news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Anak-anak Disabilitas di Aceh dalam Keadilan Imunisasi

Konten Media Partner
29 Februari 2020 9:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi sosialisasi imunisasi campak dan Rubella di Aceh Tengah, Agustus 2018. Foto: Humas Aceh Tengah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sosialisasi imunisasi campak dan Rubella di Aceh Tengah, Agustus 2018. Foto: Humas Aceh Tengah
ADVERTISEMENT
Sudah dua hari SM tidak sekolah karena badannya naik panas. Pagi itu, SM menghabiskan waktu di rumah bersama Kismayani, ibunya. Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan SM. Sebagai penyandang cerebral palsy, gerak tangan dan kakinya bisa dibilang terbatas.
ADVERTISEMENT
Tubuh SM tidak boleh lelah karena rentan sakit. Pada Senin, 10 Februari lalu, sepulang sekolah, badan SM terasa panas dan Kismayani memutuskan merawat anaknya dulu hingga sehat, sebelum kembali ke sekolah.
Ini tahun pertama SM belajar di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Kota Banda Aceh. Ia banyak belajar di sana, terutama soal menghitung, menulis, dan menghafal. Bagian terakhir menjadi kelebihan SM karena daya ingatnya bagus.
Pada akhir 2019, Kismayani bersama wali murid lainnya dikumpulkan pihak sekolah dalam sebuah pertemuan. Di sana mereka berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari Puskesmas Baiturrahman soal imunisasi. Para wali murid akhirnya diminta memutuskan untuk membolehkan atau tidak anaknya diimunisasi. "Anak saya enggak (imunisasi). Karena e=nggak cocok emang," terang Kismayani. Ia punya latar tentang keputusannya itu.
ADVERTISEMENT
Sebelum berumur satu tahun, Kismayani pernah beberapa kali membawa SM ke puskesmas untuk diimunisasi. Tapi, selalu saja tiba-tiba demam saat akan diimunisasi. "Datang lagi, demam lagi, (jadi) nggak saya bawa lagi," ceritanya.
SM awalnya terlahir normal tanpa kelainan. Ia terkena step pada umur delapan bulan. Kismayani dan suaminya berusaha mengobati SM, tapi tak kunjung membaik. Keadaan anak keduanya ini tambah memprihatinkan. Geraknya makin berkurang, tubuhnya terasa makin lemas, dan jarang bersuara. Barulah ketika dirawat di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda Aceh, diketahui jika SM mengidap cerebral palsy.
Hari-hari berikutnya, SM rutin menjalani pengobatan dan fisioterapi. Kismayani sebenarnya kasihan melihat tubuh putri satu-satunya dipenuhi dengan kawat dan alat medis lainnya. Keprihatinannya makin menjadi karena progres dari pengobatan dirasa nihil. Seringnya setelah fisioterapi, SM malah sakit hingga harus rawat inap.
ADVERTISEMENT
Butuh bertahun-tahun untuk membuat kondisi anaknya membaik. Pengalaman itu menjadikan Kismayani cukup berhati-hati jika menyangkut kesehatan SM, termasuk imunisasi. "Dokter enggak bilang anak saya enggak cocok untuk imunisasi," akunya.
Tapi ia tidak ingin mengambil risiko. "Saya bukan tidak mau imunisasi. Daripada keadaan lebih parah lagi nanti, stres saya, bagus saya hentikan. Insyaallah walaupun tidak ada imunisasi, dia sehat."
Saat ini, SM duduk di kelas 1 SDLB Negeri Kota Banda Aceh. Kismayani senang mengajari SM cara membaca huruf hijaiyah, di samping juga membiasakan anaknya mendengarkan Alquran.
***
Anak-anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bukesra, Banda Aceh. Foto: Abdul Hadi Firsawan
Saban tahun, biasanya pemerintah akan mengadakan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Petugas kesehatan akan mendatangi sekolah dan melakukan imunisasi pada anak-anak sekolah dasar. Di Kota Banda Aceh, ada satu Sekolah Luar Biasa (SLB) milik pemerintah dan beberapa lainnya milik swasta. Selama BIAS, petugas kesehatan mendatangi SLB negeri, tapi tidak dengan swasta.
