Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kisah 3 Serdadu Jepang yang Menolak Menyerah
16 Oktober 2018 21:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Shoichi Yokoi, Teruo Nakamura, dan Hiroo Onoda | commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Per tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penyerahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua. Bagi jutaan tentara yang telah menderita selama pertempuran, pernyataan tersebut ialah berkah. Pasukan boleh meletakkan senjata dan pulang dengan selamat kepada keluarga.
Di sisi lain, kabar bahagia itu juga sebanding dengan berita memalukan. Tidak semua pasukan Jepang siap menyerah, mereka telah terlanjur menerima doktrin untuk bertempur sampai mati. Jadi, ketimbang menanggung malu mereka lebih baik bunuh diri, atau setidaknya mengasingkan diri.
Shoichi Yokoi adalah contohnya, seorang sersan yang dikirim ke Guam pada Februari 1943 untuk bertempur melawan Amerika Serikat. Setelah tersudut oleh serangan musuh di tahun 1944, Yokoi dan sembilan tentara Jepang lainnya bersembunyi di kedalaman rimba Guam. Seiring waktu, kesepuluh orang Jepang itu akhirnya saling berpisah dan meninggalkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1952, Yokoi sebetulnya sudah tahu bahwa Jepang telah menyerah dalam Perang Dunia Kedua, tetapi dia terlalu takut untuk keluar dari persembunyiannya. Dia juga merasa malu sehingga memutuskan untuk tetap hidup di dalam gua bawah tanah hingga dua dekade selanjutnya.
"Kami para tentara Jepang diperintahkan untuk lebih memilih mati dalam aib ketimbang ditangkap hidup-hidup," tutur Yokoi. Disebutkan dalam buku 'Private Yokoi's War and Life on Guam', saat ditemukan oleh pemburu lokal pada 24 Januari 1972, Yokoi menangis dan memohon agar mereka membunuhnya ketimbang dibawa pulang. Permintaannya tak dikabulkan, Yokoi kembali ke Jepang dan kemudian meninggal pada tahun 1997.
Lain cerita dengan Hiroo Onoda, letnan ini enggan keluar dari pedalaman di Pulau Lubang, Filipina, lantaran tak pernah yakin akan kabar penyerahan Jepang. Setelah dikirim dengan mengemban tugas perwira intelijen, Onoda menerima perintah khusus yang menyatakan bahwa dalam keadaan apa pun dia tidak boleh menyerah kepada musuh juga dilarang bunuh diri.
Maka, ketika di akhir Agustus 1945 Onoda bersama tiga tentara lainnya menemukan selebaran (yang menyatakan kabar penyerahan Jepang), mereka malah merobeknya.
ADVERTISEMENT
Onoda dan rekan-rekannya selalu yakin bahwa selebaran --atau tanda apapun-- yang mendeskripsikan penyerahan Jepang dalam Perang Dunia Kedua itu hanyalah tipuan. Mereka terus bersembunyi pada tahun-tahun berikutnya, hingga pada 1950 Yuichi Akatsu (salah satu rekan Onoda) memilih untuk menyerah kepada pasuka Filipina.
Setelah penyerahan Akatsu, regu pencari dikerahkan militer Filipina untuk mendesak Onoda agar menyerah, tetapi Onoda pindah lebih jauh ke dalam hutan. Surat dan foto keluarga Onoda disebarkan dari pesawat, catatan dari Akatsu juga, tetap saja Onoda masih menganggapnya sebagai tipu daya musuh.
Sangat sulit membuat Onoda sadar bahwa perang telah berakhir, bahkan setelah dia kehilangan Shimada dan Kozuka --dua rekan terakhirnya. Sendirian di dalam hutan, Onoda baru menyerah pada 1974 setelah dijemput oleh Norio Suzuki.
ADVERTISEMENT
Tentara terakhir, yang enggan menyerah setelah Jepang mengaku kalah, yaitu Teruo Nakamura --keturunan Taiwan. Dia beragabung dalam Unit Sukarela Takasago dan dikirim berperang ke Morotai, Maluku Utara, Indonesia.
Pada September 1944, dia didesak untuk bersembunyi ke pedalaman tatkala diserang pasukan Sekutu. Selama 30 tahun berikutnya, Nakamura yang terasing sendirian tak pernah mendapat kabar tentang penyerahan Jepang. Hidup di dalam gubuk 2x2 meter, menanam singkong dan umbi-umbian, Nakamura akhirnya ditemukan oleh TNI AU pada Desember 1974.
Sumber: history.com | guampedia.com | nytimes.com