Konten dari Pengguna

Konsepsi Hukum Laut Indonesia: dari Mare Liberum Menuju Mare Clausum

Abrar Rizq Ramadhan
Hanya seorang pelajar yang tenggelam di lautan Humaniora. Mahasiswa Ilmu Sejarah - FIS - Universitas Negeri Semarang
9 September 2023 12:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lautan. (Foto: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lautan. (Foto: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek sejarah yang tidak kalah penting adalah mengenai maritim. Laut, perairan, dan hal-hal terkait kemaritiman merupakan sebuah fokus penelitian sejarah yang masih harus digali lebih dalam mengingat eksplorasi laut di muka bumi ini baru bisa diteliti sejauh 5 persen saja. Tentunya dalam sudut pandang historis kita pastinya sadar bahwa maritim turut membersamai aktivitas manusia dari segi sosial, ekonomi, bahkan politik di setiap lembar sejarah manusia.
ADVERTISEMENT
Topik menarik yang perlu dikaji soal sejarah kemaritiman nasional adalah mengenai laut di Indonesia yang secara hukum mengubah sifatnya dari Mare Liberum ke Mare Clausum. Sebelumnya apa itu Mare Liberum dan Mare Clausum?
Kedua istilah itu sejatinya lahir dari pertentangan terkait kepemilikan laut di masa ketika Portugal, Spanyol, Inggris dan Belanda menguasai jalur pelayaran. Battle of the Books, merupakan sebutan yang ditunjukkan kepada pertentangan itu yakni teori Mare Liberum milik Belanda dan teori Mare Clausum milik Inggris.
Secara singkat, Mare Liberum berarti mengisyaratkan bahwa laut dimiliki oleh siapapun karena merupakan karunia dari tuhan. Siapa saja boleh mengambil isi dari laut dan tidak ada klaim sepihak. Sedangkan Mare Clausum bersifat sebaliknya yakni bahwasannya laut bisa dimiliki oleh suatu negara. Namun pada akhirnya sejarah mencatat baik Inggris dan Belanda tidak dapat mempertahankan idealismenya masing-masing.
Ilustrasi seseorang yang tengah mengayuh perahu kecil di tengah-tengah laut. (Foto: Pexels.com)
Kembali ke topik utama yakni mengapa Indonesia mengubah hukum kepemilikan lautnya dari Mare Liberum ke Mare Clausum? Dulu ketika negeri ini masih bernama Nusantara, beberapa sultan dan raja-raja di penjuru kerajaan di negeri ini menyebut bahwa laut merupakan milik siapa saja. Bahkan para raja-raja ini tidak segan mengutuk mereka yang melakukan eksploitasi terhadap laut demi keuntungannya pribadi maupun kelompoknya tanpa memedulikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Namun di era modern ini, Indonesia justru mengambil hukum Mare Clausum di mana hal ini dibuktikan dengan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), yakni hak negara pantai untuk memperoleh kekayaan alam wilayah lautnya. Bahkan tentunya kita tidak asing dengan aksi dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang tidak segan menenggelamkan kapal asing di wilayah laut Indonesia.
Lantas, mengapa demikian? Mengapa Indonesia tidak mempertahankan idealisme para leluhurnya mengenai kepemilikan laut?

Mendalami Sejarah Munculnya Konsep 'Laut Terbuka-Laut Tertutup'

