14 Tahun Damai, KKR Aceh Pesimistis Reparasi Korban HAM Selesai

Konten Media Partner
15 Agustus 2019 17:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spanduk beberapa kegiatan KKR Aceh, terpasang di kantor mereka. Foto: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Spanduk beberapa kegiatan KKR Aceh, terpasang di kantor mereka. Foto: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
Perdamaian Aceh sudah 14 tahun. Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia yang berlangsung 29 tahun berakhir pada meja perundingan di Kota Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Nota kesepahaman ini dikenal dengan MoU Helsinki.
ADVERTISEMENT
Meski usia damai telah melewati satu dekade lebih, namun permasalahan pasca-konflik belum selesai. Banyak korban konflik Aceh yang belum tersentuh bantuan. Sementara korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama periode ‘berdarah’ menanti keadilan.
Tahun 2016, pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Lembaga negara non-struktural itu dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh.
KKR Aceh dibentuk atas tiga tujuan, yaitu memperkuat perdamaian dengan mengungkap kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM baik individu maupun lembaga dengan korban, dan merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban.
ADVERTISEMENT
Ketua KKR, Afridal Darmi, menjelaskan panjang lebar peran lembaga yang dipimpinnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM selama konflik Aceh. KKR Aceh menargetkan 10 ribu orang yang menjadi korban perlakuan tak berperikemanusiaan selama perang akan memperoleh reparasi.
Tetapi, dia agak pesimis dapat menyelesaikan itu dalam periode masa kepemimpinannya. Kendala utama kekurangan anggaran. Selain itu, hingga tahun ketiga dibentuk, KKR Aceh belum memiliki kantor sendiri.
Ketua KKR Aceh, Apridal Darmi
Berikut petikan wawancara Habil Razali dari acehkini dengan Afridal Darmi, di Sekretariat KKR Aceh, Kuta Alam, Banda Aceh, pada Senin (5/8/2019) lalu.
14 tahun perdamaian Aceh, bagaimana peran KKR Aceh dalam menyelesaikan pelanggaran HAM selama konflik?
Pertama, pengungkapan kebenaran. KKR itu dibentuk khusus untuk ruang pelanggaran HAM. Kami mewawancarai orang, lalu "menyiarkannya". KKR khusus mewawancarai korban. Kami mengambil suara korban yang tidak pernah terdengar itu, ceritanya dia tanggung sendiri, mewawancarai, lalu menginputnya untuk disiarkan kepada 'dunia'.
ADVERTISEMENT
KKR merangkumnya menjadi dokumen resmi dan melaporkannya dalam laporan akhir. Kami tentu saja dengan beberapa batasan-batasan, misalnya kerahasiaan, memperhatikan keselamatan korban, dan sebagainya.
Dari informasi yang diambil dari korban, apa yang kemudian korban peroleh?
Sebenarnya dalam langkah pertama ini ada yang diperoleh korban. Ketika kita mewawancarai korban, orang yang tertindas itu merasa seakan beban mereka sedikit terangkat ketika ada tempat melepaskannya, dan tahu ini tidak akan hilang, ada dalam sejarah yang disebut dalam laporan akhir KKR. Itu memang ada di perasaan, kepuasan. Dan ini bukan kata saya. Ini ada dalam berbagai literatur tentang KKR. Hak atas rasa puas.
Ketika korban menyuarakan isi hatinya, bagaimana menderita ketika waktu kejadian, bagaimana menderita setelah kejadian, mereka puas, bahkan setelah itu. Segera setelah kita mematikan tape wawancara selesai, alhamdulilah lega sekali. Itu juga diungkapkan oleh orang-orang yang memberikan kesaksian pada rapat dengar kesaksian.
ADVERTISEMENT
Secara material dan fisik, mereka belum dapat apa-apa, belum terbantu. Mereka mengungkapkan isi hatinya, menangis-menangis di depan massa itu ada rasa lega. Ini sama dampaknya dengan mengadukan masalah kita ke psikolog.
