terlihat di tahun 2010, dimana RRC berhasil meraih penghargaan sebagai Negara dengan nominal GDP terbesar kedua di dunia, mengalahkan Jepang dan menyalip Amerika Serikat di tahun 2016. Di tahun 2024 ini, RRC mencoba untuk kembali menyalip Amerika di GDP, dengan total perbandingan selisih sekitar 9 juta US Dollar.[]
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi
Jabbour, E., Dantas, A., & Espíndola, C. (2021). China and market socialism: a new socioeconomic formation. International Critical Thought, 11(1), 20-36.
Kuo, C. T. (2017). Sacred, secular, and neo-sacred governments in China and Taiwan. The Oxford handbook of secularism, 249-267.
Lin, Y. C., Wang, M. J. J., & Wang, E. M. (2004). The comparisons of anthropometric characteristics among four peoples in East Asia. Applied ergonomics, 35(2), 173-178.
Pepper, S. (1999). Civil war in China: the political struggle 1945-1949. Rowman & Littlefield Publishers.
Roberts, J. A. G. (1989). Warlordism in China. Review of African Political Economy, 16(45-46), 26-33.
Taniputera, I. (2008). History of China. Ar-Ruzz Media Group. Jogjakarta.
Wu, T. W. (1969). A Review of the Wuhan Debacle: The Kuomintang-Communist Split of 1927. The Journal of Asian Studies, 29(1), 125-143.
ADVERTISEMENT