16 Tahun MoU Helsinki: Bagaimana Kesejahteraan Rakyat Aceh?

Konten Media Partner
12 Agustus 2021 19:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peringatan setahun damai di Aceh, 15 Agustus 2006. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan setahun damai di Aceh, 15 Agustus 2006. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
Perjanjian Damai Aceh atau dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki memasuki 16 tahun, sejak kesepakatan mengakhiri konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam.
ADVERTISEMENT
Menyambut 16 tahun damai Aceh, Hurriah Foundation mengadakan diskusi publik bertema “16 Tahun MoU Helsinki dan Kesejahteraan Rakyat,” pada Rabu (11/8) di Banda Aceh. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber terdiri dari Prof Yusny Saby, Zaini Abdullah dan Dr Amri.
Prof Yusny Saby, Rektor UIN Ar-Raniry periode 2005-2009 yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) mengatakan bahwa modal kesejahteraan adalah perdamaian. “Modal kesejahteraan adalah perdamaian. Dengan usia perdamaian 16 tahun ini. Seharusnya potensi kesejahteraan masyarakat Aceh makin tinggi. Karena semuanya dapat bergerak, kita sudah hidup dalam perdamaian,” ujar Yusny.
Profesor Yusny Saby pada FGD Refleksi Akhir Tahun 2020 di Banda Aceh, Rabu (8/12/2020). Foto: Dok. Mukhlis
Ia menyebut, inti dari perjanjian MoU Helsinki terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Melalui UUPA lah seharusnya modal kesejahteraan rakyat Aceh.
ADVERTISEMENT
“Tidak boleh ada pengkhianatan terhadap perdamaian Aceh, MoU Helsinki. Pelayanan birokrasi di pemerintah harus dikerjakan dengan ikhlas. Karena rakyat sudah sangat lelah dengan situasi yang tidak maju-maju ini,” kata Yusny.
Menurutnya, para pemimpin di Aceh harus menjadi teladan dalam berbuat. Menjadi pemimpin harus kompak, apalagi kalau ada orang tua-tua yang tidak bisa berdamai. Ini tidak bagus bagi perdamaian Aceh (MoU Helsinki).
Kesepakatan damai Aceh di Helsinki, Finlandia. Dok. CMI
Zaini Abdullah, Gubernur Aceh periode 2012-2017 mengatakan bahwa MoU Helsinki harus dijadikan landasan berfikir yang lebih substantif untuk Aceh yang lebih baik. “Perayaan MoU Helsinki jangan hanya dijadikan sebagai tradisi. Melainkan harus dipikirkan yang substantif bagi masyarakat Aceh. Dengan usia perjanjian MoU Helsinki yang 16 tahun ini, seharusnya Aceh sudah harus bangkit,” sebutnya.
ADVERTISEMENT
Ada hal yang lebih penting menurut Zaini Abdullah yaitu konsolidasi antar elit dan masyarakat Aceh. “Kenapa Aceh begini (terpuruk)? Salah satunya orang-orang yang terlibat dalam perundingan MoU Helsinki sudah tidak kompak. Orang-orang yang terlibat dalam perundingan MoU Helsinki sudah sangat kurang terlibat dalam membahas turunan MoU,” lanjut pria yang akrab disapa Abu Doto itu.
Ia menyatakan dirinya dengan Malik Mahmud harusnya kompak. Semuanya harus kembali ke laptop, kembali ke asal, untuk menjaga perdamaian MoU Helsinki. “Tidak maju Aceh kalau kita bercerai berai seperti ini. Kemiskinan terus meningkat, pengangguran terus bertambah,” ujarnya.
“Obat kita di Aceh saat ini adalah kekompakan. Kenapa waktu konflik ada kekompakan antara atasan dengan bawahan. Waktu perundingan Tokyo gagal tapi kita kompak. Tidak menjadi masalah. Kenapa waktu damai seperti ini sudah tidak bisa bersatu. Kita tidak kompak. Semuanya harus bersatu, dengan kesatuan untuk Aceh lebih baik,” lanjut Abu Doto.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, rakyat Aceh tidak mau berperang, rakyat Aceh sudah setia dengan NKRI dari nenek moyang sudah begitu. Semua pemimpin harus ikhlas dengan perdamaian MoU Helsinki. Jangan sampai berulang konflik, makanya semuanya harus kompak.
Ia menambahkan, jjangan biarkan Aceh begini terus, padahal di Aceh lembaga pemersatu masyarakat sudah didirikan, kenapa persatuannya tidak ada. “Untuk itu, saya menyarankan kekompakan itu harus dikembalikan. Kalau masih ada orang-orang yang selalu menyebut dirinya paling benar, sedangkan orang lain tidak benar. Cara pandang seperti itu yang membuat kita tidak maju-maju dan terus terpuruk,” sebut dokter Zaini Abdullah yang sudah berusia 81 tahun.
Zaini Abdullah, Gubernur Aceh periode 2012-2017. Foto: Dok. Mukhlis
Sementara itu, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala Dr Amri menilai perencanaan pembangunan ekonomi Aceh gagal. “Indikator kegagalan perencanaan Aceh bisa dilihat dari silpa setiap tahunnya, pada tahun 2020 saja silpa APBA sebesar Rp 3,96 triliun. Ini bukti bahwa perencanaan pembangunan Aceh gagal,” ujar Dr Amri.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kalau merujuk pada MoU Helsinki dan UUPA bagus sekali. Dan harus diingat, UU Nomor 11 Tahun 2006 itu adalah Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintah Aceh. Saya selalu membuka-buka UUPA tersebut. Kesimpulan UUPA itu menekankan pada empat aspek. Pertama pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil dan korban konflik. Kedua, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, pemberdayaan politik, dan keempat pemberdayaan sosial dan budaya.
“Aceh punya kekhususan dan keistimewaan sesuai dengan MoU Helsinki dan UUPA. Sementara realitasnya kesejahteraan masyarakat Aceh tidak tercapai," jelasnya.
Menurut Amri, pertumbuhan ekonomi Aceh terendah di Sumatra. Kondisi ekonomi masyarakat Aceh dilihat secara indikator makro ekonomi, antara lain pertumbuhan ekonomi 2,6 persen atau terendah di Sumatra. Tingkat kemiskinan 15,43 persen, dan di perdesaan 17,96 persen. Ini angka yang cukup parah tingkat kemiskinan di perdesaan Aceh.
ADVERTISEMENT
“Pada umumnya, 5,5 juta masyarakat Aceh hidup di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan, harusnya perencanaan pembangunan juga terfokus di bidang tersebut,” sebutnya.[]