Hilangnya Budaya Meritokrasi dalam Organisasi Mahasiswa

Abubakar Sidik
Mahasiswa FKIP UMSurabaya
Konten dari Pengguna
24 Desember 2023 8:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abubakar Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerjasama organisas. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerjasama organisas. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Organisasi mahasiswa memegang peran sentral dalam mengembangkan potensi mahasiswa. Sebagai wadah pembentukan individu, peran organisasi mahasiswa tak terbantahkan. Selain melatih kemampuan akademik, mahasiswa juga dapat mengembangkan jiwa kepemimpinan, kerjasama tim, keterampilan public-speaking, dan memperluas jaringan relasi.
ADVERTISEMENT
Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa bersaing memperebutkan posisi kepemimpinan dalam organisasi hanya berdasarkan kepentingan pribadi. Orientasi self-oriented seperti ini menjadi hambatan bagi perkembangan suatu organisasi, mengingat bahwa pemimpin sejati harus mengedepankan kepentingan umum di atas individu atau kelompoknya sendiri.
"Saat kita menatap abad mendatang, pemimpin adalah mereka yang mampu memberdayakan orang lain." - Bill Gates.
Perilaku self-oriented ini menandai hilangnya budaya meritokrasi dalam organisasi mahasiswa saat ini. Meritokrasi, sebagai konsep kepemimpinan, menekankan pentingnya intelektualitas dan usaha untuk mencapai posisi, tidak didasarkan pada keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial.
Menurut Kim & Choi (2017), meritokrasi adalah sistem sosial yang memajukan masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Artinya, pemimpin dipilih berdasarkan rekam jejak, kecerdasan, dan kemampuan untuk melayani kepentingan semua orang.
Ilustrasi tantangan. Foto: Shutterstock

Tantangan Budaya Meritokrasi:

ADVERTISEMENT
Tantangan utama terhadap budaya meritokrasi datang dari mahasiswa yang masih mengedepankan sistem patron-client relationship. Sistem ini membuat calon pemimpin (client) bergantung pada "restu" orang berpengaruh (patron) untuk memperoleh posisi kepemimpinan.
Dampaknya, banyak mahasiswa yang mengikuti patron-client relationship tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kapasitas mereka. Budaya ini, yang didasarkan pada senioritas, mengancam pertumbuhan budaya meritokrasi di organisasi mahasiswa.
Budaya patron-client relationship, yang pada dasarnya bersifat feodal, perlu dihadapi sebagai tantangan dalam membangun budaya meritokrasi yang sehat. Oleh karena itu, reformasi dalam organisasi mahasiswa perlu dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip meritokrasi, untuk menghindari praktik senioritas, self-oriented, konflik kepentingan, dan politik transaksional.
Melalui reformasi ini, organisasi mahasiswa dapat membuka kesempatan yang sama bagi semua anggotanya dan memastikan bahwa pemimpin dipilih berdasarkan kualifikasi dan kontribusi nyata, bukan sekadar hubungan senioritas.
ADVERTISEMENT