ADVERTISEMENT
SLB Yayasan Bukesra misalnya, belum pernah didatangi tenaga kesehatan untuk meminta imunisasi. Pengakuan itu disampaikan Kepala Sekolah SLB Bukesra, Munawarman. Tenaga kesehatan dari Puskesmas Ulee Kareng memang rutin datang ke SLB Bukesra untuk pemeriksaan kesehatan umum, tapi belum pernah untuk imunisasi.
Munawarman menyebutkan, tenaga kesehatan yang saban tahun datang ke SLB Yayasan Bukesra tidak hanya dari puskesmas, tapi juga mahasiswa kedokteran umum, kedokteran gigi, serta farmasi. Sepengetahuannya, belum ada yang menanyakan tentang imunisasi untuk anak-anak penyandang disabilitas di SLB Yayasan Bukesra.
"Yang jelas, dari puskesmas ada datang untuk pemeriksaan kesehatan, tapi belum pernah berbicara tentang imunisasi," ujar Munawarman kepada acehkini di ruang kerjanya, Jumat (14/02).
Munawarman juga tidak menanyakan terkait imunisasi untuk anak muridnya pada petugas puskesmas karena menurutnya imunisasi hanya untuk bayi saja. "Dan bapak juga tidak terpikir ke arah sana (imunisasi)," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, lanjut Munawarman, murid di SLB Yayasan Bukesra belum pernah terjangkit virus seperti difteri, rubella, dan campak. Saat ini SLB Yayasan Bukesra menampung sekitar 150-an murid dari jenjang SD, SMP, dan SMA.
Dari jumlah itu, sebanyak 96 murid berada di jenjang sekolah dasar. Di antara jenis disabilitas dari murid di SLB ini yaitu tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, autis, dan lainnya. SLB Bukesra sendiri sudah beroperasi sejak tahun 1983.
Walau petugas kesehatan belum pernah datang ke SLB tersebut selama BIAS, Munawarman tidak menutup pintu untuk imunisasi di SLB Yayasan Bukesra. Ia tidak mengetahui banyak terkait teknis imunisasi. Bagaimanapun, lanjutnya, jika nanti ada yang ingin melakukan imunisasi untuk murid SLB Yayasan Bukesra, penting bagi sekolah untuk melibatkan dan meminta persetujuan wali murid sebelum imunisasi.
ADVERTISEMENT
"Di SLB yang muridnya anak berkebutuhan khusus, mungkin ada perbedaan umur dengan anak SD di sekolah umum. Nah, apakah itu cocok untuk imunisasi juga, kita tidak tahu. Tapi nanti itu kan pihak kesehatan yang akan lihat," kata Munawarman.
Hal yang sama juga terjadi di SLB Yayasan Bunda Syaifullah Meutuah (YBSM). Sejak beroperasi mulai tahun 2015 lalu, belum ada petugas kesehatan yang meminta melakukan layanan imunisasi di sekolah itu. Padahal ketika BIAS, Dinas Kesehatan di Kabupaten/Kota harus memberikan layanan imunisasi ke anak usia sasaran di tiap sekolah, baik sekolah negeri, swasta, hingga sekolah agama seperti pesantren.
Asmahani, Kepala Sekolah SLB YBSM. Dok. Pribadi
Kepala Sekolah SLB YBSM, Asmahani, teringat petugas puskesmas pernah mendatangi sekolah yang diampunya. Tapi waktu itu ia sedang di luar sekolah. Ia lupa, apa petugas kesehatan itu hanya ingin melakukan pemeriksaan kesehatan atau ingin beri imunisasi. "Kalau ada saya waktu itu, mungkin saya tanyakan (tentang BIAS)," kisah Asmahani, Senin (24/02).
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, pihak sekolah tidak keberatan jika nanti ada petugas kesehatan yang datang ke sekolah untuk minta izin imunisasi. Namun, mereka akan mengkomunikasikan dengan orang tua murid terkait kesediaan imunisasi. "Kalau mereka izinkan ya bisa lanjut imunisasinya," ujar Asmahani.