Mandat kedua dan ketiga KKR yaitu raparasi dan rekonsiliasi. Reparasi adalah korban mendapatkan haknya yang dirampas karena kekerasan yang mereka alami. Dan itu kembali ke kasus-kasus. Misalnya ada orang yang dianiaya, rasa sakitnya itu berapa pemerintah mau "mengganti"nya. Bagaimana itu kemudian diperbaiki.
Orang-orang yang kehilangan harta atau mengalami kekerasan, dibakar rumahnya, diculik anaknya, atau dianiaya sehingga dia mengalami cacat dan menganggu mata pencahariannya. Tanggung jawab KKR adalah merekomendasikan kepada pemerintah yang terkait untuk memberikan reparasi.
Pemerintah terkait itu siapa?
ADVERTISEMENT
Kalau dia butuh perawatan kesehatan, rumah sakit. Kalau misalnya dia butuh fasilitas kesehatan, mungkin Dinas Kesehatan lebih bagus. Kalau misalnya dia butuh prostetik, kita lihat beberapa lembaga negara yang punya program itu misalnya Dinas Sosial. Kalau rumahnya dibakar, kita rekomendasi kepada lembaga negara yang punya program untuk membangun rumah.
Tapi dengan rekomendasi KKR itu mungkin diberikan atas nama reparasi hak dan harusnya ada sifat khusus, seperti lebih cepat dan kualitasnya lebih bagus, memperhatikan kebutuhan korban. Bukan hanya sekedar besaran program pemerintah.
Penyediaan lapangan kerja bisa dilakukan kepada lembaga pemerintah yang menyediakan kesempatan kerja dan punya program pengembangan usaha. Kalau selama ini punya penyediaan dana untuk mengentaskan kemiskinan, yang direkomendasikan KKR itu punya spesifikasi khusus, misalnya lebih cepat dan lebih besar. Orang tidak hanya diberi uang kemudian dilepaskan, tetapi diberikan pelatihan keterampilan, lalu kemudian diberikan modal.
ADVERTISEMENT
Korban konflik seperti apa yang akan mendapatkan reparasi?
Kami tidak menggunakan istilah korban konflik, tapi korban pelanggaran HAM. Bukan sembarang korban konflik, tapi korban pelanggaran HAM selama konflik Aceh. Korban tidak berafiliasi kemana pun. Bisa saja mantan kombatan GAM atau anggota TNI-Polri kalau mereka juga menjadi korban pelanggaran HAM.
Reparasi diberikan setelah mendengar kesaksian korban. Lalu seperti apa tindak lanjutnya?
Tindak lanjut itu dilakukan oleh aparat negara yang berwenang. Sebenarnya sudah kita rekomendasi reparasi, tetapi tindak lanjutnya belum.
Berapa korban yang sudah direkomendasikan reparasi?
Baru 77 orang. Karena saat ini yang menyambut ini dan meletakkannya di dalam program baru BRA (Badan Reintegrasi Aceh). Yang lain-lain, walaupun kita merekomendasikan, tetapi mereka belum membuat dalam programnya. Yang kita sasar adalah yang punya program khusus pada lembaga negara itu, sekarang kita rekomendasi kesehatan, ini kan tidak ada bedanya. Jadi ini membuat rekomendasi KKR tidak ada bedanya. Kita masih menahan diri.
ADVERTISEMENT
Soal rekomendasi ini pun masih menjadi pekerjaan besar. Setiap lembaga negara yang kita ajak bicara soal ini mereka selalu menyatakan kami belum membuat program itu. Jadi ini masalah besar. Sensitivitas terhadap korban pelanggaran HAM itu belum ada dan itu dilihat dari tidak adanya program mereka terhadap korban pelanggaran HAM. Kalau kita hanya mendapatkan satu dua kursi roda, itu bukan reparasi. Karena itu program seperti biasa. Kalaupun hari ini kita ajukan reparasi, itu menjadi program biasa.
Berapa banyak korban pelanggaran HAM selama konflik Aceh yang nantinya mendapat reparasi?
