Arti Rumah Singgah, Bagi Pasien Wilayah Terpencil Aceh

Konten Media Partner
2 Mei 2019 9:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Michael Oktaviano (kedua kiri) pendiri rumah singgah BFLF di Banda Aceh, bersama para pasien yang berobat. Foto: Desy Badrina/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Michael Oktaviano (kedua kiri) pendiri rumah singgah BFLF di Banda Aceh, bersama para pasien yang berobat. Foto: Desy Badrina/acehkini
ADVERTISEMENT
Agus Wanda Manik awalnya tak percaya divonis mengidap penyakit tumor. Pria 48 tahun asal Kecamatan Rimo, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, itu diketahui menderita tumor perut medio Mei 2018 usai diberitahukan oleh dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit daerah di Singkil.
ADVERTISEMENT
Tak percaya dengan vonis itu, Wanda malah minta rujukan agar bisa menjalani pemeriksaan lanjutan ke Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi di Medan. Dari Kecamatan Rimo, Kabupaten Aceh Singkil menuju Kota Medan butuh waktu tujuh jam perjalanan dengan angkutan umum.
Usai diperiksa di Medan, Wanda mendapatkan vonis sama. Dia positif mengidap tumor intra abdomen atau tumor perut. Pertumbuhan tumor tersebut cukup pesat. Oleh pihak RSUD Pirngadi, Wanda sudah dianjurkan untuk langsung mendapatkan perawatan.
“Waktu itu saya belum berani operasi. Saya bilang sama dokter di sana, kalau saya butuh musyawarah dengan keluarga. Padahal itu hanya alasan saja,” kenang Wanda, kala berbincang dengan Acehkini di Banda Aceh, Senin (29/4).
Kondisi tumor Wanda, kata dokter Spesialis Digestif di RSUD Pirngadi cukup pesat. Posisi tumor perut itu berada di bawah lambung dan menggantung. Ia sama sekali tak melekat pada organ dalam lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun, jika tidak segera diangkat, maka akan mengganggu sistem pencernaan dan akan susah buang air besar. Tumor itu juga akan mengganggu fungsi ginjal dan hati jika tetap dibiarkan. Butuh dua bulan bagi Wanda setelah divonis mengidap tumor, untuk memutuskan operasi. Pada Juli 2018, ia memilih dirujuk ke Rumah Sakit Umum Dr Zainal Abidin (RSUDZA) di Banda Aceh, paling lengkap di Aceh.
Dia hanya bisa mengandalkan becak motor atau ojek online. Bila ia memutuskan naik becak yang mudah di dapat di sekitar rumah sakit, maka untuk akomodasi saja, ia membutuhkan Rp 40.000 perhari. Belum lagi, jika nanti dia harus mengambil obat dari apotek RSUDZA, yang biasa baru bisa diambil sore dan malam pada hari yang sama.
ADVERTISEMENT
“Pas saya daftar dan periksa kondisi perut saya, saya tak langsung dapat jadwal. Karena waktu itu banyak pasien yang belum dioperasi karena cuti lebaran cukup lama,” terang Wanda.
Wanda ditetapkan sebagai pasien emergensi ketika tiba di RSUdZA. Dia diminta bersabar selama dua minggu. Sebagai gantinya, ia mendapatkan obat anti nyeri, sampai jadwal operasinya keluar.
Jadwal operasi Wanda ditetapkan pada 27 Juli 2018. Sebelum operasi, dokter meminta keluarga Wanda untuk menyiapkan sebuah toples. Mereka tak tahu, apa guna toples itu. Sampai operasi selesai dan dokter bedah menanyakan kepada pihak keluaga, apakah ada yang bersedia melihat tumor yang telah diangkat.
“Tak ada yang berani. Saya tak sadarkan diri. Cerita dokter saat saya sadar, berat tumor itu sudah 2 kilogram. Bentuknya seperti daging,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pascaoperasi, Wanda yang tetap harus menjalani rawat jalan di RSUDZA mendapat informasi adanya rumah singgah di Lamprit, Banda Aceh. Ia kemudian mulai menempati rumah singgah tersebut pada Agustus 2018.