Ilustrasi peta dunia yang setengah tertutup dengan bayangan. (Foto: Pexels.com)
Sedikit kembali melihat sejarah perancangan konsep Mare Liberum dan Mare Clausum yang di mana perdebatan keduanya memuncak hingga ke masa modern. Mare Liberum sering juga disebut sebagai laut terbuka sesuai dengan namanya yakni "Liberum" yang memiliki arti bebas/kebebasan. Sedangkan Mare Clausum kerap disebut juga sebagai laut tertutup sesuai dengan arti dari kata "Clausum" yang berarti tertutup.
ADVERTISEMENT
Perdebatan mengenai hak kepemilikan laut ini dimulai dari ditulisnya sebuah pamflet berjudul Liberum Sive de Iure Quod Batavis Competit ad Indicana Commercia Dissertatio, oleh seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Hugo Grotius, pada tahun 1609. Dari sini juga konsep Mare Liberum diperkenalkan.
Pamflet ini ditulis sebagai refleksi pembelaan hukum atas aksi perampasan kapal dagang portugis oleh VOC, 6 tahun lalu. Aksi perampasan yang terjadi di sekitar pantai Singapura itu merupakan upaya VOC dalam menghentikan monopoli perdagangan yang dilakukan Portugis selama di Hindia Timur (Nusantara).
Sebagai bentuk perlawanan dari konsep Mare Liberum yang diusung Grotius, seorang ahli hukum Portugis bernama Serafim De Freitas menulis sebuah buku berjudul De Iusto Imperio Lusitanorum Asiatico, pada tahun 1624.
ADVERTISEMENT
Singkatnya buku itu membahas bantahan pihak Portugis atas konsep laut terbuka milik Belanda. Hal serupa juga dilakukan oleh seorang ahli hukum Inggris bernama John Selden yang turut menulis buku berjudul Mare Clausum dengan tujuan melindungi hak atas perikanan Inggris. Dari sini pertentangan antara dua konsep tersebut dimulai.
Dua kincir angin di tengah perairan Soest, Belanda. (Foto: Pexels,com)
Baik Freitas dan Selden sama-sama setuju bahwa penguasa suatu negara atau wilayah berhak untuk melarang orang asing untuk datang dan mengambil kekayaan alam dan berdagang di wilayah laut tersebut. Di lain sisi, Grotius beranggapan bahwa laut adalah hak universalitas yang berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk melintasi laut manapun.
Jalan tengah dari konflik yang tak kunjung berakhir ini adalah hadirnya konsep baru yang disebut juga dengan teori Cannon Shot Rule, yang dikemukakan oleh Cornelius Van Bynkershoek pada tahun 1703. Teori dari Bynkershoek ini diterima dan diadaptasikan oleh banyak negara pada tahun-tahun tersebut.
ADVERTISEMENT
Canon Shot Rule merupakan konsep yang berisi mengenai kekuasaan sebuah negara pantai atas lautnya berakhir sejauh jangkauan senjatanya. Pada saat itu, jarak jangkauan senjata adalah sekitar 3 mil laut. Jadi banyak negara mengakui kekuasaan negara pantai atas lautnya saat itu sejauh 3 mil laut. Paham ini merupakan paham tengah karena mengakui kedaulatan negara atas laut dan juga mengakui kebebasan atas laut.

