Jalan ‘Neraka’ Menembus Lesten: Desa Terisolir di Lembah Leuser, Aceh [1]

Konten Media Partner
22 September 2020 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jalan rusak menuju Lesten. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Jalan rusak menuju Lesten. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Perjalanan sekitar 3 jam dari Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues, Aceh, tiba-tiba terhenti di sebuah tanjakan. Kami turun dari mobil. "Tolong ban belakang diganjal," perintah Busra, sopir yang membawa saya dan tiga jurnalis di Banda Aceh menuju Kampung (desa) Lesten di pedalaman hutan Kecamatan Pining, Gayo Lues, Senin (14/9) pekan lalu.
ADVERTISEMENT
acehkini bersama sejumlah jurnalis lainnya di Aceh, berkunjung ke Lesten untuk memotret perjuangan warga di sana yang menolak kehadiran PLTA Tampur-I, di dalam kawasan hutan leuser.
Lihat laporan berikut:
Dengan lekas, dua ban mobil bagian belakang diganjal batu sebesar bola kasti. Rem bekerja keras. Kuda besi ini ternyata berhenti tepat di tanjakan jalanan beraspal. "Bantu dorong ya!" kata Busra di balik kemudi. Ia lantas menginjak pedal gas dan membuat suara mesin menjerit keras. Pekikannya membelah kesunyian hutan rimbun di sisi kiri dan kanan.
Selepas menaklukkan tanjakan itu, mobil kembali melaju di ruas jalan yang menghubungkan pusat Kecamatan Pining menuju Kampung Lesten. Jaraknya hanya sekitar 20 kilometer. Namun butuh waktu paling sedikit satu jam agar tiba di Lesten.
ADVERTISEMENT
Ini bisa dibilang sudah bagus. Sebab, dulu jalanan ini hanya dapat dilintasi dengan jonder atau traktor. Kala itu lumpur dan tanjakan menghiasi di sepanjang jalan. Perjalanan pun menelan waktu berjam-jam. Hal ini membuat Lesten termasuk salah satu desa terisolir di Tanah Rencong.
Pintu gerbang Kampung Lesten.
Sejak 2015 hingga 2017, jalanan tanah liat itu mulai dibalut aspal. Tapi jalanan bagus ternyata belum menjangkau Lesten. Pengaspalan hanya dilakukan sampai di tengah hutan belantara. Sisanya masih bebatuan dengan semak belukar di sisi kanan dan kiri.
Sekitar 40 menit dari Pining, kami berhenti di sebuah bukit dengan jalanan bebatuan. Di sana terdapat sebuah alur dengan air mengalir deras. "Kita berhenti di sini, makan siang dulu," kata Usman, warga Pining yang memandu perjalanan kami, dia memakai motor.
ADVERTISEMENT
Kami menikmati nasi bungkus. Suasananya seperti piknik. Selepas makan, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini tanjakan sudah jarang. Jalanan lebih banyak turunan curam. Kaki Busra selalu sigap menginjak pedal rem. Tangannya kadang kala bergerak cepat memutar kemudi menghindari semak belukar. Keringat tampak mengucur di dahinya.
Setelah hampir 2 jam, kami akhirnya memasuki kawasan Kampung Lesten. Saya turun dari mobil ketika harus melewati sebuah jembatan kayu yang lantainya sudah rapuh di beberapa titik. Busra turut turun melihat sisi mana yang aman dilintasi. Lalu, ia melajukan mobil dengan pelan.
Sekitar 50 meter dari jembatan, kami lagi-lagi dipaksa berhenti karena kubangan lumpur menganga di jalan rusak. Mata Busra menyorot sisi jalan yang lumpurnya agak kering. Lalu, ia menginjak pedal gas dengan cepat, dan ban mobil pun meliuk-liuk di atas lumpur yang licin.
ADVERTISEMENT
Satu lumpur terlewati. Tapi tak seberapa jauh dari sana, kami bertemu genangan lumpur lain. Busra tampaknya sudah menyerah. Ia lantas mengambil keputusan. "Kita parkir saja mobil di sini, takutnya tidak lewat dan terjebak di lumpur," ujarnya.
Kami akhirnya berjalan kaki sekitar lima menit hingga bertemu rumah-rumah warga Lesten. Di sana, kami singgah di sebuah kios yang berdiri di lereng gunung persis di pinggir tanjakan jalan. Usman memesan teh panas kepada seorang perempuan pemilik kios. Wajah Usman tampak lelah.
SMPN di Kampung Lesten. Foto: Habil Razali/acehkini

Sekolah Berdinding Kayu

Sepelemparan batu dari kios itu, sebuah plang nama berdiri kokoh: SMPN Satu Atap Lesten. Di belakangnya, bangunan beratap biru tampak menjulang dengan dinding kayu. Di halaman gedung, bendera Merah Putih berkibar di ujung tiang. Suasana lengang pada Senin siang menjelang sore itu.
ADVERTISEMENT
Di tanah yang agak rendah, terdapat bangunan SD Negeri 8 Pining. Dinding ruang kelas sekolah yang berdiri sejak 2010 itu juga berupa papan. Di beberapa sudut terlihat sudah jebol. "Sekolah SD dan SMP satu kepala sekolah," kata Usman.
Berdasarkan laman Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, SMPN Satu Atap Lesten didirikan pada 2016. Di sekolah ini sekarang terdapat 5 siswa yang diajarkan oleh 8 guru ditambah 2 tenaga pendidik. Sedangkan SDN 8 Pining terdapat 32 siswa yang diajarkan oleh 6 guru ditambah 1 tenaga pendidik.
Saat ini belum ada SMA di Lesten. Bila siswa sudah merampungkan jenjang SMP dan ingin melanjutkan sekolah, mereka harus meninggalkan Lesten. Tapi sebagian besar anak-anak di sana memilih menetap di tanah kelahirannya. "Tak melanjutkan sekolah, mereka biasanya menjadi pekebun," imbuh Usman.
Sungai dan kawasan Hutan Leuser yang di Kampung Lesten. Foto: Dok. HAkA
Setelah beristirahat sekitar 15 menit, kami dijemput sejumlah lelaki muda Lesten menggunakan sepeda motor. Usman menyarankan kami membonceng di belakang mereka. Saya ikut dengan Juna. Dari kios, kedua roda sepeda motor berputar di atas tanjakan tanah kuning kering. Tujuan kami: rumah Edwir Z, Kepala Dusun Berawang Gajah.
ADVERTISEMENT
Dusun Berawang Gajah berada di tanah lebih tinggi dari dua dusun lain di kampung yang dihuni 235 penduduk dari 82 kepala keluarga ini. Rumah di dusun ini adalah pindahan dari tempat sebelumnya yang berdekatan dengan sungai. Mereka mengungsi setelah dilanda banjir bandang sungai Lesten pada 2006.
Edwir bertelanjang dada saat menyambut kami di teras rumahnya yang berkelir hijau. Senyumnya merekah. Ia mengenakan celana loreng tentara. "Duduk dulu, istirahat," katanya. Sejumlah lelaki muda tadi turut meriung. Sebentar mengobrol, saya masuk ke dalam rumah dan merebahkan tubuh di atas tikar. Lalu saya terlelap di tanah Lesten. [bersambung]