Cerita Nenek Mariah: Anyaman Bemban Aceh Hampir Punah karena Perang

Konten Media Partner
30 Januari 2020 13:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang penganyam bemban di Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Seorang penganyam bemban di Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Di bawah rumah panggung miliknya, Mariah (75 tahun) mengisi masa tuanya dengan menganyam. Matanya masih tajam, jari tangannya masih lincah merangkai satu per satu bilah bemban hingga menjadi produk kerajinan tradisional Aceh berkualitas.
ADVERTISEMENT
Pada masa remajanya, menganyam adalah pekerjaan sampingan bagi Mariah, untuk mengisi waktu luangnya. Pekerjaan utamanya adalah petani di tempat tinggalnya, Gampong Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar.
Menggunakan bahan utama kulit bemban, beragam rajutan produk rumah tangga telah dihasilkan melalui tangan ringkihnya itu. Mulai tudung saji, tas jinjing, hingga berbagai jenis dan bentuk keranjang.
Bemban atau dalam bahasa Aceh disebut Bak Bili, merupakan tumbuhan rumpun yang tumbuh liar di hutan basah, juga di hutan-hutan bambu. Untuk bahan anyaman, hanya kulit luarnya yang diambil. Setelah dijemur warnanya dari hijau berubah menjadi coklat mengkilap.
“Sekarang sudah susah mencari bak bili, di hutan-hutan di Aceh Besar sudah mulai langka,” ungkap Mariah kepada acehkini, Rabu (29/01/2020).
Mariah, pewaris kerajinan bemban. Foto: Suparta/acehkini
Soal penjualan, tidak ada masalah. Kata Mariah, setiap anyaman sudah ada yang menampungnya, bahkan sudah dipesan lebih dahulu. Bentuk-bentuk anyaman juga terus berinovasi sesuai permintaan pasar.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi permintaan dari penampung, belakangan mereka membentuk kelompok, anggotanya mencapai 15 orang. "Kesulitan bahan baku, kadang menyulitkan kami penuhi target pesanan," Mariah menjelaskan.
Harga tampung juga dikeluhkan oleh kelompok ini, bila dikalkulasikan dalam bentuk upah kerja masih terhitung minim. Untuk sebuah produk ditampung mulai Rp 30 ribu-Rp 250 ribu per unitnya. Sementara proses menganyam memakan waktu paling cepat satu hari untuk satu unit anyaman kategori tidak rumit. “Itu belum masuk waktu mencari bili ke hutan,” kisahnya.
Di Gampong Lampanah Tunong, menganyam merupakan ketrampilan yang diwariskan secara turun-menurun. Tiga anak Mariah juga mewarisi ketrampilan itu.
Penganyam bemban, kerajinan tradisional di Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
Hanya saat eskalasi konflik di Aceh memuncak, aktivitas ini sempat terhenti, karena tidak bisa masuk ke hutan untuk mencari bahan baku. Kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat TNI/Polri di Aceh meningkat di Aceh dalam kurun 1990 sampai perjanjian damai Aceh disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu. 
ADVERTISEMENT
Akibatnya, remaja pada saat itu tidak punya ketrampilan menganyam. “Tapi belakangan mereka sudah belajar,” kata Mariah
Menurut Mariah, Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh periode 1986-1993 dulunya aktif mempromosikan produk anyaman mereka keluar Aceh. Selain mendapat bantuan modal pembinaan dari pemerintah, Gubernur atau Istrinya beberapa kali ke desa itu. Sejak itu pula produksi anyaman Lampanah Tunong mulai dijual keluar, sebelumnya dianyam untuk keperluan sendiri.
Sulitnya mendapat bemban sebagai baku juga dikeluhkan Masyitah, penganyam bili di Gampong Lam Girek, Lhoknga, Aceh Besar. Menurut Masyitah, saat ini kadang mereka harus mencari bili di hutan-hutan di luar Aceh Besar.
Masyitah, pengrajin anyaman bemban di Lam Girek, Lhoknga, Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
Berbeda dengan anyaman di Lampanah Tunong. Di Lam Girik, anyaman yang dibuat lebih berkaitan dengan alat bantu petani, seperti tampi, tempat menyimpan beras, serta produk-produk tempat menyimpan bumbu dapur.
ADVERTISEMENT
Produk-produk yang mereka hasilkan juga dijual di beberapa kedai yang menjual kerajinan tangan di pinggiran jalan nasional di kawasan Lhoknga.
Kedua lokasi sentra pengrajin anyaman tersebut, sempat dikunjungi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Aceh, Dyah Erti Idawati. Kedatangan Dyah juga membawa bantuan alat bantu produksi untuk pengrajin anyaman bili.
"Dengan peralatan yang diberikan ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan perekonomian pengrajin, saya berharap dengan peralatan yang baru pendapatan semakin bertambah," kata Dyah saat menyerahkan bantuan untuk pengrajin anyaman bili di Desa Lam Girek, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, Rabu (29/1).
Dyah Erti Idawati saat meninjau produk kerajinan bemban di Lampanah Tunong, Indrapuri, Aceh Besar. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Menurut Dyah, Dekranasda Aceh akan terus memberdayakan ekonomi masyarakat, salah satunya melalui pemberdayaan para pengrajin. Menurutnya, pemberdayaan ekonomi merupakan salah satu cara untuk menekan angka kemiskinan di Aceh. []
ADVERTISEMENT