SLB YBSM saat ini memiliki 64 murid pada tiga jenjang pendidikan, sedangkan ketunaan di sekolah itu terdiri atas tuna rungu, tuna netra, tuna grahita, dan tuna daksa.
Kasie Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Cut Efri Maizar, mengatakan selama BIAS berlangsung pihaknya berupaya memberikan layanan imunisasi kepada semua anak usia sasaran di semua sekolah, baik sekolah umum maupun SLB. Terkait adanya dua SLB swasta di Banda Aceh yang belum didatangi petugas kesehatan selama BIAS, Efri mengaku kurang mengetahui. Ia mengarahkan ke Dinkes Kota Banda Aceh untuk menanyakan hal itu.
ADVERTISEMENT
"Imunisasi itu hak semua anak, termasuk anak penyandang disabilitas. Yang namanya usia sasaran, secara Undang-Undang setiap anak itu berhak mendapat layanan imunisasi," kata Efri saat ditemui di Banda Aceh dua pekan lalu.
Sosialisasi imunisasi ke sekolah di Aceh. Dok. Dinkes Aceh
Tapi, lanjutnya, keberhasilan capaian imunisasi juga tergantung pada kesediaan dan kesadaran orang tua murid. Tantangan Dinkes Aceh dalam melakukan layanan imunisasi saat ini ada dua, yaitu kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan sakit usai imunisasi, serta terkait halal-haram karena dalam vaksin terkandung unsur babi, khususnya vaksin rubella.
Dua persepsi tersebut, kata Efri, membuat banyak orang tua tidak percaya terhadap vaksin. Data dari Dinkes Aceh menunjukkan, terjadi tren penurunan cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) di Provinsi Aceh selama kurun waktu 2016-2018. Pada 2016, IDL Provinsi Aceh mencapai 74 persen, tahun selanjutnya capaian IDL di Aceh menurun menjadi 70 persen, dan pada tahun 2018 kembali menurun dengan hanya 61 persen capaian IDL.
ADVERTISEMENT
Dinkes Aceh juga berdiskusi terkait soal halal-haram vaksin MR dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan kabupaten/kota. Secara organisasi ulama sudah mendukung kegiatan imunisasi. Mereka juga berkoordinasi dengan kepala daerah agar mendukung pelaksanaan layanan imunisasi. Namun, lanjut Efri, untuk menyamakan persepsi di masyarakat butuh waktu.
Ia mencontohkan virus difteri. Jumlah masyarakat Aceh yang terjangkit difteri selama tahun 2019 cukup tinggi, yaitu sebanyak 129 orang dan tujuh diantaranya meninggal dunia. "Ini kan bisa menjadi pelajaran untuk yang lain, tapi kadang masyarakat juga masih nggak mau (imunisasi)," ujarnya.
Jenis imunisasi sesuai anak. Dok. kumparan
Ada orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas enggan memberi izin imunisasi kepada anaknya karena kekhawatiran akan kesehatan anaknya ke depan. Efri menyebutkan, jika kondisi tubuh anak dalam keadaan sehat, ia cocok untuk imunisasi meski seorang penyandang disabilitas. Sementara anak yang diimunisasi, seperti saat BIAS, terkadang akan demam selama dua kali 24 jam. Itu efek samping yang normal dari imunisasi.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini Dinkes Aceh mengaku belum melakukan sosialisasi secara spesifik terkait imunisasi untuk anak penyandang disabilitas. Sosialisasi baru dilakukan secara umum untuk anak-anak usia sasaran.
Imunisasi, kata Efri, penting dilakukan untuk membentuk kekebalan kelompok sehingga bisa membatasi penyebaran virus pada anak-anak di suatu lingkungan hidup. Imunisasi juga menurunkan risiko anak lahir dengan kondisi cacat.
Hak Anak
Dokter Spesialis Anak, dr. Raihan menilai, imunisasi wajib dilakukan sebagai ikhtiar untuk kesehatan. Anak-anak penyandang disabilitas maupun normal memiliki hak yang sama untuk mendapatkan imunisasi, agar bisa menciptakan kekebalan tubuh terhadap virus-virus tertentu.
"Imunisasi itu upaya pencegahan. Sebelum sakit kita berikhtiar supaya tetap sehat, kalau sudah sakit kita berikhtiar untuk sembuh," kata dr. Raihan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin, Banda Aceh, Senin (24/02).
dr. Raihan
dr. Raihan juga memberi penjelasan terkait imunisasi pada anak penyandang disabilitas. Pada dasarnya, imunisasi untuk anak penyandang disabilitas sama dengan anak pada umumnya. Yang membedakannya ialah pada kondisi kesehatan tubuh.
ADVERTISEMENT
Anak-anak dengan kondisi fisik tidak sempurna seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, autis, cerebral palsy, dan lainnya, bisa diimunisasi jika kondisi kesehatannya baik. Sementara orang yang terkena kanker, HIV, atau yang sistem imun tubuhnya sedang tidak stabil, mereka memiliki kondisi khusus untuk imunisasi. "Mereka yang punya kondisi khusus, imunisasinya juga beda," terang dr. Raihan.
Ia menegaskan, pada kondisi penyandang disabilitas yang tidak memiliki kontra indikasi atau kondisi imun tubuh yang lemah, tetap harus diimunisasi. Imunisasi penting untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Seorang anak yang terkena rubella bisa jadi tidak berdampak parah pada kesehatannya, tapi itu berdampak besar pada ibu hamil.
Ibu hamil yang terjangkit rubella kemungkinan besar akan melahirkan anak dengan kondisi cacat, jika anak tersebut tidak gugur dalam kandungan. Anak yang baru lahir tersebut juga membawa virus rubella pada tubuhnya, dan itu bisa menyebar ke lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Imunisasi bisa mencegah dan memutus rantai penyakit tertentu jika cakupan imunisasi dalam lingkungan tersebut baik. "Kalau kita tidak imunisasi, virus-virus tertentu akan mudah menyerang tubuh," ujar dr. Raihan.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh pada tahun 2018 lalu melakukan KAP (Knowledge, Attitude, Practice) survei imunisasi di lima kabupaten/kota, yaitu Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Aceh Timur. Dari survei tersebut, didapatkan bahwa masyarakat cenderung sadar untuk imunisasi hanya ketika terjadi kasus dan sudah heboh.
Direktur Eksekutif PKBI Aceh, Eva Khovivah mengatakan, KAP survei imunisasi dilakukan untuk melihat perubahan perilaku masyarakat terhadap imunisasi setelah MPU Aceh mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2015 tentang vaksin folio tetes pada masyarakat di lima kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
“Kesadaran masyarakat terhadap imunisasi masih sangat kasuistik. Jika belum heboh, kebanyakan masyarakat merasa bahwa dirinya atau anaknya masih sehat-sehat saja, maka tidak perlu di imunisasi,” ujar Eva Khovivah dalam pesan tertulisnya belum lama ini.
Eva Khofifah, Direktur Eksekutif PKBI Aceh. Dok. Pribadi
Kesadaran masyarakat yang cenderung melakukan imunisasi berdasarkan kondisi kasus, menurut Eva Khovivah, menjadi tantangan besar jika Aceh ingin mencapai cakupan imunisasi ideal untuk setiap antigen.
Selain kesadaran yang naik-turun, mudahnya masyarakat membenarkan disinformasi serta misinformasi terkait artikel-artikel negatif tentang imunisasi, menjadi tantangan lain yang tidak kalah besar porsinya. Dari pengalaman survei tersebut, PKBI Aceh juga menemukan beberapa faktor kendala dalam imunisasi.
“Di Pidie, masyarakat masih takut dengan efek samping imunisasi dan isu vaksin haram. Di Bireuen, adanya isu vaksin palsu dan tidak halal, juga servis pelayanan yang masih kurang,” sebut Eva.
ADVERTISEMENT
Menurut PKBI Aceh, imunisasi merupakan internalisasi semangat agama, bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Di samping itu, imunisasi juga merupakan salah satu hak anak yang harus dipenuhi. Karenanya PKBI Aceh memandang imunisasi penting dilakukan. [] Abdul Hadi Firsawan