Wanda, pasien dengan tumor perut yang telah divonis sembuh. Foto: Desy Badrina/acehkini
Divonis Sembuh
Selama proses pengobatan pascaoperasi di Banda Aceh, Wanda tinggal di rumah singgah Blood For Life Foundation (BFLF). Ia ditemani istrinya Mulianti dan putri kecilnya Naila. Mereka datang ke Banda Aceh tiap bulan. Bila mereka berangkat pukul 4 sore dari Rimo, Kabupaten Aceh Singkil, baru pada pukul 9 atau 10 pagi tiba di Banda Aceh.
“Selama saya sakit, saya tak bisa bekerja. Jadi, istri saya yang mencari nafkah,” kata pria yang semula bekerja sebagai jurnalis lepas di Aceh.
Sang istri, Mulianti, pedagang sayur dan bumbu dapur. Biasa Mulianti membawa barang dagangannya ke beberapa pasar pekan kecamatan. Pasar pekan adalah pasar di tempat-tempat tertentu yang punya jadwal khusus. Satu kali dalam sepekan.
ADVERTISEMENT
Senin (29/4), Wanda tiba kembali di Rumah Singgah Blood For Life Foundation (BFLF) dari kampung halamannya. Tempat menampung pasien dari daerah yang tidak punya tempat tinggal dan kurang mampu. Letaknya di jalan Cumi-Cumi No.15, Lamprit, Banda Aceh. Dari Rumah Singgah BFLF biasa Wanda bisa berjalan kaki bila ingin ke RSUZA.
Wanda memang rutin melakukan kontrol tiap bulan ke rumah sakit. Kali ini ia tidak ditemani istri atau anaknya yang paling kecil. Bersama pasien yang lain, dia yang masih terlihat kurus, dengan potongan rambut belum cukup lebat, perlu melakukan kontrol ulang.
“Saya dinyatakan sembuh hari ini. Walaupun masih harus kontrol ulang sekali lagi bulan depan. Saya sudah berkabar dengan orang di rumah. Ini hadiah wisuda untuk anak saya yang biasa temani saya waktu berobat,” katanya dengan senyum lepas.
Rumah singah BFLF di Banda Aceh. Foto: Desy Badrina/acehkini
Semangat Sembuh di BFLF
ADVERTISEMENT
Awal mula datang ke Banda Aceh untuk berobat, Wanda yang tinggal di kosan, tanpa teman lain selain istri dan anaknya, merasa sangat terpuruk. Baginya saat itu, meski sedang menjalani mengobatan, rasanya mustahil untuk sembuh.
Ketika mendapat tumpangan di Rumah Singgah BFLF, ternyata dia bertemu dengan pasien yang tak kalah parahnya dengan tumor perut yang dia alami. Hampir semua jenis penyakit ganas ada di sana. “Ketika saya datang kemari, saya akhirnya sadar, bahwa pasien di rumah singgah ada yang lebih parah dari dari saya,” ungkapnya.
Pesimisnya muncul ketika mendengar cerita dari orang banyak bahwa penyakit tumor itu mematikan. Bahwa kemungkinan untuk sembuh tipis sekali. Dia pun sempat mendengar dokter yang mengatakan pertolongan medis untuk penyakit ini hanya dua puluh persen. Sedang sisanya, dari pasien sendiri.
ADVERTISEMENT
“Kalau mau sembuh ya bapak sendiri yang harus kuat. Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Semua Allah yang menentukan,” kata Wanda menirukan pesan dokter padanya tahun lalu.
Kini Wanda sudah pulih. Dia tak pernah berekspektasi sejauh ini pada masa sulit menahan sakit di bagian perut tahun lalu. Baginya hari-hari berat itu telah berbayar dengan kesembuhan yang ia terima.
“Pesan saya, bagi siapapun yang sakit tumor di luar sana, semangat untuk sembuh yang bisa buat kita benar-benar pulih. Dan yang terakhir, biasakan untuk makan makanan yang dimasak sendiri. Karena penyebab tumor perut saya, sebab saya suka jajan gorengan dan tidak peduli dengan higenitas,” tutup Wanda.
