Cerita Mariana Lolos dari Tsunami Aceh yang Tewaskan Anak dan Suaminya

Konten Media Partner
14 Desember 2019 20:51 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Minggu pagi, 26 Desember 2004 atau 15 tahun silam, bencana dahsyat gempa dan tsunami menghantam Aceh. Sebanyak 200 ribu lebih warga menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Peristiwa itu diperingati saban tahun di Aceh, sambil belajar menguatkan pengetahuan siaga bencana.
ADVERTISEMENT
Mengenangnya, acehkini menurunkan laporan khusus sepanjang Desember 2019-Januari 2020, tentang kenangan para penyintas, kesiagaan, lokasi yang remuk, rekontruksi, sampai kebangkitan warga setelahnya.
Mariana, penyintas Tsunami Aceh yang menjadi pemandu di situs tsunami Kapal di Atas Rumah, Lampulo, Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Mariana, sekarang berumur 55 tahun. Perempuan itu menetap di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh. Rumahnya persis di samping situs tsunami Aceh, Boat di Atas Rumah atau Kapal Tsunami Lampulo.
Setelah tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, dia hidup seorang diri. Suami dan lima orang anaknya hilang ketika musibah raya itu melanda Tanah Seulanga. Mariana sekarang menjadi salah seorang pemandu wisata di Kapal Tsunami Lampulo.
Dia menjadi saksi hidup peristiwa dahsyat 15 tahun lalu. Pengalamannya selalu diceritakan kepada orang-orang yang mengunjungi Kapal Tsunami Lampulo. Selain ini, Mariana sama sekali tak memiliki pekerjaan lain.
ADVERTISEMENT
Hari-harinya disibukkan dengan bersua orang-orang, yang barangkali baru mensyukuri hidupnya setelah mendengar kisah Mariana. "Setiap hari di sini, bantu-bantu jika ada pengunjung yang datang," kisahnya kala berbincang dengan acehkini, di Kapal Tsunami Lampulo, Rabu (11/12).
Situs tsunami Kapal di Atas Rumah, Lampulo. Foto: Suparta/acehkini
Mariana bukan penyintas tsunami Aceh yang diselamatkan kapal yang tertambat di atap rumah itu. Kisahnya terhindar dari malapetaka besar itu sangat mengharukan. Namun Mariana tampak tegar ketika menceritakan kembali. Telah berhasil membuang traumanya jauh-jauh atas tragedi yang nyaris merenggut kehidupannya.
Ketika gempa berkekuatan 9,2 Richter mengguncang Serambi Mekkah, Minggu pagi itu, Mariana sedang menyapu rumah. Sambil terhuyung, ia bergegas berlari keluar rumah. Di luar, ia tercengang melihat sejumlah rumah tetangga ambruk akibat lindu. "Rumah saya tidak apa-apa," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Seketika gelombang laut berwarna hitam pekat menghembalang. Peristiwa itu begitu cepat. Mariana tak ingat betul bagaimana dia digulung gelombang raya. Ia seperti tak sadarkan diri. Setelah terombang-ambing, Mariana mengetahui dirinya sudah berada di atas sampah puing-puing kayu bangunan yang hancur dihempas tsunami.
"Di atas sampah puing-puing bangunan hancur itu saya terombang-ambing. Ketika air tsunami surut ke laut, saya turut hanyut ke tengah laut," kata Mariana.
Mariana di antara rumah-rumah bekas tsunami, di kompleks Kapal di Atas Rumah, Lampulo. Foto: Suparta/acehkini
Di atas puing-puing sampah tsunami, Mariana melafalkan apa doa-doa keselamatan. Ia terus bertahan agar tetap mengapung di tengah laut.
Saat di atas sampah, Mariana sempat bertemu dengan sebuah kapal nelayan yang baru pulang melaut. Kapal itu tidak terkena dampak tsunami yang memporak-porandakan daratan Aceh. Mariana sempat memendam harapan diselamatkan orang-orang di kapal itu, tetapi ia harus kecewa.
ADVERTISEMENT
Orang-orang di kapal itu disibukkan dengan memungut barang-barang yang hanyut terbawa gelombang tsunami surut. "Saya teriak-teriak, tolong-tolong, tapi mereka tidak mau menolong saya, mereka terus memungut barang yang hanyut," kata dia.
Sekitar pukul 17.00, Mariana kembali melihat kapal nelayan lain yang juga baru pulang melaut. Dia melambai-lambai tangan, sehingga kapal tersebut mendekat. Orang-orang di kapal lantas melempar seutas tali. Mariana mengikat tubuhnya dengan tali itu, lalu ditarik orang-orang di kapal.
"Saya diselamatkan kapal nelayan itu. Rupanya pemilik kapal itu juga warga Lampulo, rumahnya tak begitu jauh dengan rumah saya," ceritanya.
Dari tengah laut, kapal terus melaju menuju daratan. Kapal itu berulang kali harus berhenti saat bertemu dengan orang-orang hanyut yang terbawa gelombang tsunami surut, seperti Mariana.
Situs tsunami Kapal di Atas Rumah. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Menjelang magrib, kapal itu menepi di Ulee Lheue. Tetapi mereka tak bisa turun, daratan telah hancur. Demikian juga pelabuhan Lampulo. "Malam itu kami tidur di atas kapal," kenang Mariana.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, awak kapal mencoba turun ke daratan. Kemudian diikuti semua orang di kapal, juga Mariana. Setelah turun dari kapal, dengan pakaian sobek-sobek terhempas tsunami, berjalan kaki dari Ulee Lheue ke Simpang Lima. Jaraknya sekitar 8 kilometer.
Di Simpang Lima, Mariana bertemu dengan saudara dekatnya. Ia kemudian diungsikan ke Posko Lambaro, Aceh Besar.
Saat masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah gempa dan tsunami, Mariana kembali lagi ke Lampulo. Dan sampai sekarang, ia tidak lagi bertemu dengan suami dan lima anaknya. "Sekarang saya tinggal sendiri," ujarnya.
15 tahun sudah tragedi tsunami, 15 tahun pula Mariana kehilangan keluarga intinya. Tetapi sosok Mariana tidak pernah kehilangan harapan untuk hidup. Meski sekarang hanya tinggal seorang diri, dia tetap tegar menceritakan pengalamannya sebagai pelajaran bagi orang lain.
Seorang anak bermain di situs tsunami Kapal di Atas Rumah. Foto: Suparta/acehkini
Di situs tsunami Kapal Tsunami Lampulo, Mariana menjadi salah seorang saksi hidup tsunami Aceh. Saban hari, tanpa pernah meminta, ia kerap diberikan sumbangan dari wisatawan yang berkunjung, terutama turis Malaysia.
ADVERTISEMENT
Meski bukan penyelamat nyawanya, Mariana seperti mengabdikan sisa hidupnya di situs Kapal Tsunami Lampulo, yang juga menyelamatkan 59 hidup orang lain, kala bencana datang mengguncang Aceh. []