Konten dari Pengguna

Bom Atom Bukanlah Senjata Paling Menghancurkan dalam Perang Dunia II

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
14 November 2020 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simulasi ledakan napalm | Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi ledakan napalm | Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Tanggal 6 sampai 9 Agustus 1945, keadaan Jepang di ambang kritis. Pasukan Amerika menjatuhkan bom atom bernama Little Boy dan Fat Man di pusat indutri, militer, dan pelabuhan Jepang. Tepatnya di Hirosima dan Nagasaki. Bom yang menewaskan lebih dari 200.000 warga negara Jepang dan menghancurkan tempat-tempat penting ini pun dianggap sebagai senjata yang sangat mematikan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, diketahui baru-baru ini, bom atom ternyata bukanlah senjata yang paling menghancurkan. Ada jenis senjata lain yang lebih ganas, yang disebut napalm.
Napalm adalah gel padat yang mudah menempel pada berbagai jenis permukaan. Sifat berbahayanya muncul apabila dilempar dan dibakar pada suhu yang sangat tinggi, napalm akan dengan mudah menghancurkan permukaan. Walapun sifatnya yang mudah terbakar, napalm sangat stabil dan bertahan pada suhu yang tinggi, sehingga memudahkan untuk dibawa ke mana-mana.
Napalm digunakan pertama kali ketika Perang Dunia Kedua; dan menjadi senjata nomor satu dalam berbagai perang di belahan dunia lainnya, seperti Perang Korea, Perang Vietnam, dan Invasi Iraq pada tahun 2003.
Penggunaan Napalm saat Perang Vietnam | Wikimedia Commons
Pada awalnya, zat pembakar yang digunakan dalam perang menggunakan latex, namun ketika Jepang menguasai perkebunan karet di Malaya, Indonesia, Vietnam, dan Thailand, karet alam (bahan dasar latex) menjadi langka, sehingga perusahaan Amerika Serikat mencari alternatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian dikembangkanlah Napalm oleh ahli kimia Harvard, yang dipimipin oleh Louis Fieser, sebagai pengganti campuran bensin kental yang digunakan oleh pasukan sekutu. Tepatnya tahun 1942, Fieser dan timnya mengembangkan zat alternatif ini, yaitu senyawa sintetis yang dicampur dengan minyak bumi. Mereka pun menamainya napalm, diambil dari kata naphtenic acid dan palmitic acid, yang merupakan bahan dasarnya.
Saat pertama kali diuji coba, napalm dibakar di lapangan sepak bola dekat dengan Harvard Business School. Uji coba selanjutnya, napalm dibakar di gedung pertanian yang terlantar, Jefferson Proving Ground.
Uji coba yang lebih ekstensif diperlukan guna mengukur efektifitas senjata ini saat melawan Jerman dan Jepang. Maka pada tahun 1943, tentara AS memulai membuat gedung dan rumah yang mirip dengan bangunan yang ada di Jerman dan Jepang. Bangunan ini dibangun di Dugway Proving Grung, Great Salt Lake Desert, Utah.
ADVERTISEMENT
Gedung bergaya arsitek Jerman-nya didesain oleh Eric Mandelson dan Konrad Wachsmann. Sampel ini dibuat seidentik mungkin dengan bangunan yang ada ditempat aslinya. Bahan bangunan untuk gedung imitasi pun dikirim dari Murmansk, Rusia. Tidak lupa, furnitur dalam gedung ini juga disamakan dengan keadaan aslinya di Jerman. Begitu pun dengan bangunan bergaya Jepang, tentara Amerika mempekerjakan Antonin Raymond, seorang arsitek asal Ceko yang pernah belajar di Jepang.
Bagaimanapun, hal yang menjadi sangat mengganggu adalah fakta bahwa bangunan yang diimitasi dalam uji coba itu kebanyakan merupakan tempat tinggal masyarakat, yang tidak terlibat dalam perang.
Sejarah membuktikan, banyak bangunan yang rusak dan terbakar, serta korban perang dunia kedua, memang merupakan milik masyarakat sipil. Kemungkinan korban-korban ini pun telah ditargetkan sebelumnya, bukan ketidaksengajaan belaka.
ADVERTISEMENT
Rujukan: