Rumah Kita, Tempat Anak Penyintas Kanker Menulis Surat ke Ibu Ani

Konten Media Partner
22 Februari 2019 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah Kita tempat singgah pasien anak di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Kita tempat singgah pasien anak di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Ahlul Nazar sibuk mengorek-ngorek styrofoam dengan pisau kecil yang digenggam erat di tangan kirinya, Korekan di bidang datar berukuran 40x30 sentimeter tersebut menyesuaikan dengan lukisan kaligrafi yang telah digambarkan dengan handam.
ADVERTISEMENT
Pria 18 tahun itu kini punya kegiatan baru untuk menghabiskan hari-harinya di Rumah Kita, sebuah rumah singgah di Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Meski badannya kian menyusut karena mengindap bocor ginjal, Ahlul tetap tampak semangat.
Acehkini kembali memotret kehidupan para pasien di Rumah Kita, Rabu (20/20), tempat singgah bagi Nurul Amalia kala berobat ke Banda Aceh. Nurul adalah anak penyintas kanker darah (leukimia) di Aceh yang menulis surat kepada Ani Yudhoyono. Lewat surat bertulisan tangan itu ia menyampaikan doa dan harapannya agar Ibu Ani cepat sembuh.
“Assalamualaikum Buk Ani Yudhoyono, Ini Nurul, sakitnya sama kita Bu, dulu Nurul sakit leukimia waktu umur Nurul masih 9 tahun," begitu tulisnya, Senin (18/2) lalu. Nurul telah pulang sebentar ke kampung halamannya di Kabupaten Aceh Utara, saat Acehkini kembali ke sana.
ADVERTISEMENT
Hanya ada Ahlul dan beberapa rekannya yang lain. Ahlul berasal dari Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Sejak empat bulan lalu, penyakit bocor ginjal yang dialaminya semakin parah. Ia harus bolak-balik ke Rumah Sakit Umum Dr Zainal Abidin (RSUDZA) di Banda Aceh, untuk menjalani cuci darah. Itu dilakukan minimal dua kali dalam sepekan
Keluarganya sempat bingung perihal tempat tinggal di Banda Aceh. Sementara jarak dari rumahnya di Kota Subulussalam ke Banda Aceh, mencapai 580 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 12 jam.
"Kebetulan ada dokter di RS Zainal Abidin yang menyarankan ke Bapak, agar saya tinggal di rumah singgah ini biar tidak jauh bolak-balik," ujar Ahlul ditemui Acehkini.
Rumah Kita menjadi rumah singgah bagi pasien anak dari luar Kota Banda Aceh jika berobat ke RSUDZA. Rumah itu beralamat di Jalan Mesjid Tuha, Simpang Tujuh, Ulee Kareng, Banda Aceh. Rumah Kita bertahan dengan sokongan dana dari donatur.
Ahlul sedang mengukir kaligrafi di Rumah Kita. Foto: Suparta/acehkini
Perintisnya adalah Nurjannah Husein (50 tahun), berinisiatif mendirikan Rumah Kita sejak 2016. Kak Nunu, pangilannya, sering terlibat mendampingi penyintas thalasemia di Aceh. Ide awalnya datang dari dr. Heru, dokter anak di RSUDZA, yang menyarankan agar Nunu mendirikan rumah singgah bagi pasien anak. Itu juga memudahkan Heru untuk mengontrol pasien setelah menjalani perawatan di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jikapun ada pasien yang drop pada tengah malam secara tiba-tiba, mereka tidak terlalu jauh untuk dibawa ke rumah sakit. "Atau jika sedang perlu, juga ada dokter di UGD rumah sakit yang bisa dipanggil," ujarnya.
Awal pendiriannya, Rumah Kita berafiliasi di bawah Yayasan Rumah Harapan Indonesia. Bukan hanya menjadi cabang di Aceh, Rumah Kita juga mendapat sokongan dana penuh. Setahun kemudian, Rumah Harapan Indonesia meminta Rumah Kita agar mandiri dan manajemen juga terpisah.
"Saya bilang bisa (pisah), tapi harus tetap didukung. Misalnya, kalau ada pasien-pasien dari Aceh yang perlu dirujuk ke Jakarta atau daerah lain yang mereka punya jaringan, itu tetap didukung oleh mereka," tutur Kak Nunu.