Akhir Juni 2019, KKR Aceh telah mengambil sebanyak 2.635 kesaksian korban. Hingga akhir Juli mungkin ada bertambah sekitar 500 orang. Bahkan lebih dari itu. Berapa banyak totalnya? Kita pada pengurusan ini mengasumsikan ada 10 ribu pernyataan pada akhir tahun kelima, sebelum laporan dirilis. Namun kalau kita bandingkan dengan laporan yang dihimpun oleh lembaga lain, misalnya Amnesti Internasional sebanyak 35 ribu.
ADVERTISEMENT
Kapan target menyelesaikan itu semua?
Saya hanya bisa menyatakan target yang bisa kita capai dalam pengurusan kali ini. Kapan 35 ribu itu bisa terselesaikan semuanya itu mungkin kepengurusan berikutnya. Semua pengambil pernyataan itu berkorelasi dengan pendanaan yang disediakan. Itu sebabnya kita tidak bisa.
Kalau seandainya dari awal pemerintah menyediakan pendanaan yang cukup untuk program pengambilan pernyataan korban ini, misalnya, di tahun ketiga kemudian kita berhasil menyelesaikan 10 ribu sekali pun. Tapi kenyataannya kan enggak. Kita sudah boleh khawatir ini, 10 ribu yang ditargetkan pun enggak tercapai.
Berapa anggaran KKR Aceh?
Ada dua soal. Pertama anggaran kurang dari jumlah yang diharapkan. Awal kami usulkan kurang lebih Rp 10 miliar. Itu tidak pernah terpenuhi. Jadi selalu di antara 4,5 sampai 4,7 miliar. Setengah dari target. Yang ke-dua, dia tidak diberikan anggaran untuk pengungkapan pernyataan. Ini masalahnya. Jadi anggaran itu hanya operasional.
ADVERTISEMENT
Pengambilan pernyataan korban itu bagian dari operasional?
Enggak.
Sekarang?
Sekarang mencukup-cukupkan dari dana operasional. Harusnya pengungkapan pernyataan korban punya anggaran khusus. Ini selalu dikaitkan dengan tidak adanya penempatan yang jelas dari pemerintah terkait itu dalam slot pendanaan. Kalau programnya ini, itu hasilnya ini. Itu harus logis.
Selama di Dinas Sosial, KKR itu ditempatkan di kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya apa? Ketika kami meminta dana untuk pengungkapan kebenaran, itu tidak logis lagi dengan tujuan akhir dengan kekerasan dalam rumah tangga. Jadi kesulitan pemerintah dalam mengatakan apa, kami tidak bisa berikan karena kami tidak bisa menarik korelasi pertanggungjawaban dengan program. Karena itu selama dua tahun, kami meminta dibuatkan program yang namanya program KKR.
ADVERTISEMENT
Pemerintah belum menyediakan slot itu. Kalau ada nomeklatur yang menyatakan di bawah item perdamaian penyelesaian konflik masa lalu, diberi KKR di bawahnya, kami bisa menariknya. Kita bisa menempatkan dana program itu.
Kalau begini, KKR pesimis untuk mencapai target?
Tidak bisa. Pertama jumlahnya tidak bisa ditambah. Susahnya sekarang orang menganggap KKR sudah selesai karena tidak ribut-ribut lagi soal itu.
KKR Aceh telah memberikan rekomendasi reparasi untuk 77 korban pelanggaran HAM. Bagaimana kelanjutannya?
Kita melihat 77 orang ini sebagai ujian pertama, setelah itu kita perbesar kita cari orang lain yang menanggung masalah ini.
KKR mengawal ini?
Harusnya mengawal rekomendasi. Belajar dari reparasi KKR di seluruh dunia, rekomendasi itu dikawal. Namun anggarannya belum cukup untuk mengawal rekomendasi reparasi. Untuk sementara ini yang kita sebut rekomendasi mendesak itu, permulaan pecah telur. Pengawalan ini akan diperlukan ketika rekomendasi reparasi komprehensif di akhir nanti. []
ADVERTISEMENT