Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
SIP Apoteker, Duitnya Pengusaha: Permainan yang Selalu Dimenangkan Satu Pihak
7 Mei 2025 11:19 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ilham Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Pengantar Realita Lapangan
Setiap tahun, ribuan apoteker baru lulus dengan harapan bisa langsung praktik. Tapi begitu turun ke lapangan, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit: cari tempat praktik itu bukan sekadar soal ilmu, tapi soal izin. Surat Izin Praktik (SIP) adalah tiket wajib yang harus dimiliki apoteker untuk bisa bekerja secara legal. Masalahnya, SIP ini justru sering dipakai jadi alat tawar sepihak oleh pemilik usaha.
ADVERTISEMENT
“Maaf, kami hanya butuh izinnya, bukan orangnya.” Kalimat semacam ini bukan mitos, tapi kenyataan yang sering didengar para apoteker muda saat mencari tempat praktik.
Ketimpangan Tawar-Menawar: Siapa Butuh Siapa?
Secara regulasi, fasilitas layanan seperti apotek, klinik, dan faskes lainnya wajib punya SIP apoteker agar bisa beroperasi. Artinya, pengusaha butuh apoteker. Tapi ironisnya, apoteker justru diposisikan sebagai pihak yang “harus bersyukur” karena diberi kesempatan praktik, meski dengan gaji yang sering tak layak.
Dalam posisi ini, pengusaha berada di atas angin. Mereka punya tempat, mereka tentukan syarat. Sementara apoteker butuh tempat untuk bisa menjalankan profesinya. Jadilah SIP ini seperti barang barter: izinkan kami pakai namamu (SIP), tapi jangan tanya soal kompensasi.
Kenapa Apoteker Tidak Bisa Kompak?
Fenomena ini tidak akan bertahan jika apoteker bisa solid. Tapi justru di sinilah masalah utamanya. Tidak ada kekompakan. Seorang apoteker bisa saja menolak sistem upah rendah, tapi akan segera digantikan oleh apoteker lain yang rela “yang penting dapat SIP dan bisa bekerja.”
ADVERTISEMENT
Inilah yang disebut dalam teori permainan sebagai Prisoner’s Dilemma. Kalau semua apoteker sepakat menolak tawaran yang tidak adil, mereka akan punya posisi tawar. Tapi karena takut tidak kebagian tempat, akhirnya banyak yang memilih kompromi. Dan ketika semua memilih kompromi, tidak ada perubahan. Semua kalah.
Regulasi Ada, Tapi Tak Bertaring
Sebetulnya, regulasi sudah menetapkan bahwa praktik kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker dengan SIP aktif. Tapi di lapangan, belum ada sistem kontrol yang benar-benar mengawasi apakah apoteker benar-benar hadir dan menjalankan tugasnya. SIP jadi formalitas administratif. Fasilitas berjalan, apoteker tak benar-benar praktik. Dan saat terjadi hal yang tak diinginkan? Apoteker bisa disalahkan, padahal tak pernah diberi ruang untuk berperan.
Jalan Keluar: Butuh Kesadaran Kolektif dan Sistem yang Melindungi
Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua apoteker. Harus ada gerakan bersama. Kesadaran bahwa profesi ini tidak boleh dihargai dari seberapa rendah kita rela dibayar. Harus ada standar etik, harga diri, dan sistem organisasi profesi yang bisa memayungi.
ADVERTISEMENT
Organisasi profesi perlu lebih tegas. Pemerintah perlu memperkuat regulasi pelaksanaan SIP agar tidak dimanipulasi. Dan para apoteker perlu berhenti saling menjatuhkan harga diri sendiri. Kita tidak mungkin dihargai kalau terus menjual diri kita di bawah harga.
Saatnya Menulis Ulang Permainan Ini
Selama ini, permainan “SIP” selalu dimenangkan satu pihak. Tapi bukan karena pihak lain (apoteker) kalah pintar. Hanya saja, mereka belum mau duduk bersama, menyusun strategi bersama, dan melawan bersama.
SIP itu bukan sekadar syarat administrasi. Itu bukti kompetensi, etika, dan tanggung jawab seorang apoteker. Kalau nilainya terus kita biarkan jatuh, maka profesi ini akan sulit bangkit.
Sudah waktunya apoteker tidak sekadar ikut bermain. Tapi mulai menulis ulang aturannya.