Indonesia dan Hukum Lautnya

Ilustrasi perahu motor di sekitaran perairan Grisubo, Jogja. (Foto: Pexels.com)
Perdebatan tentang hukum kepemilikan laut berlanjut hingga pasca Perang Dunia II. Banyaknya negara-negara hasil kolonialisasi seperti Indonesia dan Filipina mendeklarasikan kedaulatan wilayah perairannya dari yang sebelumnya bersifat terbuka menjadi tertutup. Indonesia dan Filipina mendeklarasikan selat-selat penghubung pulau di wilayahnya sebagai bagian dari Internal Waters atau perairan dari negara kepulauan yang telah berdaulat.
ADVERTISEMENT
Indonesia pertama kali mendeklarasikan klaim ini dengan Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Banyak protes bermunculan dari negara-negara lain terlebih dengan mereka yang jalur perdagangan dan militernya sering melintasi kepulauan Indonesia. Salah satu negara yang memprotes deklarasi terkait laut Indonesia yang kini tertutup adalah Australia.
Pertentangan ini juga bisa kita gambarkan sebagai wujud negara yang baru berdaulat dan melakukan klaim terhadap perairan wilayahnya yang bersifat kepulauan dengan negara yang menginginkan kebebasan dalam melakukan pelayaran. Indonesia di sini menerapkan sifat Mare Claubrum sementara Australia menggunakan konsep Mare Liberum. Keduanya memiliki kepentingannya masing-masing.
Indonesia yang baru merdeka jelas menginginkan hak atas wilayah perairannya sendiri terlebih Indonesia merupakan negara kepulauan meskipun konsep negara kepulauan baru diresmikan oleh Konvesni PBB dalam UNCLOS 1982. Sedangkan Australia merasa dirinya dirugikan jika Indonesia menerapkan konsep tertutup. Hal ini boleh jadi karena Australia kerap melintasi wilayah perairan Indonesia dulu untuk kegiatan berdagang atau sekadar navigasi pelayaran.
Ilustrasi pulau di tengah-tengah laut yang menggambarkan sebuah kepulauan. (Foto: Pexels.com)
Kembali ke topik awal, mengapa Indonesia mengubah hukum lautnya dari yang sebelumnya bersifat Mare Liberum namun kini menjadi Mare Clausum?
ADVERTISEMENT
Indonesia atau dulu di masa Hindia Belanda menggunakan konsepsi Mare Liberum sebagai hukum kepemilikan lautnya. Dari pihak Belanda sendiri turut menerapkan konsep tersebut selama melakukan kolonialisasi terhadap wilayah Hindia Timur.
Hal ini dilakukan bukan karena kemauan petinggi pemerintah Hindia Belanda melainkan atas tuntutan dari Inggris yang menerapkan aturan Navigation Act yang memaksa segala kekuatan di dunia untuk membuka Pelabuhan bagi siapapun khususnya untuk kegiatan perdagangan. Tujuannya adalah upaya melindungi kepentingan ekonomi Inggris yang dihasilkan dengan mengekstrak kekayaan di pelbagai tempat di dunia yang juga dijadikan tempat pemasaran.
Paksaan tersebut dilanjutkan dengan Territorial Waters Jurisdiction Act pada 1878 yang isinya adalah menghukum negara mana pun yang menggunakan kekuatan militer untuk melindungi wilayah perairannya. Hal ini yang menyebabkan Belanda mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang ditetapkan Inggris termasuk untuk wilayah Hindia Belanda. Sungguh ironi karena awalnya Inggris bersifat clausum namun demi kepentingan praktisnya, mereka harus bersifat liberum.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya pemerintah Hindia Belanda, raja-raja dari kerajaan lokal di penjuru Hindia turut berpikir secara liberum. Hal ini semata-mata wujud idealisme yang beranggapan bahwa laut merupakan karunia tuhan dan siapapun bisa mengambil dan hidup dari laut. Salah satunya yang paling gencar adalah Sultan Alauddin dari Kesultanan Makassar.
Pihak Belanda pernah memerintahkan Sultan Alauddin untuk melarang berlabuhnya kapal-kapal Portugis di Makassar demi kepentingan Belanda untuk mencengkeram Makassar. Namun, Sultan Alauddin menolak karena hal tersebut bertentangan dari pemikirannya soal laut.
Ilustrasi Masjid 99 Kubah, Makassar. (Foto: Pixabay.com)
Di era modern, Indonesia justru mendeklarasikan konsepsi negara kepulauan dengan sifat Mare Clausumnya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menutup akses perairan wilayahnya sendiri dari negara lain. Hal ini boleh jadi karena Indonesia mementingkan nasibnya sendiri sebagai negara yang baru berdaulat.
ADVERTISEMENT
Tentu Indonesia tidak mau hal mengenaskan yang dialaminya di masa lalu yakni penjajahan terulang lagi. Perampasan kekayaan alam laut Indonesia bisa kita identifikasikan sebagai upaya penjajahan alam secara tidak langsung. Hal itu yang menyebabkan Indonesia memutuskan untuk menutup wilayah perairannya dari pihak asing. Tentu Indonesia bisa semakin maju jika mengelola sumber daya alam dari lautnya secara mandiri dan berdikari.
Idealisme para leluhur di masa lalu bisa menghambat majunya negara modern ini karenanya demi menyesuaikan kondisi dengan realitas sosial, Indonesia memutuskan untuk menerapkan konsep Mare Clausum demi melindungi wilayah lautnya dari upaya penjajahan sumber daya alam.