Michael (kiri) bersama wanda dan pasien lainnya di rumah singgah BFLF Banda Aceh. Foto: Desy Badrina
Rumah Singgah Pasien Kurang Mampu
ADVERTISEMENT
Blood For Life Foundation (BFLF), sebuah lembaga sosial non-provit yang bergerak di bidang penggalangan darah dan menyediakan fasilitas rumah singgah bagi pasien kurang mampu di Aceh yang ingin berobat ke RSUZA, Banda Aceh.
BFLF diinisiasi oleh Michael Oktaviano pada 26 Desember 2010. Ia terinspirasi dari kebaikan dunia saat membantu Aceh ketika gempa dan tsunami Aceh 2004. Sedangkan fasilitas rumah singgah, muncul kemudian hari, pada 2014 di Banda Aceh.
Kini, Rumah Singgah BFLF sudah tersebar di beberapa tempat. Dua di Banda Aceh, yaitu Rumah Singgah BFLF Aceh yang beralamat di Jalan Cumi-cumi nomor 15, dan Rumoh Peuniyoh BFLF Abdya di Jalan Sepat nomor 1. Kedua rumah singgah itu berada di Lampriet, Banda Aceh, dan Rumah Singgah BFLF Aceh Selatan di Tapak Tuan.
ADVERTISEMENT
Tiga Rumah Singgah lainnya tersebar di Pulau Jawa. Yaitu Rumah Singgah Rumah Yatim dan Duafa, di Cakung, Jakarta Timur, Rumah Singgah Ar-Rayan di Rawamangun, dan Rumah Singgah Purwokerto, di Jawa Tengah.
Keberadaan Rumah Singgah BFLF bagi pasien luar daerah punya arti sendiri. Selain meringankan biaya pengeluaran selama berobat, rumah singgah seolah menjadi tempat penyembuhan lain dari segi psikologis para pasien. Dimana pasien dengan segala penyakit kronis saling berbagi duka dan cerita hidup.
Pak Wai (kiri) pengurus rumah singgah BFLF di Banda Aceh, menjadi teman cerita bagi pasien. Foto: Desy Badrina/acehkini
Ezwatsyah (50) atau akrab disapa Pak Wai, seorang relawan BFLF yang paling awal bersama Michael Octaviano. Semua yang berhubungan dengan rumah singgah harus lewat persetujuan dia. Selain itu, ia juga sering mengantar jemput pasien dari RSUZA ke Rumah Singgah. Lainnya, dia menjadi pendengar yang baik bagi pasien yang mengeluhkan penyakit mereka.
ADVERTISEMENT
Hari itu, Pak Wai tengah asik mendengar cerita kesembuhan dari tiga penghuni rumah singgah. Selain kisah Agus Wanda Manik, Siti Juriah (39) penderita tumor rahang dan Dewi Hendriani (19) penderita tumor ovarium, juga dinyatakan sembuh oleh dokter.
Ketiganya berasal dari satu kecamatan, di Kabupaten Aceh Singkil. “Mereka baru tiba tadi pagi, dan langsung ke rumah sakit. Sampai rumah singgah, mereka bawa kabar kalau mereka bertiga dinyatakan sembuh total oleh dokter,” kata Pak Wai kepada Acehkini, Senin (29/3)
Hampir 400 pasien bergantian datang dan pergi di Rumah Singgah, baru kali ini ia mendengar kabar sembuh sebanyak ini dalam satu waktu. Apalagi, lanjutnya, awal bulan lalu dalam seminggu ada tiga pasien dari daerah yang tinggal di Rumah Singgah meninggal dunia selama proses rawat jalan.
ADVERTISEMENT
“Kalau lihat dulu waktu mereka sakit dan baru pulang operasi, rasanya saya masih tak percaya, tiga orang ini, satu kampung lagi, pada sembuh semua. Senang kita mendengar. Tak tega saya lihat mereka datang jauh-jauh berobat, dengan ongkos mobil yang tak murah, tapi tak sembuh juga,” kata Ezwatsyah. []
Reporter: Desy Badrina