Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Fauziah Digulung Tsunami Aceh, Lalu Bangkit dengan 'Ikan Kayu'
13 Desember 2019 9:57 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Fauziah Basyariah beraktivitas seperti biasa di rumahnya di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh, Minggu pagi, 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan 9,2 Richter kemudian mengguncang Tanah Seulanga pukul 07.59 WIB, suasana panik.
ADVERTISEMENT
Perempuan itu bergegas keluar dari rumah bersama lima anaknya. Sementara sang suami pergi ke pelabuhan ikan Lampulo, tempat ia biasa bekerja. Gempa berlangsung lama, terlebih lindu susulan yang terus melanda. Fauziah dan anak-anaknya berada di jalanan depan rumah.
Saat masih di jalan itu, Fauziah mendengar orang berlari dari arah laut sambil berteriak-teriak. "Ie laot diek, ie laot diek (air laut naik, air laut naik)," kenang Fauziah, kini 50 tahun, kala mengisahkan kembali tragedi tsunami kepada acehkini di rumahnya, kawasan Lampulo, Rabu (11/12).
Gampong Lampulo berada di garis pantai. Rumah Fauziah berjarak ratusan meter dari laut. Sebagian besar warga Lampulo bekerja sebagai nelayan atau buruh di pelabuhan ikan.
Suasana panik, orang-orang berlari sambil berteriak. Fauziah melihat selokan di pinggir jalan mengalir air hitam pekat. Lalu dari arah laut tsunami datang menghembalang apa saja yang di depannya. Kejadian itu begitu cepat.
ADVERTISEMENT
Masih di jalanan itu, Fauziah bersama anaknya berlari ke rumah tetangga berlantai dua. Mereka bergegas naik ke lantai atas. Sejumlah warga di sana juga ikut naik ke rumah tersebut.
Air laut yang dikirim gelombang tsunami terus meninggi hingga mencapai lantai dua. Fauziah dan anaknya lalu mencoba menjebol loteng. Mereka lalu naik ke atas loteng dan berdiri di kerangka besi loteng. Sementara di tengah situasi darurat itu, mereka terus mencoba membongkar atap seng di atasnya.
Dibantu sejumlah warga lain yang sudah berada di atap rumah dua lantai itu, Fauziah berhasil melepaskan seng hingga mereka bisa keluar dari loteng menuju bagian atap. Tiba-tiba, dengan tak terduga, sebuah kapal nelayan tertambat di sisi lain atap rumah itu.
Kapal kayu itu sepanjang 25 meter dengan lebar 5,5 meter. Kapal nelayan yang biasa ditambat di Pelabuhan Lampulo ini, hari itu terombang-ambing di atap rumah warga. Sementara gelombang tsunami masih terus menerjang.
ADVERTISEMENT
Fauziah dan anaknya lalu naik ke kapal tersebut bersama sejumlah warga yang berada di atap rumah. Di dalam kapal, mereka mendapati seorang pekerja kapal yang masih tertidur.
"Dia tidur. Ketika bangun dia terkejut melihat orang sudah banyak di atas kapal. Saya tanya 'kamu tidak sadar gempa?' dia menjawab tidak. Katanya di dalam kapal kan biasa digoyang ombak," tutur Fauziah.
Selain Fauziah dan anaknya, ada warga lain yang turut menaiki kapal tersebut. Jumlahnya 59 orang. Di kapal, mereka mengumandangkan azan berulang kali. Bencana sedang terjadi. Sementara di sudut lain, perempuan membacakan surat Yasin. Mereka bertahan di sana hingga sore hari, setelah meyakini air tsunami telat surut ke laut.
"Dari pagi itu, kami tidak makan apa-apa. Kami bertahan dengan mencari makanan yang hanyut. Ada kelapa, kami minum ramai-ramai," kata Fauziah.
ADVERTISEMENT
Setelah turun dari kapal, Fauziah masih terus mencari keberadaan suaminya, yang tak diketahui jasadnya hingga kini. Bersama anaknya, ia kemudian mengungsi ke Beurawe, Kuta Alam. Tak lama kemudian, ia memilih pulang ke kampung halamannya di Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
Sekitar satu bulan di Meureudu, Fauziah kembali lagi ke Banda Aceh. Tempat yang ia datangi adalah lokasi pengungsian di Beurawe. Kemudian ia pindah ke tempat pengungsian Hotel Rajawali. Sebulan di sana, warga Lampulo diberikan tenda oleh Palang Merah Indonesia (PMI).
Fauziah bersama warga lainnya mendirikan tenda tersebut di tanah bekas rumahnya dulu. Bangunan rumah seluruh hancur, rata dengan tanah. Yang tersisa hanya pondasi rumah, satu-satunya penanda keberadaan rumah mereka.
ADVERTISEMENT
***
Setelah tsunami, ketika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) mulai bekerja di Aceh, Fauziah dan warga Lampulo lainnya diberi pelatihan. Mereka diberdayakan untuk bangkit kembali, beraktivitas dan bekerja melanjutkan hidup. "Karena dekat dengan laut, kami diberi pelatihan yang menyangkut ikan," ujarnya.
Pelatihan yang diberikan yaitu mengolah ikan laut menjadi ikan keumamah atau ikan kayu, khas Aceh. Setelah beberapa bulan usai pembinaan, saat peringatan satu tahun tsunami Aceh, kelompok Fauziah diminta untuk memamerkan produk olahannya di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu berkunjung ke Ulee Lheue, Aceh.
Fauziah sempat bingung ketika ditanya oleh tim BRR terkait nama produk ikan keumamah olahan kelompoknya. Lantas ia mengutarakan keinginan untuk menambatkan nama Keumamah Kapal Tsunami. "Karena kami selamat di situ," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Sekarang, setelah 15 tahun tragedi gempa dan tsunami melanda Aceh, Keumamah Cap Kapal Tsunami masih bertahan. Fauziah mengolahnya di sebuah rumah terpaut sekitar 50 meter dari kapal yang tertambat di atap rumah, juga turut menyelamatkan hidupnya. Kapal itu sekarang menjadi lokasi wisata sekaligus bukti kedahsyatan tsunami Aceh.
Fauziah mempekerjakan belasan orang untuk mengolah keumamah-nya. Dalam sebulan, Fauziah mendapatkan omzet sebesar Rp 25-35 juta. "Laba bersih sekitar 10-15 juta," kata dia.
Keumamah Kapal Tsunami dipasarkan hampir di semua pasar swalayan di Kota Banda Aceh. Selain itu, produk Fauziah juga dikirim ke Jakarta, Medan, dan bahkan ke Malaysia. "Ke Malaysia bukan diekspor, tapi membawa sendiri ketika ke sana. Karena ribet kalau ekspor," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Fauziah turut menjualnya di tempat pengolahan di dekat Kapal Tsunami Lampulo. Banyak turis Malaysia yang meminati ikan keumamah ketika berkunjung ke Kapal Tsunami Lampulo. "Mungkin ini yang namanya berkah di balik bencana," kata dia. []