Kondisi Rumah Kita, tempat menampung pasien anak yang berobat ke Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Rumah Kita kemudian resmi mandiri pada Juni 2017, di bawah Yayasan Darah untuk Aceh. Namanya pun diganti dari awalnya rumah singgah menjadi Rumah Kita. "Karena jika rumah singgah saja, mungkin tidak humanis ya. Kalau Rumah Kita, artinya rumah milik kita bersama," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, Rumah Kita sudah mendampingi 150 pasien anak. Tetapi, jumlah itu bukan angka tetap, karena pasien terus berganti, datang dan pergi.
Kak Nunu menyebut, Rumah Kita hanya melayani pasien anak di bawah 18 tahun. Kemudian diutamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas 3, karena itu tergolong pasien prasejahtera. Selanjutnya, pasien tidak berpenyakit infeksi seperti HIV dan TBC. "Kita biasanya tidak mencari pasien, tapi dikirim oleh dokter. Kalau dokter yang kirim, berarti sudah clear masalah infeksi,” ujar Nurjanah.
Rumah Kita saat ini menyewa sebuah rumah berlantai dua, dengan 10 kamar, delapan kamar digunakan untuk pasien, sisanya untuk relawan. Harga sewanya Rp35,5 juta pertahun.
Ada sebanyak 5 orang relawan yang aktif membantu meski tidak mendapat bayaran. "Saya tidak mau menggunakan dana dari donatur untuk kita (relawan). Mungkin kita satu-satunya lembaga yang tidak punya baju seragam. Karena belum bisa kita biayain sendiri," tuturnya.
Nurjannah Husein, perintis Rumah Kita. Foto: Suparta/acehkini
Selain tidak diongkosin, kata Nurjanah, relawan yang mengabdi untuk Rumah Kita juga tidak direkrut. Relawan itu datang dengan sendirinya, dan membantu karena panggilan jiwa. "Kalau dana kas tidak ada, terpaksa saya mengeluarkan dana pribadi untuk mencukupi keperluan sehari-hari," jelas Nurjanah.
ADVERTISEMENT
Soal dana, Nurjanah awalnya sempat ragu mensiasati agar mencukupi. Apalagi setelah berpisah dari Yayasan Rumah Harapan Indonesia. Saat itu, dia memposting segala keperluan dana untum Rumah Kita di media sosial.
"Ternyata saat itu, belum sampai satu minggu, uangnya sudah terkumpul semua. Tahun 2018, sudah lebih mudah, karena orang sudah tahu rumah kita," kata Nurjanah.
Selain tempat singgah sementara, Rumah Kita turut menggratiskan makanan tiga kali sehari kepada pasien. Makanannya tentu sehat, seperti ikan dan sayur. Dalam sehari, untuk keperluan dapur, Rumah Kita membutuhkan dana Rp100-150 ribu untuk belanja.
Menurut Nurjannah, sokongan dana datang dari donatur "kecil-kecil". Disebut kecil karena jumlah dana yang disumbangkan sekitar Rp50 ribu, Rp100 ribu hingga Rp1 juta. "Sementara yang besar seperti puluhan juta, itu tidak ada," jelas Nurjannah. Sedangkan biaya listrik, air, wifi, sudah ada yang bayar.
Ahlul saat berada di kamarnya, di Rumah Kita. Foto: Suparta/acehkini
Sokongan dana dari donatur itu diperoleh Nurjannah dengan mengunggah segala kebutuhan di media sosial. "Kalau kebutuhan anak-anak yang lain, seperti beras, saya langsung unggah di Facebook. Teman-teman yang baca, saya lihat secara bergantian membantu," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sore itu, Rumah Kita tidak terlalu ramai. Karena beberapa pasien ada yang ke rumah sakit dan ada pula yang pulang sebentar ke kampung halamannya. Di sela-sela obrolan kami, Nurjannah masih menyimpan sebuah harapan besar. "Saya ingin rumah yang digunakan untuk Rumah Kita milik sendiri, sehingga tidak perlu bayar sewa lagi," tuturnya. []
Reporter: Habil Razali